* Wajib tes HIV adalah perbuatan melawan hukum dan
pelanggaran HAM
Tanggapan Berita (22/2-2013) – “…. kini para perawat atau petugas
medis wajib melakukan tes HIV pada ibu yang mengandung. Semua itu sudah
tertera di dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan GK/Menkes/001/I/2013, Layanan
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) yang disahkan pada saat hari
HIV/AIDS pada bulan Desember 2012.” Ini ada dalam berita “Cegah Penularan ke Bayi, Wanita Hamil Wajib Tes
HIV” di liputan6.com (21/2-2013).
Jika statement itu benar ada
dalam surat edaran Menkes tentulah patut dipertanyakan karena mewajibkan
seseorang tes HIV merupakan perbuatan yang melawan hokum dan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia (HAM) kecuali dengan persyaratan yang komprehensif.
Di Amerika Serikat, misalnya,
seperti dikemukakan oleh Prof dr Zubairi Djoerban, SpPD(K), FINASIM, semua pasien yang berobat ke sarana
kesehatan publik (pemerintah) harus menjalani tes HIV. Ini jelas ada alasan,
maka jika hal serupa akan dilakukan di Indonesia terhadap perempuan hamil, maka
perlu ada persyaratan yang khusus.
Misalnya, tes HIV diharuskan bagi
perempuan hamil yang memeriksa kesehatan atau menjalani persalinan di sarana
kesehatan pemerintah dan pemerintah daerah, seperti pemegang kartu Askes,
Jamkesmas, Jamkesda, KJS (Kartu Jakarta Sehat), dll.
Selain itu surat edaran itu juga
perlu menetapkan harus ada konseling pasangan, yaitu konseling bagi suami
perempuan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena kalau tidak dilakukan
konseling bisa terjadi suami justru menuduh istrinya yang selingkuh.
Selain itu suami perempuan yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS akan terus menyebarkan HIV/AIDS kalau tidak
menjalani konseling yang berakhir pada tes HIV.
Di beberapa negara di Asia
Pasifik tes HIV terhadap perempuan hamil dilakukan melalui skirining dan
survailans (Lihat Matriks).
Disebutkan bahwa dari tahun ke
tahun jumlah HIV/AIDS yang terdeteksi
pada ibu rumah tangga terus bertambah. Ya, ini terjadi karena mereka tertular
dari suami.
Celakanya, pemerintah tidak
mempunyai program yang konkret untuk mencegah penularan HIV pada
praktek-praktek pelacuran terbuka dan tertutup.
Kondisinya kian parah karena
ibu-ibu rumah tangga merasa dirinya tidak berisiko tertular HIV, tapi tanpa
mereka sadari perilaku suami mereka justru berisiko karena ada yang melacur
tanpa kondom, menerima gratifikasi seks, kawin-cerai, perselingkuhan, ‘nikah
mut’ah’, dll.
Jika perempuan hamil yang
mengidap HIV/AIDS tidak ditangani secara medis, maka ada risiko penularan HIV
secara vertikal ke bayi yang dikandungnya kelak. Untuk itulah diperlukan
langkah yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil tanpa
melawan hukum dan melanggar HAM.
"Sekarang seorang ibu hamil
yang datang ke pusat perawatan wajib diperiksa HIV. Akan lebih fokus lagi kalau pas diperiksa ia
menderita Infeksi Menular Seksual (IMS) atau ada penyakit yang biasa ditularkan
secara seksual." Ini disampaikan oleh Satuan Petugas (Satgas) HIV Rumah
Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) Dr. Nia Kurniati, SpA(K).
Langkah di atas bisa membuat perempuan hamil takut mendatangi pusat
perawatan yang akhirnya berdampak buruk terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Suami-suami yang merasa dirinya mempunyai perilaku yang berisiko pun akan
melarang istrinya ke pusat perawatan yang mewajibkan tes HIV.
Untuk itulah diperlukan cara-cara yang arif dan komprehensif agar tidak
menjadi kontra produksi terhadap upaya-upaya penanggulangan HIV/AIDS.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap