Tanggapan Berita (7/4-2013)
– Penyebaran virus HIV/AIDS di Kota
Kendari sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan, virusnya sudah menular kepada dua
balita dan lima ibu rumah tangga. Temuan itu tentu mengejutkan Komisi
Penanggulangan HIV/ AIDS Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Suami
"Jajan", Lima Ibu Positif HIV/AIDS, kompas.com, 8/3-2013).
Sepanjang tahun 2012 Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara menemukan
89 kasus HIV/AIDS yang tersebar di kabupaten dan kota. Pada laporan Kemenkes RI
disebutkan kasus AIDS di Sultra mencapai 161 yang menempatkan Sultra pada
peringkat 25 secara nasional.
Yang mengejutkan bukan kasus
HIV/AIDS pada dua balita dan lima ibu rumah tangga, tapi KPA Kota Kendari tidak
mempunyai program penanggulangan yang konkret sehingga ada ibu rumah tangga dan
balita yang tertular HIV.
Di Kota Kendari tidak ada
lokasi pelacuran, tapi praktek pelacuran terjadi di beberapa tempat. Di
sepanjang pantai, misalnya, ada warung-warung yang sebagian menjadi tempat
mangkal cewek yang bisa diajak melakukan hubungan seksual.
Selain itu ada pula cewek yang
bisa ’dipesan’ melalui sopir taksi atau karyawan hotel. Tarif cewek itu memang
bukan main karena untuk bayaran cewek saja Rp 500.000 (Lihat: “Selangit”, Tarif PSK di Kota Kendari,
Sultra- http://www.aidsindonesia.com/2012/09/selangit-tarif-psk-di-kota-kendari.html).
Tentu saja yang bisa ’memakai’
cewek-cewek panggilan itu adalah laki-laki berduit, seperti pengusaha,
karyawan, dan pegawai. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian ada ibu rumah
tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena KPA Kota Kendari tidak
mempunyai program yang konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki melalui praktek pelacuran.
Seperti disebutkan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
Kota Kendari, dr Ningrum, sebagian besar ibu rumah tangga yang terdeteksi
mengidap HIV/AIDS itu merupakan korban ulah para suami yang suka berganta-ganti
pasangan.
Ganti-ganti pasangan di Kota Kendari lebih mengarah ke pelacuran tertutup
yaitu di penginapan, losmen dan hotel dengan cewek yang dipanggil melalui
’kurir’, seperti sopir taksi.
Ini pernyataan dr Ningrum: "Kasihan para ibu yang menjadi korban
suaminya, mereka memiliki suami yang sering bepergian dan bergonta-ganti
pasangan.”
Kalau hanya sebatas rasa iba dan kasihan tentulah tidak menyelesaikan
masalah. Yang diperlukan adalah langkah yang konkret dari KPA Kota Kendari
untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui praktek
pelacuran.
Selain itu diperlukan pula program yang konkret dan sistematis untuk
mendeteksi HIV/AIDS pada ibu hamil agar bisa dilakukan langkah mencegah
penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Persoalan besar adalah banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada saat mereka
berobat dengan indikasi penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS, disebut infeksi
oportunistik, yang sulit sembuh pada pengidap HIV/AIDS jika dibandingkan dengan
orang yang tidak mengidap HIV/AIDS.
Itu artinya mereka sudah masuk masa AIDS yang secara statistik sudah
tertular antara 5-15 tahun sebelumnya. Celakanya, pada rentang waktu itu mereka
menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari.
Seperti kasus yang terdeteksi di Kota Kendari di akhir tahun 2012 berawal
dari anak dan ibu yang berobat dengan indikasi infeksi oportunistik. Ini
terjadi karena KPA Kota Kendari tidak mempunyai program yang konkret dan
sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu hamil.
Pertanyaan untuk dr Ningrum: Apakah suami lima ibu yang terdeteksi HIV/AIDS
itu sudah menjalani tes HIV?
Kalau belum itu artinya lima laki-laki itu menjadi mata rantai penyebaran
HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di
luar nikah.
Disebutkan pula oleh dr Ningrum bahwa pihaknya kesulitan untuk mengetahui
kasus perempuan pengidap HIV/AIDS karena ibu hamil tersebut tidak menyadari
dirinya positif mengidap HIV/AIDS.
Itu adalah persoalan besar pada HIV/AIDS yaitu tidak ada tanda-tanda yang
khas pada orang-orang yang sudah tertular HIV. Untuk itulah diperlukan langkah yang konkret dan
sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat terutama pada ibu hamil.
Disebutkan pula oleh dr Ningrum bahwa pihaknya telah melakukan sosialisasi
kepada para pelajar dan populasi berisiko, seperti PSK, pelaut, dan sopir-sopir
antardaerah yang masih bersih.
Satu hal yang luput dari perhatian adalah yang menularkan HIV/AIDS kepada
PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang
suami.
Selanjutnya ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Laki-laki ini
pun dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami.
Laki-laki yang menularkan HIV kepada
PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV
di masyarakat tanpa mereka sadari, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah.
Jika Pemprov Sultra tidak menjalankan program penanggulangan yang konkret,
maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi yang kelak bermuara pada
’ledakan AIDS’.***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful
W. Harahap