15 Februari 2013

AIDS di Kota Probolinggo, Jatim: KLB bukan HIV/AIDS tapi Perilaku Laki-laki ‘Hidung Belang’


Tanggapan Berita (16/2-2013) – “Komisi C DPRD Kota Probolinggo, Jawa Timur merekomendasikan status kejadian luar biasa (KLB) penyakit HIV/AIDS di Probolinggo.” Ini lead pada berita “DPRD Rekomendasikan KLB HIV/AIDS di Probolinggo” di kompas.com (13/2-2013).

Langkah Komisi C DPRD Kota Probolinggo itu menunjukkan pemahaman mereka terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis sangat rendah. KLB hanya untuk penyakit-penyakit menular yang mudah menular dan dengan cepat menyebar di masyarakat, al. melalui udara dan air.

HIV/AIDS tidak menular melalui udara, air dan pergaulan sehari-hari sehingga tidak akan menyebar di masyarakat.

Yang menjadi persoalan adalah yang menularkan, dalam hal ini yang menjadi mata rantai penyebaran, HIV yaitu laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), serta waria.

Maka, yang ditetapkan KLM adalah perilaku sebagian laki-laki penduduk Kota Probolinggo yang pernah atau sering melacur dengan PSK di Kota Probolinggo atau di luar Kota Probolinggo.

Persoalannya adalah Pemkot Probolinggo dan DPRD Kota Probolinggo tentu saja membusungkan dada dengan mengatakan: Di Kota Probolinggo tidak ada pelacuran!

Itu benar. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran yang dibina oleh dinas sosial, sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Yang lebih menggelikan lagi adalah DPRD Kota Probolinggo ternyata tidak mengingat kalau mereka sudah menelurkan peraturan daerah (perda) terkait HIV/AIDS yang Perda No 9 Tahun 2005 yang disahkan tanggal 7 April 2005. Perda ini merupakan perda ke-6 dari 72 peraturan sejenis yang ada di Indonesia.

Tapi, begitulah. Perda-perda yang ada tidak berguna karena hanya copy-paste dan berisi pasal-pasal yang sarat dengan norma dan moral sehingga tidak membumi. Ini terjadi karena penanggulangan HIV/AIDS membutuhkan langkah yang konkret bukan slogan atau jargon moral (Lihat: Perda AIDS Kota Probolinggo - http://www.aidsindonesia.com/2013/02/perda-aids-kota-probolinggo.html).  

Sikap Komisi C DPRD Kota Probolinggo itu disebutkan karena jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kota itu terus bertambah. Dikabarkan ada 25 pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi di sana.

Nah, lagi-lagi anggota dewan itu tidak memahami statistik HIV/AIDS di Indonesia. Pelaporan kasus HIV/AIDS dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka kasus tidak akan pernah turun atau berkurang biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal.

Yang perlu dipersoalkan DPRD Kota Probolinggo adalah insiden infeksi HIV baru yang terjadi pada laki-laki dewasa yang melacur, terutama di Kota Probolinggo. Selama pelacaran tidak dilokalisir, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi karena laki-laki melacur tanpa memakai kondom.

Diseburtkan: Namun ironisnya, daerah tersebut belum memiliki Komisi Penanggulangan HIV/AIDS.

Itu masalah lain, tapi di daerah yang ada KPA dan dana yang besar pun penanggulangan HIV/AIDS tidak bisa berjalan karena tidak ada program yang konkret.

Ini pernyataan Ketua Komisi C, Nasution: "Silahkan saja punya tafsir sendiri. Keputusan KLB itu diambil bukan sebagai hal yang menakutkan. Melainkan agar penanganannya serius dan fokus."

Justru keputusan legislatif tidak boleh multi tafsir, tapi hanya jelas. Dengan menetapkan HIV/AIDS sebagai KLB maka ada dampaknya yaitu pengidap HIV/AIDS akan dikarantina.

Sama sekali langkah itu tidak ada manfaatnya terhadap penanggulangan HIV/AIDS karena orang-orang yang sudah terdeteksi HIV melalui tes HIV yang standar sudah berjanji akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.

Yang menjadi persoalan besar justru orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah tanpa mereka sadari. Ini terjadi karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan gejala yang khas AIDS pada fisik mereka.

Disebutkan bahwa Bedug Institute menunjukkan sejumlah masalah. Di antaranya Kota Probolinggo belum memiliki KPA dan tidak ada alat tes CD4 (tes kekebalan tubuh) dan obat ARV.

Yang disebutkan oleh Bedug Institute ini adalah persoalan di hilir. Artinya, terkait dengan orang yang sudah tertular HIV. Yang diperlukan adalah langkah yang konkret di hulu yaitu program untuk mencegah tidak terjadi lagi insiden infeksi HIV baru.

Disebutkan oleh Badrus, aktivis Bedug Institute, penderita HIV/AIDS di Kota Probolinggo yang ditanganinya sebanyak 14. Mereka ada yang laki-laki, perempuan dan anak di bawah umur. "Anak di bawah umur itu ketularan bapaknya yang terinfeksi karena seks bebas," kata Badrus.

Inilah fenomena di kalangan sebagian besar aktivis AIDS. Mereka sendiri tidak memahami HIV/AIDS dengan tepat. Lihat saja pernyataan Badrus itu yang menyebutkan ’seks bebas’.

Kalau ’seks bebas’ diartikan melacur, maka tidak ada kaitan langsung antara melacur dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.

Selama Pemkot Probolinggo tidak mempunya program yang konkret, al. melakukan intervensi terhadap laki-laki yang melacur agar memakai kondom, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terjadi di Kota Probolinggo.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Takut Kena AIDS karena Dionani Pemijat

Tanya-Jawab AIDS No 14 /Februari 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Saya melakukan onani di panti pijat. Onani dilakukan oleh perempuan pemijat. Saya merasa tidak nyaman karena takut risiko tertular HIV. Apakah saya perlu tes?

Tn “ZYZ” (via SMS 11/2-2013)

Jawab: Semua terpulang kepada kejujuran Anda terhadap diri Anda sendiri. Kalau Anda jujur bahwa di panti pijat yang terjadi hanya onani yang dilakukan oleh perempan pemijat tentulah tidak ada risiko tertular HIV.

Lain halnya kalau terjadi hubungan seksual tanpa kondom, maka ada risiko tertular HIV karena perempuan pemijat di panti pijat melayani laki-laki yang berganti-ganti. Ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang dilayani perempuan pemijat itu mengidap HIV/AIDS sehingga perempan pemijat itu berisiko tertular HIV.

Kalau hanya melakukan onani Anda tidak perlu tes HIV. Tapi, maaf, kalau Anda tidak jujur, maka kecemasan akan terus menghantui Anda. ***

. - AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap


14 Februari 2013

Perda AIDS Kota Probolinggo


Media Watch (15/2-2013) - Pemerintah Kota (Pemkot) Probolinggo, Jawa Timur, menerbitkan peraturan daerah yaitu Perda No 9 Tahun 2005 tanggal 7 April 2005 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS.

Di pasal 7 ayat a disebutkan: “Setiap orang yang telah megetahui dirinya terinfeksi HIV, dilarang melakukan hubungan seksual dengan orang lain, kecuali bila pasangannya yang sah telah diberitahu tentang status HIV nya dan secara sukarela menerima resiko tersebut.”

Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen insiden penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah terjadi tanpa disadari. Data tentang ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV/AIDS juga menunjukkan bahwa banyak suami yang perilakunya berisiko tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV sehingga dia tidak memakai kondom ketika sanggama dengan istrinya.

Yang menjadi persoalan besar dalam epidemi HIV adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena selama ini informasi tentang cara-cara penularan HIV tidak akurat. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, pergaulan bebas, ‘jajan’, waria, homoseksual, dll. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seksual).

Seseorang berisiko tertular HIV jika: (a) seorang laki-laki atau perempuan dewasa pernah atau sering melakukan hubungan seskual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (b) seorang laki-laki dewasa pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (pekerja seks di lokasi atau lokalisasi pelacuran, cewek panggilan di losmen, motel, rumah, apartemen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, ’cewek SPG’, selingkuhan, WIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, waria pekerja seks, dll.) serta perempuan pelaku kawin-cerai.

Kalau saja perda ini menyasar perilaku berisiko tentulah penanggulangan bisa dilakukan dengan konkret. Di pasal 4 ayat 2 disebutkan: “Pemerintah Daerah harus selalu berupaya mengembangkan kebijakan yang menjamin efektivitas usaha pencegahan dan penanggulangan infeksi HIV/AIDS guna melindungi setiap orang dari infeksi HIV termasuk kelompok rawan.”

Apa langkah yang merupakan kebijakan Pemkot Probolinggo untuk mewujudkan pasal 4 ayat 2 itu? Di pasal 4 ayat 4 huruf c disebutkan: “Kebijakan dapat dilakukan dengan mengembangkan jejaring untuk mengembangkan pelaksanaan penggunaan kondom dan alat suntik steril di lingkungan kelompok yang mempunyai perilaku resiko tinggi.” Lagi-lagi ini hanya normatif karena tidak jelas tempat (subjek) dan sasarannya (objek).

Karena program terkait dengan penurunan insiden infeksi HIV baru melalui hubungan seksual pada laki-laki dewasa mengacu ke program ‘wajib kondom 100 persen’ di Thailand, maka yang dilakukan di Indonesia tidak realistis karena berpijak pada moral. Maka, yang perlu dilakukan adalah menerapkan program itu di lokasi atau lokalisasi pelacuran di Kota Probolinggo.

Masalahnya adalah banyak pemerintah daerah di Indonesia yang menepuk dada setelah menutup lokalisasi pelacuran: Daerah saya bebas pelacuran! Daerah saya bebas maksiat! Pemprov Jawa Timur akan menutup semua lokalisasi pelacuran, tapi apakah praktek pelacuran akan hilang?

Boleh-boleh saja menepuk dada karena tidak ada kegiatan pelacuran yang kasat mata. Tapi, tunggu dulu. Apakah di daerah tsb. tidak ada praktek pelacuran? Praktek pelacuran tetap saja terjadi di sembarang tempat dan setiap saat. Ibarat membuat jarum ke semak-semak tidak dilihat mata tapi dilihat hati.

Akan lebih bijaksana kalau Pemkot Probolinggo membuat regulasi berupa penyediaan tempat rehabilitasi dan resosialisasi (resos) pelacuran agar program ‘wajib kondom 100 persen’ bisa diterapkan secara konsisten. Setiap pemilik wisma diberikan izin usaha. Secara rutin PSK yang bekerja di wisma menjalani tes IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungans seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti GO (kencing nanah), sifilis (raja singa), klamidia, hepatitis B, dll.). Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan PSK tsb. meladeni laki-laki ‘hidung belang’ tanpa kondom. Germo diberikan sanksi mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha. Bahkan, bisa juga dalam bentuk pidana kurungan sebagai efek jera.

Perda AIDS Prov Jawa Timur sendiri tidak mengakomodir program ’wajib kondom 100 persen’ sehingga perda itu tidak membumi.

Sanksi diberikan kepada germo karena fakta menunjukkan posisi tawar PSK sangat lemah. Laki-laki ’hidung belang’ akan memakai tangan germo untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom. Maka, yang menerima sanksi adalah germo.

Jika Pemkot Probolinggo tetap menafikan praktek pelacuran dengan PSK langsung dan PK tidak langsung maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. Tinggal menunggu ’panen’ AIDS karena kasus-kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS. ***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Khawatir Calon Suami Mengidap HIV/AIDS


Tanya-Jawab AIDS No  13/Februari 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Saya seorang perempuan. Insya Allah tiga bulan lagi saya menikah. Calon suami saya pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) sekitar 3,5 tahun yl. Akhir-akhir ini dia merasa ketakutan tertular HIV karena sudah hampir dua bulan dia batuk kering. Dia juga pernah widuran beberapa wsaktu setelah melakukan hubungan seksual dengan PSK. Bulan lalu dia tes HIV dengan hasil nonreaktif. Tapi, sampai sekarang dia masih ketakutan. (1) Apakah ada kemungkinan hasil tes tsb. salah? (2) Di kota saya di mana tes HIV yang direkomendasi Kemenkes?

Nn ”XYZ” (via SMS, 13/2-2013)

Jawab: (1) Perilaku calon suami Anda berisiko tinggi tertular HIV, yaitu melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK karena PSK meladeni banyak laki-laki. Bisa saja ada di antara laki-laki yang dilayani PSK mengidap HIV/AIDS sehingga PSK tadi tertular HIV. Nah, kalau PSK yang melayani suami Anda mengidap HIV/AIDS, maka ada risiko tertular HIV pada calon suami Anda. Soalnya, tidak bisa dikenali PSK yang mengidap HIV/AIDS.

Celakanya, orang-orang yang tertular HIV tidak otomatis menunjukkan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Secara statistik gejala terkait AIDS yang muncul pada orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.

Tapi, biar pun tidak ada gejala yang khas AIDS ybs. sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain, seperti melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Anda tidak menjelaskan di mana calon suami Anda tes HIV. Soalnya, ada standar baku yang harus ditetapkan pada tes HIV, yaitu konseling (bimbingan) sebelum dan sesudah tes HIV, kesediaan, dan hasilnya rahasia. Selain itu setiap hasil tes HIV harus dikonfirmasi dengan jenis tes HIV lain. Misalnya, tes HIV dilakukan dengan reagent ELISA. Maka, contoh darah tsb. dites lagi dengan reagent lain, seperti Western blot. Nah, apakah tempat tes HIV calon suami Anda menjalankan standar baku?

Cemas, was-was dan khawatir merupakan kondisi yang jamak dihadapi orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko.

Selain HIV/AIDS ada lagi penyakit yang bisa ditularkan melalui hubungan seksual tanpa gejala yang khas, yaitu virus hepatitis B.

Sedangkan sifilis (raja singa) akan menunjukkan gejala pada penis, tapi yang sering menjadi masalah adalah laki-laki yang tertular sifilis membeli obat di kaki lima. Gejalanya bisa saja hilang, tapi sifilisnya tetap ada di dalam darah sehingga berisiko ditularkan kepada istrinya kelak.

(2) Selain tes HIV ada baiknya calon suami Anda juga menjalani tes penyakit lain, seperti virus hepatitis B dan sifilis. Tes sifilis dan hepatitis B bisa di laboratorium swasta, sedangkan tes HIV sebaiknya di Klinik VCT (tempat tes HIV sukarela yang gratis dengan konseling dan kerahasiaan) di rumah sakit umum di daerah Anda. Anda juga bisa bertanya ke Dinas Kesehatan atau Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di daerah Anda.

Akan lebih baik tes HIV dan penyakit lain sebelum menikah karena jika ada penyakit tsb. pada calon suami Anda, maka ada risiko penularan pada hubungan seksual suami-istri kelak. ***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap