* Tidak ada pasal penanggulangan HIV/AIDS yang
konkret
Media Watch (27/1-2013) – Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Fakfak, Prov Papua Barat, menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No 8 Tahun 2008
tentang Pencegahan, Pengendalian dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten
Fakfak yang disahkan tanggal 25 Februari 2008. Ini perda ke-30 secara nasional
dan perda ke-4 di Papua Barat.
Perda itu sudah berlaku selama lima tahun. Apakah perda itu efektif
menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Kab Fakfak?
Jawabannya ada dalam pasal
pencegahan HIV/AIDS dalam perda tsb.
Apa langkah yang disebutkan dalam
perda tsb. untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS?
Selain perda ini copy-paste
dari perda sejenis, juga tidak ada pasal-pasal yang konkret untuk menangulangi
penyebaran HIV/AIDS. Coba simak ini. Di Bab III tentang pencegahan,
pengendalian dan penanggulangan HIV dan AIDS di pasal 4 ayat 1 disebutkan:
“Upaya Pencegahan, Pengendalian dan Penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan
dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar yang digariskan dalam strategi
nasional, yaitu memperhatikan nilai-nilai agama dan adat budaya, memperkokoh
ketahanan dan kesejahteraan keluarga, meningkatkan perilaku dan gaya hidup sehat dan bertanggung
jawab, menghormati harkat dan martabat ODHA dan keluarganya serta
memperhatikan kesetaraan gender.”
Kalimat itu adalah ‘kalimat dewa’
yang sama sekali tidak menyentuh akar persoalan karena rinsip-prinsip tsb. sama
sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV/AIDS.
Salah satu ‘pintu masuk’ HIV/AIDS
ke wilayah Kab Fakfak adalah melalui laki-laki dewasa yang mengidap HIV/AIDS
yang tertular HIV/AIDS dari pekerja seks komersial (PSK) di Fakfak atau di luar
Fakfak.
Laki-laki itu tertular HIV ketika
melacur karena mereka tidak memakai kondom.
Pertanyaannya: Apakah di wilayah
Kab Fakfak ada pelacuran?
Pemkab Fakfak tentu saja mengatakan: Tidak ada!
Itu benar. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran
yang ditangani pemkab melalui dinas sosial, sedangkan praktek pelacuran terjadi
di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Maka, yang perlu ada dalam perda itu adalah program yang konkret berupa
regulasi yang memaksa laki-laki memakai kondom ketika melacur. Program ini
hanya bisa dijalankan dengan efektif kalau pelacuran dilokalisir.
Disebutkan bahwa cara untuk menanggulangi HIV/AIDS adalah ”menghormati
harkat dan martabat ODHA dan keluarganya”. Ini adalah langkah di hilir.
Artinya, Pemkab Fakfak menunggu ada dulu penduduk yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS
baru kemudian perda ini melindunginya.
Perda ini kian naif karena sama sekali tidak mengakui pelacuran. Bahkan,
tempat-tempat yang dijadikan transaksi seks diperhalus dengan menyebutkan
”tempat-tempat yang bisa terjadi penularan HIV/AIDS”. Lihat saja di Bab II
tentang Objek dan Subjek perda yaitu di pasal 2 ayat 1: ”Objek pengaturan
Pencegahan, Pengendalian dan Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Peraturan Daerah
ini adalah semua tempat dimana bisa terjadi penularan HIV dan AIDS.”
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah,
bisa terjadi di mana saja dan kapan saja jika salah satu dari satu pasangan
yang melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai
kondom ketika hubungan seksual terjadi
Salah satu tempat terjadi hubungan seksual yang tidak memakai kondom adalah
pada kegiatan pelacuran. Maka, yang diperlukan adalah program yang konkret
berupa kewajiban bagi laki-laki untuk memakai kondom ketika melakukan hubungan
seksual dengan PSK. Tentu saja hal ini tidak ada dalam perda karena perda ini
dirancang dengan pijakan moral yang justru bertolak-belakang dengan HIV/AIDS
sebagai fakta medis.
Lagi-lagi pembuatan perda ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat
terkait dengan HIV/AIDS. Di Bab IV
tentang hak dan kewahiban Odha pada pasal 5 ayat 2 disebutkan: ODHA
Berkewajiban untuk: a. Tidak
menularkan penyakitnya kepada orang lain; b. Memeriksakan kesehatan secara
rutin; c. Memelihara kesehatannya secara maksimal.
Jika tes HIV dilakukan sesuai dengan standar prosedur tes HIV yang baku,
maka orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS sudah berjanji bahwa mereka
akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.
Yang menjadi persoalan besar adalah: Banyak orang yang tidak menyadari
dirinya sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS
pada fisik mereka. Akibatnya, mereka menularkan HIV kepada orang lain tanpa
mereka sadari.
Maka, yang perlu ada dalam perda adalah program yang konkret untuk
mendeteksi HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat. Ini perlu untuk
memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui
hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Terkait dengan penanggulangan berupa pencegahan yang konkret tidak ada
dalam perda ini. Bahkan, pada Bab VI tentang peran serta masyarat di pasal 7
disebutkan: Setiap anggota masyarakat
memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan,
pengendalian dan penanggulangan virus HIV dan penyakit AIDS dengan cara: a. Berperilaku
hidup sehat; b. Meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV
dan AIDS; c. Tidak melakukan diskriminasi terhadap ODHA dan keluarganya; d. Terlibat
dalam kegiatan promosi, pencegahan, test dan kerahasiaan, pengobatan, serta
perawatan dan dukungan.
Tidak ada kaitan langsung antara ”berperilaku hidup sehat” dan penularan
HIV/AIDS melalui hubungan seksual karena hubungan seksual justru merupakan
salah satu indikator hidup sehat. Orang yang tidak sehat tidak bisa melakukan hubungan seksual dengan
sempurna. Hal ini justru menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi
(perlakuan berbeda) terhadap Odha karena dikesankan Odha adalah orang yang
tidak berperilaku hidup sehat.
Lalu, bagaimana dengan istri yang tertular dari suaminya, dan bayi yang
tertular dari ibunya? Apakah penularan terjadi karena mereka tidak berperilaku
hidup sehat?
Begitu pula dengan ”ketahanan keluarga” yang sama sekali tidak ada
kaitannya dengan penularan HIV. Lagi pula:
- Apa alat ukur, takar dan timbang ”ketahanan keluarga”?
- Siapa yang berhak mengukur ”ketahanan keluarga”?
- Berapa ukuran ”ketahanan keluarga” yang bisa mencegah penularan HIV/AIDS?
Lagi-lagi hal ini pun mendorong stigma dan diskriminasi terhadap Odha
karena dikesankan orang-orang yang tertular HIV karena tidak mempunyai
ketahanan keluarga.
Karena tidak perda ini tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan
penularan HIV, maka penyebaran HIV/AIDS di Kab Fakfak akan terus terjadi. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***