19 Januari 2013

Kondom Lepas Setelah Hubungan Seksual

Tanya-Jawab AIDS No 05 /Januari 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Saya takut tertular HIV karena pernah melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Sekali pakai kondom dan sekali lagi tidak pakai kondom. Ketika penis ditarik kondom lepas. (1) Berapa risiko saya tertular HIV? (2) Apakah benar risiko tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pengidap HIV/AIDS 1:100?

Tn “Xz” di Kota T, Jateng (via SMS 19/1-2013)

Jawab: (1) dan (2) Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan yang mengidap HIV/AIDS adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual kemungkinan terjadi penularan ada 1 kali. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui dengan pasti pada hubungan seksual yang keberapa (akan) terjadi penularan HIV. Bisa saja pada hubungan seksual yang pertama, kedua, kesepuluh, ketujuh puluh, dst. Maka, tidak kalau hanya dilakukan 99 kali berarti terhindar dari risiko tertular HIV karena penularan bisa saja terjadi antara hubungan seksual yang pertama dan yang ke-99.

Maka, setiap hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan yang mengidap HIV/AIDS atau dengan pasangan yang berganti-ganti serta dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti perkerja seks komersial (PSK), selalu ada risiko tertular HIV.

Terkait dengan kondom yang lepas ketika selesai hubungan seksual, bisa saja penis bersentuhan dengan vagina atau cairan vagina sehingga ada risiko tertular HIV atau penyakit lain.

Akan lebih bijaksana kalau Anda melakukan tes HIV secara sukarela ke klinik VCT (tempat tes HIV gratis secara sukarela dengan konseling dan kerahasiaan) di RSU di kota Anda.

Jika status HIV diketahui lebih awal, artinya sebelum mada AIDS, maka akan lebih baik karena bisa dilakukan cara-cara tertentu agar Anda tidak menularkan HIV kepada orang lain, seperti pasangan. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***


Apakah HIV Bisa Disembuhkan?


Tanya-Jawab AIDS No  04/Januari 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya:  (1) Apakah HIV bisa disembuhkan? (2) Bagaimana caranya agar HIV tidak menular ke orang lain? (3) Bagaimana kalau ingin punya anak? (4) Katanya ada obat tricajus yang bisa menyembuhkan HIV/AIDS. (5) Di mana beli obat ARV? (6) Apakah di semua rumah sakit bisa tes HIV? (7) Berapa biayanya? (8) Apa bisa langsung ada hasilnya?

Tn “Q”, Kab K, Jabar (via SMS 16/1-2013)

Jawab: (1) HIV adalah virus. Jika HIV sudah masuk ke dalam tubuh, virus ini ada di darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI), maka virus itu tidak bisa dimatikan di dalam tubuh. Bukan hanya HIV, virus lain pun,seperti virus flu dan virus hepatitis B, tidak bisa dimatikan di dalam tubuh.

(2) Jika Anda laki-laki, maka setiap kali melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, pakailah kondom sejak awal hubungan seksual sampai ejakulasi atau orgasme. Jangan mendonorkan darah. Jangan memakai jarum suntik dan alat kesehatan secara bergantian. Jika Anda perempuan tambahan adalah hanya melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang memakai kondom dan  jangan menyusui bayi dengan air susu ibu (ASI)

(3) Laki-laki dan perempuan yang mengidap HIV/AIDS bisa melahirkan anak yang tidak tertular HIV melalui pengawasan dokter. Tapi, status HIV keduanya sudah diketahui melalui tes HIV.

(4) Belum ada obat yang bisa mematikan virus di dalam tubuh manusia. Maka, kalau ada iklan yang menyebutkan bisa menyembuhkan HIV/AIDS itu adalah dusta dan penipuan. Jangankan HIV, virus flu pun tidak bisa dimatikan di dalam tubuh.

(5) Obat antiretroviral (ARV) adalah obat untuk menekan laju perkembangan HIV di dalam darah. Obat ini tidak serta-merta diminum kalau terdeteksi HIV/AIDS. Ada ketentuannya. Obat ini gratis diberikan oleh pemerintah melalui sarana kesehatan resmi.

(6), (7) dan (8) Tes HIV tidak seperti tes penyakit lain karena ada standar prosedur operasi yang khas, al. ada konseling (bimbingan) sebelum dan sesudah tes, ada informed consent (pernyataan kesediaan), ada pula kerahasiaan (konfidensialitas), anonimitas (tidak ada kode-kode tertentu pada contoh darah yang akan dites), dan bersifat sukarela, serta ada tes konfirmasi. Tes HIV yang baku hanya ada di klinik VCT (tempat tes HIV sukarela gratis dengan konseling dan rahasia) di rumah sakit pemerntah yang ditunjuk oleh Kemenkes RI. Hasil tes tergantung kepada kesediaan tes, karena jika datang ke klinik VCT tidak langsung tes karena ada konseling.

Berdasarkan informasi yang ada, sebaiknya Anda tes HIV ke klinik VCT di RSU di Kota C. . ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***



18 Januari 2013

Penangggulangan AIDS di Kab Tobasa, Sumut, Mengabaikan Perilaku Berisiko Laki-laki


Tanggapan Berita (15/1-2013) – Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Tobasa (Toba Samoris), Prov Sumatera Utara (Sumut) yang terdata oleh KPAD (Komisi Penanggulangan AIDS Daerah) Tobasa dan Komisi AIDS HKBP mencapai 192 dengan tiga kematian (192 Warga di Tobasa Terjangkit HIV/AIDS, www.medanbisnisdaily.net, 8/1-2013).

Bertolak dari kasus tsb. dikabarkan KPAD Tobasa kerja sama dengan Komisi AIDS HKBP melakukan pelatihan peningkatan kompetensi pencegahan AIDS dengan peserta ibu PKK Kecamatan se-Tobasa, bidan, Odah (Orang dengan HIV/AIDS) dan Penjaja Seks Komersil (PSK) yang beroperasi di Tobasa.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa di wilahah Kab Tobasa ada pelacuran yang sudah barang tentu melibatkan sebagian laki-laki dewasa penduduk Tobasa. Laki-laki yang menjadi pelanggan PSK itu bisa saja sebagai seorang suami.

Maka, langkah yang dilakukan KPAD Tobasa dan Komisi AIDS HKBP itu tidak tepat karena yang menjadi kunci persoalan adalah laki-laki yang pernah atau sering melacur.

Biar pun PSK dijejali dengan informasi tentang HIV/AIDS, selama laki-laki ‘hidung belang’ tidak mau memakai kondom ketika melacur, maka pelatihan itu tidak ada gunanya. Lagi pula posisi tawar PSK untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual sangat rendah.

Disebutkan oleh Ketua Panitia Pelatihan penanggulangan HIV/AIDS Tobasa dari KPAD Tobasa, dr Pontas Batubara, dan Sekretaris KPAD Tobasa, Diak Nurhayati Silalahi, pelatihan itu salah satu upaya untuk mencegah makin maraknya penderita HIV/AIDS di Tobasa.

Kalau hanya memberikan informasi kepada ibu-ibu PKK dan PSK tentulah harapan KPAD Tobasa dan Komisi AIDS HKBP itu tidak akan pernah terjadi karena laki-laki yang menjadi mata rantai penyebaran HIV tidak dijangkau.

Disebutkan lagi bahwa dengan pelatihan para peserta bisa mengetahui gejala apa saja bagi penderita HIV dan bagaimana caranya agar mereka tidak tertular.

Pertanyannya: Bagaimana cara yang bisa dilakukan oleh seorang istri untuk mencegah agar dia tidak tertular HIV dari suaminya yang menjadi pelanggan PSK?

Selanjutnya disebutkan dalam pelatihan itu dianjujkran kepada PSK agar menggunakan alat kontrasepsi sehingga PSK tahu menjaga dirinya dan tidak beresiko terhadap penularan HIV.

Lagi-lagi tidak tepat karena tidak semua alat kontrasepsi bisa mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Yang bisa mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, hanya kondom.

Selain itu yang harus memakai kondom bukan PSK tapi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Jika Pemkab Tobasa tidak mempunyai program yang konkret berupa intervensi terhadap laki-laki agar memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS di Kab Tobasa akan terus terjad yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

14 Januari 2013

Raperda AIDS Kota Surabaya Tanpa Penanggulangan yang Konkret


Media Watch (15/1-2013) – Di wilayah Provinsi Jawa Timur (Jatim) sudah ada delapan peraturan daerah (Perda0 dan satu peraturan gubernur (Pergub) tentang penanggulangan HIV/AIDS, tapi semua peraturan itu tidak memberikan langkah yang konkret sebagai program untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Belakangan, Pemkot Surabaya pun merancang Perda AIDS. Tentu saja sama halnya dengan perda-perda yang sudah ada raperda Surabaya ini pun tidak lebih dari sekedar copy-paste dari perda yang sudah ada (http://jdih.surabaya.go.id/pdfdoc/raperda_80.pdf).

Coba kita simak pada bagian kebijakan penyelenggaraan (maksudnya penanggulangan HIV/AIDS) di pasal 2 ayat a disebutkan: “Penyelenggaraan upaya penanggulangan HIV dan AIDS dengan memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, norma kemasyarakatan, menghormati harkat dan martabat manusia, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.”

Materi KIE

Tidak semua penularan HIV terkait langsung dengan nilai-nilai agama, budaya, dan norma masyarakat, seperti penularan HIV melalui transfusi darah, cangkok organ tubuh, jarum suntik dan alat-alat kesehatan, dari suami ke istri, dan dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Pernyataan pada pasal 2 ayat a tsb. menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang penularan HIV sehingga mendorong masyarakat melalukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Di bagian strategi pelaksanaan (penanggulangan HIV/AIDS) di pasal 3 disebutkan: “Strategi pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS sebagai berikut, yaitu a. meningkatkan dan mengembangkan promosi penanggulangan HIV dan AIDS; dan b. meningkatkan dan memperluas cakupan seluruh pencegahan yang meliputi pencegahan penularan melalui alat suntik, pencegahan penularan melalui hubungan seksual tidak aman, dan pencegahan penularan melalui ibu ke bayi.”

Terkait dengan ayat a yang menjadi persoalan besar adalah materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS tidak akurat karena dibumbui dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan ’seks menyimpang’, ’seks bebas’, pelacuran, ’jajan’, dll. Padahal, sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ’seks menyimpang’, ’seks bebas’, pelacuran, ’jajan’ dengan penularan HIV.

Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual) di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual).

Sedangkan langkah di ayat b yaitu ’pencegahan penularan melalui hubungan seksual tidak aman’ tentulah akan berhadap dengan kendala besar karena Pemkot Surabaya menutup lokasi dan lokalisasi pelacuran.

Salah satu tempat yang bisa terjadi penularan HIV melalui hubungan seksual yang tidak aman adalah di lokasi dan lokalisasi pelacuran yaitu antara laki-laki dewasa dan pekerja seks komersial (PSK).

Tapi, karena pelacuran tidak lagi kasat mata setelah lokasi dan lokalisasi pelacuran ditutup, maka upaya ’pencegahan penularan melalui hubungan seksual tidak aman’ tidak akan bisa karena adalah hal yang mustahil bagi Pemkot Surabaya untuk mengawasi praktek-prakrek pelacuran yang terjadi di sembarnag tempat dan sembarang waktu.

Di bagian pencegahan di pasal 9 ayat 1 dan 2 disebutkan: ”Pencegahan HIV dan AIDS dilaksanakan secara komprehensif, integratif, partisipatif dan berkesinambungan. Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan kepada kelompok masyarakat sesuai dengan perilaku kelompok dan potensi risiko yang dihadapi.” Pada pasal 3 disebutkan bahwa kelompok masyarakat dengan perilaku kelompok dan potensi risiko yang dihadapi meliputi: a. orang tertular; b. orang berisiko tertular atau rawan tertular; c. orang yang rentan; dan d. masyarakat umum.

Jika sasaran pencegahan ditujukan kepada ’orang yang sudah tertular’ maka itu artinya program tsb. dijalankan di hilir. Artinya, Pemkot Surabaya menunggu ada dulu penduduknya yang tertular HIV baru ditangani.

(Praktek) Pelacuran

Sedangkan ’orang berisiko tertular atau rawan tertular’ tidak akan terjangkau karena tidak ada lokasi dan lokalisasi pelacuran. Tentu tidak mungkin Pemkot Surabaya memasang alat pendeteksi, semacam chip, di penis laki-laki agar bisa diawasi perjalanan ’rudal’ mereka.

Begitu juga dengan ’orang rentan’ tidak bisa diketahui dengan pasti karena perilaku seksual yang berisiko tertular dan menularkan HIV ada pada diri orang per orang bukan kelompok atau kalangan tertentu.

Sedangkan ’masyarakat umum’ yang bisa dilakukan adalah menerapkan skirining HIV yang akurat pada unit transfusi darah. Dengan cara yang dilakukan oleh PMI sekarang ini transfusi darah tetap berisiko karena ada kemungkinan donor menyumbangkan darah pada masa jendela sehingga hasil tes HIV pada darah donor bisa negatif palsu (hasil tes nonreaktif tapi HIV sudah ada di dalam darah).

Di pasal 11 disebutkan: ”Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang mendonorkan darah, produk darah, sperma, cairan/organ/jaringan tubuhnya kepada orang lain.”

Pertama, yang menjadi persoalan besar adalah banyak orang yang mendonorkan darah tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS.

Kedua, dalam sperma tidak ada HIV. Lagi pula MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa haram untuk mendonorkan sperma.

Pada bagian pemberdayaan masyarakat di pasal 19 disebutkan: ”Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib menggunakan kondom.”
Bagaimana mekanisme pemantauan terhadap kepatuhan untuk menerapkan pasal ini?

Tentu saja tidak ada dan tidak bisa. Ini terjadi karena hubungan seksual berisiko terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Apakah Satpol PP akan ditugaskan oleh Pemkot Surabaya mengawasi penis semua laki-laki agar memakai kondom jika mereka melakukan hubungan seksual yang berisiko?

Dengan membasmi lokasi dan lokalisasi pelacuran yang kasat mata dikesankan Kota Surabaya bersih dari pelacuran, tapi di pasal 22 justru membuktikan di Kota Surabaya tetap ada (praktek) pelacuran, yaitu: ”Setiap pengelola dan/atau pemilik tempat hiburan wajib melaporkan data karyawan pada instansi berwenang dalam rangka perencanaan kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS oleh Pemerintah Daerah.”

Kalau di tempat hiburan tidak terjadi transaksi seks untuk apa Pemkot Surabaya merencanakan kegitan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat hiburan?

Stigma dan Diskriminasi

(Praktek) pelacuran di tempat hiburan di Kota Surabaya kian nyata jika dibaca pasal 23 ini: ” Setiap pengelola tempat hiburan dan/atau pemilik tempat hiburan wajib melaksanakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tempat usahanya.”

Kalau di tempat hiburan tidak ada transaksi seks, tentulah tidak akan pernah ada risiko penularan HIV di sana sehingga tidak perlu ada upaya penanggulangan HIV/AIDS.

Keberadaan transaksi seks di tempat hiburan di Kota Surabaya dipertegas lagi di pasal 24: ” Setiap perusahaan wajib melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja.”

Kalau di tempat kerja tsb., dalam hal ini tempat hiburan, tidak ada transaksi seks tentulah tidak perlu ada pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Terkait dengan peran serta masyarakat dalam hal penanggulangan HIV/AIDS di pasal 31 disebutkan: (1) Masyarakat berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIVdan AIDS dengan cara: a. berperilaku hidup bersih dan sehat; b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS.

Tidak ada kaitan langsung antara ’perilaku hidup bersih dan sehat’ dan penularan HIV/AIDS. Bahkan, orang yang tidak bersih dan sehat justru tidak bisa melakukan hubungan seksual (berisiko). Lagi pula pernyataan itu mendorong masyarakat melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena dikesankan mereka tertular HIV/AIDS karena perilaku hidunya tidak bersih dan tidak sehat.

Begitu pula dengan ’ketahanan keluarga’ sama sekali tidak ada kaitannya dengan penularan HIV. Lagi-lagi pernyataan itu mendorong masyarakat melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha karena dikesankan mereka tertular HIV/AIDS karena tidak mempunyai ketahanan keluarga.

Maka, Raperda AIDS Kota Surbaya ini hanya berisi pasal-pasal copy-paste dari perda lain dan sama sekali tidak memberikan langkah yang konkret untuk mencegah dan menanggulangi penularan HIV/AIDS di Kota Surabaya. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***