Tanggapan Berita (16/2-2013)
– “Komisi C DPRD Kota Probolinggo, Jawa Timur merekomendasikan status kejadian
luar biasa (KLB) penyakit HIV/AIDS di Probolinggo.” Ini lead pada berita “DPRD
Rekomendasikan KLB HIV/AIDS di Probolinggo” di kompas.com (13/2-2013).
Langkah Komisi C DPRD Kota
Probolinggo itu menunjukkan pemahaman mereka terhadap HIV/AIDS sebagai fakta
medis sangat rendah. KLB hanya untuk penyakit-penyakit menular yang mudah
menular dan dengan cepat menyebar di masyarakat, al. melalui udara dan air.
HIV/AIDS tidak menular melalui udara, air dan pergaulan sehari-hari
sehingga tidak akan menyebar di masyarakat.
Yang menjadi persoalan adalah yang menularkan, dalam hal ini yang
menjadi mata rantai penyebaran, HIV yaitu laki-laki yang pernah atau sering
melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan
perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti
pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), serta waria.
Maka, yang ditetapkan KLM adalah perilaku sebagian laki-laki penduduk
Kota Probolinggo yang pernah atau sering melacur dengan PSK di Kota Probolinggo
atau di luar Kota Probolinggo.
Persoalannya adalah Pemkot Probolinggo dan DPRD Kota Probolinggo tentu
saja membusungkan dada dengan mengatakan: Di Kota Probolinggo tidak ada
pelacuran!
Itu benar. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokalisasi
pelacuran yang dibina oleh dinas sosial, sedangkan praktek pelacuran terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu.
Yang lebih menggelikan lagi adalah DPRD Kota Probolinggo ternyata tidak
mengingat kalau mereka sudah menelurkan peraturan daerah (perda) terkait
HIV/AIDS yang Perda No 9 Tahun 2005 yang disahkan tanggal 7 April 2005. Perda ini merupakan
perda ke-6 dari 72 peraturan sejenis yang ada di Indonesia.
Tapi, begitulah. Perda-perda
yang ada tidak berguna karena hanya copy-paste
dan berisi pasal-pasal yang sarat dengan norma dan moral sehingga tidak membumi.
Ini terjadi karena penanggulangan HIV/AIDS membutuhkan langkah yang konkret
bukan slogan atau jargon moral (Lihat: Perda AIDS Kota Probolinggo - http://www.aidsindonesia.com/2013/02/perda-aids-kota-probolinggo.html).
Sikap Komisi C DPRD Kota
Probolinggo itu disebutkan karena jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kota
itu terus bertambah. Dikabarkan ada 25 pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi di
sana.
Nah, lagi-lagi anggota dewan
itu tidak memahami statistik HIV/AIDS di Indonesia. Pelaporan kasus HIV/AIDS
dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu
seterusnya sehingga angka kasus tidak akan pernah turun atau berkurang biar pun
banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal.
Yang perlu dipersoalkan DPRD
Kota Probolinggo adalah insiden infeksi HIV baru yang terjadi pada laki-laki
dewasa yang melacur, terutama di Kota Probolinggo. Selama pelacaran tidak
dilokalisir, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi karena
laki-laki melacur tanpa memakai kondom.
Diseburtkan: Namun ironisnya, daerah tersebut belum memiliki Komisi
Penanggulangan HIV/AIDS.
Itu masalah lain, tapi di daerah yang ada KPA dan dana yang besar pun
penanggulangan HIV/AIDS tidak bisa berjalan karena tidak ada program yang
konkret.
Ini pernyataan Ketua Komisi C, Nasution: "Silahkan saja punya tafsir
sendiri. Keputusan KLB itu diambil bukan sebagai hal yang menakutkan. Melainkan
agar penanganannya serius dan fokus."
Justru keputusan legislatif tidak boleh multi tafsir, tapi hanya jelas.
Dengan menetapkan HIV/AIDS sebagai KLB maka ada dampaknya yaitu pengidap
HIV/AIDS akan dikarantina.
Sama sekali langkah itu tidak ada manfaatnya terhadap penanggulangan
HIV/AIDS karena orang-orang yang sudah terdeteksi HIV melalui tes HIV yang
standar sudah berjanji akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.
Yang menjadi persoalan besar justru orang-orang yang sudah mengidap
HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai
penyebaran HIV di masyarakat al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam
dan di luar nikah tanpa mereka sadari. Ini terjadi karena orang-orang yang
sudah tertular HIV tidak menunjukkan gejala yang khas AIDS pada fisik mereka.
Disebutkan bahwa Bedug Institute menunjukkan sejumlah masalah. Di antaranya Kota Probolinggo belum
memiliki KPA dan tidak ada alat tes CD4 (tes kekebalan tubuh) dan obat ARV.
Yang disebutkan oleh Bedug Institute ini adalah persoalan di hilir.
Artinya, terkait dengan orang yang sudah tertular HIV. Yang diperlukan adalah
langkah yang konkret di hulu yaitu program untuk mencegah tidak terjadi lagi
insiden infeksi HIV baru.
Disebutkan oleh Badrus, aktivis Bedug Institute, penderita HIV/AIDS di Kota
Probolinggo yang ditanganinya sebanyak 14. Mereka ada yang laki-laki, perempuan
dan anak di bawah umur. "Anak di bawah umur itu ketularan bapaknya yang
terinfeksi karena seks bebas," kata Badrus.
Inilah fenomena di kalangan sebagian besar aktivis AIDS. Mereka sendiri
tidak memahami HIV/AIDS dengan tepat. Lihat saja pernyataan Badrus itu yang
menyebutkan ’seks bebas’.
Kalau ’seks bebas’ diartikan melacur, maka tidak ada kaitan langsung antara
melacur dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual, di dalam
dan di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu mengidap HIV/AIDS dan
laki-laki tidak memakai kondom.
Selama Pemkot Probolinggo tidak mempunya program yang konkret, al.
melakukan intervensi terhadap laki-laki yang melacur agar memakai kondom, maka
selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terjadi di Kota Probolinggo.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap