* Laki-laki heteroseks ditempong waria
Liputan (2/3-2013) – Hasil pemetaan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN)
menunjukkan ada 3,3 juta laki-laki dewasa yang menjadi pelanggan pekerja seks
komersial (PSK) di lokasi pelacuran dan tempat-tempat hiburan yang menyediakan
cewek di berbagai tempat, seperti di wilayah pertambangan, perkebunan, pertambangan, terminal, stasiun dan pelabuhan.
Secara kumulatif kasus AIDS di Indonesia mulai 1 Januari 1987 s.d. 30
September 2012 adalah 131.685 yang terdiri atas 92.251 HIV dan 39.434 AIDS
dengan 7.293 kematian.
Jika dikaitkan dengan penyebaran HIV/AIDS, maka jumlah laki-laki ’pembeli
seks’ itu sangat potensial untuk menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS karena
2,2 juta dari 3,3 juta laki-laki pembeli seks itu mempunyai istri. Ada pula
kemungkinan di antara mereka ada yang beristri lebih dari satu.
Tidak Pakai Kondom
Kondisinya kian runyam karena hanya empat persen yang memakai kondom secara
rutin ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Itu artinya laki-laki yang
berisiko rendah hanya 132.000, sedangkan 3.168.000 laki-laki berisiko tertular
HIV karena mereka tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.
”Wah, susah, Pak. Kalau dipaksa pakai kondom mereka (maksudnya
laki-laki-pen.) marah,” kata seorang PSK di Tanjung ’turki’ Elmo di Kab
Jayapura, Papua. Kalau tetap dipaksa, maka laki-laki akan mencari PSK yang mau
meladeni dia tanpa kondom.
Di satu sisi PSK butuh uang sehingga ada saja PSK yang meladeni laki-laki
tanpa kondom. Selain itu ada pula laki-laki ’hidung belang’ yang
mengiming-imingi tambahan dari taris ’resmi’. Ini menurut pengakuan PSK yang
disidangkan di PN Merauke, Papua.
Kondisi itulah yang mendorong peningkatan kasus infeksi HIV baru pada
laki-laki berisiko yaitu laki-laki yang melacur tanpa kondom. Jika di tahun
2007 kasus terdeteksi 0,1 persen, tapi di tahun 2011 meningkat menjadi 0,7
persen. Inilah yang dilihat dr Fonny J. Silfanus, Deputy Program di KPAN,
sebagai persoalan karena laki-laki beristri yang tertular HIV akan menularkan
HIV kepada istrinya. Jika istri tertular HIV maka ada pula risiko penularan
pada bayi yang dikandungnya kelak.
Selama ini, menurut dr Fonny, pada ’Temu Media’ di Jakarta
(28/2-2013), yang menjadi sasaran penangangan adalah PSK maka sekarang
sasarannya bergeser kepada laki-laki berisiko.
Mereka itu adalah laki-laki ’pembeli seks’ atau yang melacur dengan PSK
tanpa kondom (Gambar 1).
Ada 2,2 juta laki-laki berisiko yang beristri. Itu artinya ada 2,2 juga
perempuan yang berisiko tertular HIV dari suaminya. Istri yang tertular HIV
bisa pula menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak.
”Ya, kadang-kadang saya pakai kondom,” kata seorang laki-laki yang mengaku
beristri dan punya anak di lokasi pelacuran Padanggalak, Sanur, Denpasar, Bali.
Ini tentu saja berisiko karena bisa saja pas dia tidak pakai kondom PSK yang
melayaninya mengidap HIV/AIDS sehingga laki-laki itu berisiko tertular HIV.
Pemerintah pusat dan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) di seluruh
Indonesia menganggap tidak ada pelacuran di daerah mereka karena tidak ada
lokalisasi pelacuran yang ditangani melalui dinas terkait. Akibatnya, tidak ada
program yang konkret untuk mencegah penularan HIV pada pelacuran.
Padahal, Thailand berhasil menurunkan kasus HIV baru melalui pelacuran
yaitu dengan program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melacur di
lokalisasi pelacuran dan rumah bordil.
”Saya tegas menolak meladeni laki-laki yang tidak mau pakai kondom,” kata
seorang PSK di lokasi pelacuran ”Sarkem” di sebelah selatan Stasiun KA Tugu,
Yogyakarta. Sosialisasi kondom di lokasi ini berjalan baik karena kerja keras
beberapa kalangan, seperti LSM. Bahkan, kalau ada laki-laki yang di luar kamar
berjanji akan memakai kondom, tapi menolak memakai kondom ketika di dalam kamar
PSK akan berteriak. Dan tamu itu pun bisa jadi bulan-bulanan. ”Ya, Mas, saya
selalu bawa kondom,” kata seorang laki-laki setengah baya yang mengaku PNS di
’Sarkem’.
Denda PSK
Sayang, usaha keras LSM di ”Sarkem” tidak didukung pemerintah setempat.
Buktinya, dalam Perda AIDS DI Yogyakarta sama sekali tidak ada pasal yang
dikaitkan langsung dengan pelacuran di ”Sarkem” (Lihat: Perda
AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta - http://www.aidsindonesia.com/search/label/Perda%20AIDS%20Daerah%20Istimewa%20Yogyakarta).
Pemkab Merauke dan Pemkab Mimika, keduanya di Papua, meniru langkah
Thailand tapi tidak sistematis. Kalau Thailand memberikan sanksi kepada germo,
di Merauke dan Mimika PSK yang jadi sasaran tembak adalah PSK. Di Merauke PSK
yang terdeteksi mengidap IMS (GO, sifilis, dll.) dibui. Sedangkan di Mimika PSK
yang terdeteksi mengidap IMS didena Rp 2,5 juta.
Seorang PSK yang dibui akan digantikan puluhan PSK ’baru’. Lagi pula
laki-laki penduduk lokal yang tertular dari PSK tsb. menjadi mata rantai
penyebaran IMS di masyarakat. Kalau PSK yang menularkan IMS kepada laki-laki
juga mengidap HIV/AIDS maka sekaligus terjadi penularan HIV.
Sedangkan PSK yang didenda karena tidak mempunyai urang, maka akan
ditalangi germo. Akibatnya, PSK pengidap IMS itu kembali ’bekerja’ untuk
membayar hutangnya kepada germo. Kalau PSK itu juga mengidap HIV/AIDS maka ada
risiko tertular HIV pada laki-laki yang sanggama dengan PSK tsb.
Selain laki-laki berisiko yang ’membeli seks’ ke PSK, ada pula laki-laki
yang juga ’membeli seks’ tapi bukan ke PSK di lokasi pelacuran atau hiburan
malam. Mereka ’membeli seks’ kepada perempuan yang juga PSK tapi ’menyamar’
sebagai cewek pub, cewek diskotek, cewek kampus, dll. Ini disebut PSK tidak
langsung (Gambar 2).
Di Kendari, Sultra, pelacuran terjadi dalam konteks PSK tidak langsung
karena tidak ada lokasi pelacuran. Bahkan, tarif PSK di kota ini ’selangit’ yaitu Rp 500.000 untuk short time.
Biasanya dilakukan di hotel berbintang untuk menghindari razia polisi dan
Satpol PP. PSK di Kendari bisa ’dipesan’ melalui sopir taksi (Lihat: “Selangit”, Tarif PSK di
Kota Kendari, Sultra-http://www.aidsindonesia.com/2012/09/selangit-tarif-psk-di-kota-kendari.html).
Begitu juga dengan pelacuran online PSK yang ditawarkan di dunia maya itu
pun termasuk PSK tidak langsung.
Risiko tertular HIV/AIDS dari PSK tidak langsung sama saja dengan PSK
langsung karena perilaku PSK tidak langsung juga berisiko karena melayani
banyak laki-laki.
Ada pula laki-laki yang gemar sanggama seks anal dengan waria. Yang mengejutkan adalah hasil sebuah studi
di Surabaya, Jatim, menunjukkan laki-laki heteroseksual beristri selalu jadi
’perempuan’ kalau seks anal dengan waria. Artinya, waria yang menganal (di
kalangan waria disebut menempong) dan laki-laki heteroseks dianal (ditempong).
Cewek Gratifikasi
Lho, koq bisa? Ternyata alasan mereka adalah kalau dianal oleh waria mereka
tidak menodai cinta dengan istrinya karena dia tidak memakai penisnya. Padahal,
risiko tertular HIV melalui seks anal lebih besar daripada seks vaginal karena
perlukaan sangat besar kemungkinan terjadi pada seks anal jika tidak memakai
pelicin (Gambar 3).
Ada pula laki-laki berisiko karena melakukan hubungan seksual dengan
laki-laki juga. Ini dikenal sebagai laki-laki suka seks laki-laki (LSL). Mereka
itu laki-laki heteroseks yang mempunyai istri. Tapi, risiko tetap ada karena
bisa saja ada di antara mereka yang juga menjadi pelanggan PSK atau waria
(Gambar 4).
Belakangan terbongkar pula pelacuran yang disebut gratifikasi seks yaitu
cewek yang dijadikan ’imbalan’ atau ’hadiah’ terkait dengan urusan pemerintah
dan bisnis. ’Cewek gratifikasi’ adalah PSK tidak langsung yang risiko tertular
HIV/AIDS sama saja dengan PSK langsung (Gambar 5) [Lihat: Gratifikasi Seks (Akan) Mendorong
Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia - http://www.aidsindonesia.com/2013/01/gratifikasi-seks-akan-mendorong.html).
Seperti yang dikemukakan dr Fonny sasaran adalah laki-laki berisiko, tapi
yang realitis terjangkau melalui program PMTS (Program Pencegahan HIV Melalui
Transmisi Seks) Paripurna ini hanyalah PSK langsung di lokasi pelacuran (hot
spot), panti pijat plus-plus, dan tempat-tempat hiburan malam (diskotek, pub,
karaoke, dll.).
Celakanya, praktek pelacuran dengan PSK tidak langsung juga tidak kalah
banyaknya dengan jumlah pelanggan PSK langsung. Inilah yang menjadi bumerang
karena insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang pada gilirannya mereka
yang tertular HIV menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Selama pemerintah tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan
insiden infeksi HIV baru melalui pelacuran yang melibatkan PSK langsung, maka
selama itu punya penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara
pada ’ledakan AIDS’.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap