29 Maret 2013

HIV/AIDS, Januari-Desember 2012 Terdeteksi 27.197 Kasus




Data Kasus AIDS (30/3-2013) - Laporan Kasus HIV/AIDS di Indonesia sampai dengan Desember 2012 yang diterbitkan oleh Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, tanggal 18 Februari 2013, menyebutkan bahwa kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia mencapai 143.899 yang terdiri atas 98,390 HIV dan 45,499 AIDS dengan 8,235 kematian.

Pada priode Januari-Desember 2012 kasus kumulatif HIV/AIDS yang terdereksi dilaporkan 27.197 yang terdiri atas 21,511 HIV dan 5,686 AIDS.

Pada priode Oktober – Desember tahun 2012 dilaporkan 6.139 kasus HIV. Kasus terdeteksi kelompok umur 25-49 tahun (61,6%), kelompok umur >=50 tahun (20,1%) dan kelompok umur 20-24 tahun (12,5%). Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 1:`. Faktor risiko (cara penularan) HIV tertinggi melalui hubungan seksual berisiko (laki-laki tidak memakai kondom) pada heteroseksual (52,8%), penggunaan jarum suntik bergantian pada penyalahguna narkoba (10,3%), dan LSL/Lelaki suka Seks Lelaki (7,7%).

Pada priode Oktober-Desember tahun 2012 dilaporkan 2.145 kasus AIDS.

Kasus yang dilaporkan terdeteksi pada kelompok umur 30-39 tahun (35,05%), kelompok umur 20-29 tahun (24,8%) dan kelompok umur 40-49 tahun (17,6%).

Perbandingan kasus AIDS pdaa laki-laki dan perempuan 2:1.

Kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari lima provinsi [Lihat Tabel I].

Faktor risiko (cara penularan) adalah hubungan seksual berisiko pada heteroseksual (78,3%), dari ibu (positif HIV) ke anak (4,1%), penggunaan jarum suntik bergantian pada penyalahguna narkoba (3,8%) dan LSL (2,8%).

Sejalan dengan upaya mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat, maka pusat-pusat layanan konseling dan tes HIV pun terus diperbanyak Sampai dengan Desember 2012 jumlah tempat layanan HIV/AIDS yang aktif dilaporkan ada 503.

Sedangkan jumlah layanan untuk perawatan, pengobatan dan dukungan bagi Odha (Orang dengan HIV/AIDS dilaporkan 338 yang terdiri atas 239 rumah sakit rujukan dan 89 jaringan.

Layanan PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon).yaitu pemberian narkoba sintetis untuk menghentikan penyalahguna narkoba agar tidak memakai jarum suntik ada 83 tempat.

Tempat yang disedikan untuk penangangan IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan yang mengidap IMS ada 257 tempat.

Bagi ibu-ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS ada 105 tempat yang melayani upaya pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandung.

Ada pula pusat layanan yang menangani HIV dengan infeksi TB.

Sampai dengan bulan Desember 2012 ada 148 Lapas/Rutan/Bapas yang melakukan pengendalian HIV/AIDS dan IMS. 

Di Tabel II dapat disimak kasus AIDS berdasarkan jenis kelamin.

Di Tabel III ada rincian jumlah kasus AIDS berdasarkan faktor risiko (cara penularan).

Tabel IV digambarkan kasus AIDS berdasarkan kelompok atau golongan umur.

Tabel V memberikan gambaran berupa peringkat provinsi berdasarkan kasus AIDS.

Langkah-langkah yang dikembangkan pemerintah, seperti fasilita tes HIV di klinik VCT (tempat tes HIV gratis dengan konseling dan kerahasiaan) di rumah-rumah sakit umum daerah, perawatan, dan pengobatan merupakan penanggulangan di hilir. Artinya, ada dulu penduduk yang tertular HIV baru ditangani.

Yang diperlukan adalah program konkret untuk menanggulangi insiden infeksi HIV baru di hulu, terutama pada laki-laki yang melacu dengan program berupa intervensi agar laki-laki yang melacur memakai kondom setiap kali sanggama dengan pekerja seks komersial (PSK). 

Begitu pula dengan upaya mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil tidak ada mekanisme yang sistematis, sehingga kasus pun hanya ’tertangkap’ secara pasif.

Untuk itulah diharapkan pemerintah mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk:

(1) Mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat.

(2) Mendetekwsi HIV/AIDS pada perempuan hamil.

(3) Menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa di pelacuran.

Tanpa program yang konkret, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

27 Maret 2013

Empat Bayi di Kab Karimun, Kep Riau, Terdeteksi Mengidap HIV/AIDS


Tanggapan Berita (28/3-2013) – “Jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hingga 2012 lalu, tercatat ada 1.109 penderita HIV/AIDS di Karimun.” Ini lead pada berita “Empat Bayi di Karimun Terjangkit HIV/AIDS” di berita.plasa.msn.com (5/3-2013).


Pernyataan pada lead berita ini menunjukkan wartawan tidak mengetahui cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah berkurang atau turun biar pu banyak pengidapnya meninggal.

Dilaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Karimun mencapai 1.109 yang terdiri 747 HIV dan 362 AIDS. Empat di antaranya  bayi.

Kalau wartawan dan pengurus KPA Kab Karimun memahami penyebaran HIV/AIDS pada ranah realitas sosial, maka yang menjadi persoalan besar adalah empat bayi tsb.

Pertama, kasus pada empat bayi itu menunjukan ibu dan ayah mereka mengidap HIV/AIDS. Itu artinya sudah ada 12 yang mengidap HIV/AIDS (4 bayi + 4 ibu + 4 ayah).

Kedua,  kalau ayah mereka mempunyai istri lebih dari satu maka jumlah perempuan dan bayi yang mengidap HIV/AIDS pun bertambah.

Ketiga, dalam berita tidak dijelaskan apakah ayah empat bayi itu sudah menjalani tes HIV. Kalau belum maka itu artinya empat laki-laki itu menyebaran  HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Menurut Wakil Bupati Karimun, Aunur Rafia, yang juga Ketua KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kab Karimun: "Upaya untuk mengurangi meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS dari pemerintah sebagian besar melalui sosialisasi ke masyarakat dan kegiatan kerohanian. ….”

Kalau hanya dengan sosialisasi penanggulangan HIV/AIDS tidak akan bisa dilakukan karena sosialisasi sudah dilakukan sejak awal penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.

Pertanyaan untuk Aunur Rafia: Apakah di daerah Anda ada pelacuran?

Tentu saja Aunur Rafia akan menampiknya: Tidak ada!

Ya, Aunur Rafia benar. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran yang merupakan regulasi pemkab dengan pembinaan dari dinas sosial.

Sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Pertanyaan selanjutnya untuk Aunur Rafia: Apakah Anda bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kab Karimum yang melacur tanpa kondom di wilayah Kab Karimun dan di luar wilayah Kab Karimun?

Kalau jawabannya bisa, maka tidak ada persoalan penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual.

Tapi, kalau jawabannya tidak bisa, maka ada persoalan besar terkait dengan penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual.

Maka, yang perlu dilakukan Pemkab Karimun adalah melakuan intervensi melalui regulasi yang bisa memaksa laki-laki memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Pernyataan Pengurus KPA Karimun, Erwan Muharudin, ini menunjukkan bahwa ada laki-laki dewasa penduduk Kab Karimin yang melacur tanpa kondom: "Hal ini disebabkan belum adanya perubahan perilaku dalam berhubungan seks, khususnya melakukan seks beresiko dan tidak aman."

Maka, selama tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui pelacuran, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terjadi di Kab Karimun yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’. ***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Takut AIDS Karena Batuk-batuk dan Sesak Napas setelah ML dengan PSK

Tanya-Jawab AIDS No 7 /Maret 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: (1) Berapa lama gejala terjangkit HIV/AIDS baru kelihatan? Saya melakukan perilaku berisko tanggal 12 Maret 2013. Waktu itu saya mabuk di kafe, kemudian ML tanpa pengaman. Saya baca ciri-ciri pangidap HIV/AIDS, al. batuk-batuk. Sudah dua hari setelah ML saya batuk-batuk dan sesak napas. (2) Berapa biaya tes HIV? (3) Apakah tes HIV harus di rumah sakit khusus? (4) Di mana tempat tes HIV di dekat tempat inggal saya? (5) Bagaimana gambaran kasus di “X” pada akhir tahun 2012?

Via SMS (22/3-2013)dari Kaltim

Jawab: (1) Persoalan besar terkait dengan penularan HIV/AIDS adalah tidak ada tanda-tanda yang khas HIV/AIDS pada diri seseorang yang sudah tertular HIV dalam jangka waktu yang lama. Secara statistik gejala baru mulai muncul antara 5-15 tahun setelah tertular HIV. Tapi, jika ada penyakit yang umum dan bisa disembuhkan dengan cepat, tapi pada diri seseorang sulit sembuh maka ybs. perlu tes HIV jika pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK). Kalau batuk-batuk dan sesak napas Anda tidak sembuh setelah berobat dalam jangka waktu yang lebih lama dari biasanya, maka Anda layak tes HIV.

(2), (3), dan (4) Tes HIV di klinik VCT (tempat tes HIV gratis secara sukarela dengan konseling dan kerahasiaan) tidak bayar alias gratis. Silakan hubungi rumah sakit umum di daerah Anda tanya klinik VCT.

(5) Gambaran kasus di daerah Anda tidak ada kaitannya secara langsung dengan risiko Anda tertular HIV karena survailans tes HIV di kalangan PSK tidak konsisten.

Kejujuran Anda akan membantu. Kalau Anda yakin hanya sekali itu saja melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK risiko Anda kecil, tapi kalau sudah pernah atau sering maka Anda berada pada risiko tinggi tertular HIV. Silakan konsultasi ke klinik VCT di daerah Anda. ***

. - AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap




24 Maret 2013

Tes HIV bagi Ibu Hamil di NTT Perlu Regulasi


Tanggapan Berita (25/3-2013) – Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Nusa Tenggara Timur (NTT) mulai tahun 2013 mendorong ibu hamil untuk melakukan Voluntary Counseling and Testing (VCT) untuk mengetahui apakah ibu dan janin itu mengidap HIV atau tidak. Pernyataan ini ada pada lead berita “KPAD NTT Dorong Ibu Hamil Periksa HIV” di www.nttterkini.com (4/3-2013).

Yang menjadi persoalan besar adalah di Indonesia tidak ada langkah atau cara yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Bandingkan dengan Malaysia, misalnya, yang menjalankan program survailans tes HIV rutin terhadap perempuan hamil.

Maka, yang diperlukan adalah program yang sistematis yang bisa dilakukan berdasarkan regulasi berupa peraturan yang dikeluarkan oleh Pemprov NTT. Sayang, dalam Perda AIDS Prov NTT sama sekali tidak ada program konkret yang bisa mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil (Lihat: Perda AIDS Provinsi NTT- http://www.aidsindonesia.com/search/label/Perda%20AIDS%20Provinsi%20NTT).

Persoalan lain yang bisa muncul dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada perempuan hamil adalah ada kemungkinan suami mengelak sebagai penular HIV kepada istrinya. Ini bisa mendorong penyangkalan yang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Untuk itulah diperlukan konseling atau bimbingan pasangan. Artinya, pasangan suami-istri dikonseling ketika istri hamil agar mereka memahami risiko penularan HIV karena perilaku suami.

Anjuran tes HIV kepada ibu hamil dilakukan, seperti yang dikemukakan oleh Sekretaris Eksekutif KPAD NTT, dr Husein Pancratius, karena penyebaran HIV di NTT dinilai sudah mencemaskan.

Dengan anjuran tes HIV kepada ibu hamil, menurut dr Husein, diharapkan tidak ada lagi bayi yang lahir dengan HIV/AIDS. Pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa dilakukan secara medis jika ibu hamil terdeteksi mengidap HIV di awal-awal kehamilan.

Maka, diperlukan sistem yang bisa mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Pemprov NTT bisa membuat peraturan, misalnya, mewajibkan ibu hamil yang berobat ke sarana kesehatan pemerintah dengan Jamkesda atau surat keterangan miskin menjalani tes HIV.

Langkah berikutnya tes HIV bagi perempuan hamil diberlakukan secara umum di NTT. Tentu saja diperlukan regulasi yang berkekuatan hukum.

Tanpa regulasi maka upaya untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu hamil tidak akan tercapai. Jika ini yang terjadi, maka bayi-bayi yang lahir pun bisa saja dengan AIDS yang pada gilirannya menjadi beban bagi pemerintah provinsi.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap