21 Maret 2013

Takut Kena AIDS Karena Mengisap Puting Susu Pemijat

Tanya-Jawab AIDS No 5/Maret 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Apakah air susu ibu (ASI) yang hanya masuk ke mulut tapi tidak tertelan berisiko tertular HIV? Soalnya, saya tidak ingat betul apakah ada ASI yang keluar ketika saya mengisap puting susu cewek terapis di panti pijat.

Via SMS (16/3-2013)

Jawab: Konsentrasi HIV pada ASI perempuan yang mengidap HIV/AIDS cukup untuk ditularkan. Penularan HIV melalui ASI terjadi pada saat proses menyusui.

Perilaku cewek terapis di panti pijat berisiko tertular HIV jika mereka melayani hubungan seksual dengan laki-laki tanpa kondom.

Maka, persoalan yang Anda hadapi adalah Anda tidak bisa memastikan apakah cewek terapis yang puting susunya Anda hisap mengidap HIV/AIDS atau tidak. Jika cewek terapis itu mengidap HIV/AIDS, maka ada HIV/AIDS di ASI cewek terapis tsb.

Jika ada ASI yang masuk ke rongga mulut Anda itu artinya ada risiko penularan HIV. Biar pun Anda tidak mengetahui apakah ada ASI yang tersedot, tapi kontak mulut Anda dengan puting susu dan Anda menyedot ada kemungkinan ASI masuk ke dalam rongga mulut.

Kalau Anda khawatir, lebih baik menjalani tes HIV di klinik VCT (tempat tes HIV sukarela yang gratis dengan konseling dan kerahasisaan) di rumah sakit umum di daerah Anda.***

. - AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap


Risiko Tertular HIV Melalui ‘Seks Bebas’

Tanya-Jawab AIDS No 4 /Maret 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya:  Apa bahaya seks bebas?

Via SMS (14/3-2013)

Jawab: ‘Seks bebas’ adalah istilah yang ngawur karena merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak terdapat dalam kosa kata Bahasa Inggris.

Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), maka tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dan penularan HIV karena penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seksual).

Melacur tanpa kondom dengan PSK adalah perilaku atau kegiatan yang berisiko tertular HIV karena PSK meladeni laki-laki yang bergante-ganti. Ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang berkencan dengan PSK mengidap HIV/AIDS sehingga PSK berisiko tertular HIV.

Selanjutnya laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom berisiko tertular HIV. Jika Anda tetap melacur, maka pakailah kondom sejak melalukan hubungan seksual sampai ejakulasi atau orgasme. ***

. - AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap


20 Maret 2013

Tahun 2016 Obat ARV untuk Pengidap HIV/AIDS Akan Didanai APBN dan APBD



* Dikhawatirkan bisa mendorong friksi sosial karena dianggapa diskriminasi terhadap pengidap penyakit lain

Opini (21/3-2013) – Dikabarkan bantuan dana (hibah atau 'sedekah') dari Global Fund (badan ntuk penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia akan berakhir Desember 2015. Jika Global Fund menghentikan ‘sedekah’ untuk Indonesia, maka mulai Januari 2016 semua biaya kebutuhan untuk penanggulangan HIV/AIDS, terutama pembelian obat antiretroviral (ARV) akan ditanggung APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).

Jika kelak dana untuk penanggulangan HIV/AIDS, terutama pembelian obat ARV, dibiayai oleh APBN dan APBD bisa mendorong kecemburuan sosial karena langkah pemerintah ini diskriminatif (terjadi pembedaan terhadap penyakit). Pada gilirainya diskriminasi itu bisa berujung pada friksi sosial (pergeseran yang menimbulkan perbedaan pendapat sehingga terjadi perpecahan) yang justru akan merusak langkah penanggulangan HIV/AIDS.

Sejak 2007-2011 dana APBN untuk ARV meningkat dari Rp 17 miliar menjadi  Rp 85 miliar tahun 2011. Dana APBN tsb. Sebesar 70% sedangkan sisanya berupa bantuan luar neger. Sedangkan bantuan Global Fund untuk pembelian obat ARV dipakai untuk membeli obat ARV yang tidak diproduksi di dalam negeri.  

Pada kurun waktu 2006-2011 dana dalam negeri  untuk penanggulangan H IV/AIDS  meningkat dari Rp 118,6 miliar pada tahun 2006 menjadi Rp 856,281 miliar pada tahun 2011. Tapi, secara keseluruhan sebagian besar dan masih berasal dari bantuan luar negeri.


Dana bantuan luar negeri, seperti Global Fund, dipakai untuk menjalankan klinik VCT (tempat tes HIV secara gratis dengan asas sukarela dengan bimbingan atau konseling yang bersifat rahasia), didanai oleh hibah Global Fund.

Kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional sejak 1 Januari 1987 s.d. 30 September 2012 adalah 131.685 yang terdiri atas HIV: 92.251 dan AIDS: 39.434 dengan 7,293 kematian.

Karena pemerintah tidak mempunyai program yang konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru (di hulu), terutama pada laki-laki melalui perilaku berisiko, seperti ganti-ganti pasangan di dalam dan di luar nikah serta melacur tanpa kondom), maka kasus HIV/AIDS di masyarakat akan terus bertambah karena penyebaran HIV terus terjadi.

Tidak satu pun daerah di Indonesia yang menjalankan program penanggulangan HIV/AIDS secara sistematis karena semua daerah menafikan pelacuran hanya karena tidak ada lokalisasi pelacuran dalam bentuk resosialisasi yang ditangani pemerintah (daerah).

Di daerah yang ada lokasi pelacuran penanggulangan dijalakan oleh LSM dengan cara penjangkuan terhadap pekerja seks komersial (PSK) terkait dengan pemakaian kondom bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, karena tidak ada regulasi yang berkekuatan hukum, maka kegiatan itu ‘bak menggantang asap’.

Soalnya, tidak ada cara pemantauan yang sistematis untuk memastikan semua laki-laki memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.

Lagi pula, secara faktual posisi tawar PSK untuk memaksa laki-laki memakai kondom sangat rendah karena laki-laki akan meminta germo atau mucikari memaksa PSK meladeni mereka tanpa kondom. Selain itu itu PSK pun akan berpikir dua kali jika menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom karena terakit erat dengan kebutuhan mereka untuk mendapatkan uang sehingga mereka meladeni laki-laki yang tidak mau memakai kondom.

Langkah pencegahan praktek pelacuran pun hanya bisa dilakukan oleh polisi dan Satpol PP secara sporadis pada penginapan, losmen dan hotel melati. Sedangkan razia ke hotel berbintang dan apartemen mewah tidak pernah dilakukan polisi dan Satpol PP. Tidak jelas mengapa polisi dan Satpol PP tidak merazia hotel berbintang dan apartemen mewah. Padahal, pratek pelacuran juga terjadi di hotel berbintang dan apartemen mewah.

Maka, dari tahun ke tahun insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Kasus-kasus yang ada di masyarakat akan terus terdeteksi seiring dengan perjalanan infeksi HIV pada tubuh orang-orang yang sudah tertular HIV tapi belum terdeteksi.

Pada gilirannya kasus HIV/AIDS yang baru terdeteksi pun akan terus bertambah. Kasus-kasus baru tsb. akan menambah jumlah kasus HIV/AIDS yang kelak membutuhkan obat ARV ketika CD4 (kondisi infeksi HIV di dalam tubuh yang diketahui melalui tes darah di laboratorium) mereka sudah di bawah 350.

Itu artinya menambah anggaran pembelian obat ARV yang kelak menyedot APBN dan APBD. Pada posisi ini kebutuhan dana untuk penyakit lain akan terganggu yang dikhawatirkan akan mendorong friksi horizontal karena pembelian obat ARV didanai APBN dan APBD, sedangkan penyakit lain (kecuali obat TBC, pemegang kartu Askes, Jamkesda dan Jamkesmas, dll.), tidak dibeli oleh pemerintah untuk semua penduduk yang sakit.***

AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

17 Maret 2013

‘Tes HIV Massal’ terhadap PNS di Pemkab Kutai Timur, Kaltim

Tanggapan Berita (18/3-2013) – “Wabup: Langsung Perangi AIDS!” Ini judul berita di Harian “Kaltim Post” (16/3-2013).

Caranya? Ini cara yang dijalankan Wakil Bupati Kutai Timur (Kutim), Kaltim, Ardiansyah Sulaiman: “Jangan terlalu banyak rapat, langsung perangi HIV/AIDS. Begitu sosialisasi, langsung check up, action, dan seterusnya.”

Pertama, yang diperangi bukan HIV/AIDS, tapi perilaku orang per orang, terutama laki-laki dewasa, yang gemar melacur tanpa kondom.

Kedua, tes HIV tidak ada kaitannya dengan check up (penyakit) karena tidak semua pengidap HIV/AIDS menunjukkan gejala penyakit.

Agaknya, Pak Wabup dapat ‘bisikan’ yang menyesatkan karena langkah yang dia sampaikan itu justru menjadi rintangan dalam penanggulangan HIV/AIDS.

Pertanyaan untuk Pak Wabup: Apakah di daerah Anda ada pelacuran?

Pak Wabup akan mengatakan: Tidak ada!

Pak Wabup benar, tapi tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran yang ditanggani oleh dinas sosial. Sedangkan praktek pelacuran terjadi di banyak tempat dan setiap saat.

Pertanyaan berikutnya untuk Pak Wabup: Apakah Anda bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kutim yang pernah atau sering melacur tanpa kondom di Kutim atau di luar Kutim?

Kalau jawabannya bisa, maka tidak ada persoalan penyebaran HIV terkait dengan faktor risiko hubungan seksual.

Tapi, kalau jawabannya tidak bisa, maka Pak Wabup harus membuat program yang konkret berupa regulasi yang bisa mengintervensi laki-laki agar memakai kondom jika melacur.

Disebutkan Wabup menginstruksikan kepada dinas kesehatan untuk menyosialisasikan bahaya HIV/AIDS bekerja sema dengan KPA sekaligus melalukan VCT (voluntary counseling and testing) satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lingkup Pemkab Kutim.

Yang diperlukan bukan cara-cara yang massal seperti yang instruksi wakil bupati itu, tapi ada satu sistem agar pendeteksian kasus HIV/AIDS bisa berjalan secara konsisten.

Melakukan tes HIV kepada PNS di lingkup Pemkab Kutim akan menimbulkan gejolak sosial. Biar pun tidak ada konsekuensi kepegawaian jika terdeteksi HIV/AIDS, tapi masalah baru akan muncul, seperti sarana dan prasarana bagi PNS yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Selanjutnya status HIV/AIDS pasangan dan anak-anak mereka.

Lagi pula, biar pun semua PNS sudah menjalani tes HIV itu tidak jaminan bahwa tidak akan ada lagi PNS yang tertular HIV.

Maka, apakan Dinkes Kutim akan melakukan tes HIV massal terhadap PNS setiap hari?

Soalnya, risiko tertular HIV bisa saja terjadi bagi sebagaian PNS setiap hari, yaitu PNS laki-laki yang gemar melacur tanpa kondom baik di lokasi pelacaran maupun di tempat-tempat hiburan malam.

Lagi pula ketika tes HIV dilakukan terhadap PNS bisa saja ada di antara mereka yang berada pada masa jendela yaitu tertular di bawah tiga bulan (Lihat Gambar).

Disebutkan juga oleh Wabup: ”Pengelola tempat hiburan malam maupun panti pijat yang beroperasi di Kutim wajib kooperatif terkait pemeriksaan dan sosialisasi HIV/AIDS. ....”

Terkait dengan pelacuran, tempat hiburan malam dan panti pijat yang jadi persoalan bukan perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks tidak langsung di sana, tapi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan pekerja di sana.

Biar pun ’cewek-cewek’ di tempat hiburan malam dan panti pijat yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS ditangkap, dikarantina atau dipulangkan ke daerah asalnya, di Kutim sudah ada laki-laki dewasa yang mengidap HIV. Mereka itu adalah: (1) Yang menularkan HIV kepada ’cewek-cewek’ di tempat hiburan malam dan panti pijat, dan (2) Yang tertular HIV dari ’cewek-cewek’ di tempat hiburan malam dan panti pijat (Lihat Gambar 1).

Selain itu disebutkan pula penanganan terhadap calon mempelai. Tes HIV terhadap calon mempelai tidak ada manfaatnya karena:

(1) Hasil tes bisa menghasilkan positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi tes reaktif). Ini merugikan calon mempelai laki karena pernikahan batal.

(2) Hasil bisa menghasilkan negatif palsu (HIV ada di dalam darah tapi tes nonreaktif). Ini akan menyengsarakan istri karena suaminya sudah mengidap HIV/AIDS.

(3) Surat ’bebas AIDS’ yang dipegang suami akan dijadikan ’senjata’ ketika istrinya terdeteksi mengidap HIV setelah menikah dengan menuduh istrinya yang selingkuh.

Maka, yang perlu dilakukan Pemkab Kutim adalah:

1. Membuat program yang konkret berupa regulasi yang dijadikan langkah intervensi terhadap laki-laki agar memakai kondom jika melacur di lokasi pelacuran, tempat hiburan malam dan panti pijat.

2. Merancang tes HIV yang sistematis agar kasus HIV di masyarakat bisa terdeteksi secara berkesinambungan.

Tanpa dua langkah di atas, maka insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa penduduk Kutim akan terus terjadi sehingga penyebaran HIV/AIDS pun kelak akan bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap