12 Januari 2013

HIV/AIDS di Kab Pandeglang, Banten, Didominasi Laki-laki


Tanggapan Berita (13/1-2013) – “Sebagian Besar Penderita HIV/AIDS di Pandeglang Laki-Laki” Ini judul berita di www.ciputranews.com (10/1-2013) yang merupakan pernyataan dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang, Prov Banten, Iskandar.

Kalau judul ini dibawa wartawan yang menulis berita ini ke ranah sosial terkait dengan epidemi HIV/AIDS, maka ada persoalan besar di balik data itu.

Kalau laki-laki yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu mempunyai istri, maka ada risiko penularan HIV kepada istri atau pasangan seks mereka.

Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan apakah kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada perempuan ada kaitannya dengan laki-laki yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Pandeglang dari tahun 2004 sampai 2012 tercatat 69 dengan rintian 80 persen laki-laku dan 20 persen perempuan.

Menurut Iskandar, sebagian besar orang dengan HIV/AIDS (Odha) di Pandeglang merupakan pencandu narkoba menggunakan jarum suntik serta kalangan heteroseksual.

Disebutkan oleh Iskandar: "Sebagian besar Odha tinggal di Kecamatan Pandeglang, dan kebanyakan mereka tertular di luar wilayah Pandeglang ketimbang di dalam wilayah Pandeglang."

Yang menjadi persoalan bukan tertular di mana, tapi mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di wilayah Kab Pandeglang.

Disebutkan untuk mendeteksi penyebaran/penularan HIV di wilayah Pandeglang, KPA secara intensif terus melakukan sero survei pada daerah/wilayah kelompok masyarakat yang berisiko terjadi penularan HIV seperti lembaga pemasyarakat, tempat-tempat kerja, tempat PSK, kelompok waria termasuk pada lokasi salon.

Yang perlu dilakukan bukan survalans tes  HIV, tapi mencari tahu apakah di wilayah Kab Pandeglang ada praktek pelacuran.

Kalau tidak ada, maka tidak ada persoalan.

Lalu, apakah ada jaminan tidak ada laki-laki penduduk Kab Pandeglang yang melacur tanpa kondom di luar wilayah Kab Pandeglang?

Kalau ada jaminan, lagi-lagi tidak ada persoalan penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual.

Karena disebutkan bahwa mayoritas penularan HIV pada Odha di Kab Pandeglang adalah jarum suntik pada penyalahguna narkoba, maka yang perlu dilakukan adalah program rumatan metadon yaitu memberikan narkoba jenis oral agar mereka tidak lagi memakai jarum suntik.

Pertanyaan untuk Iskandar: Apakah di Kab Pandeglang sudah ada fasilitas tes HIV, seperti klinik VCT (tempat tes HIV sukarela gratis dengan konseling dan kerahasiaan)?

Kalau tidak ada, maka ada kemungkinan penduduk Pandeglang menjalani tes HIV di luar Pandeglang, seperti di Serang atau Tangerang.

Jika Pemkab Pandeglang terpaku pada kasus yang ada yaitu yang terdeteksi dengan faktor risiko jarum suntik narkoba, maka penyebaran HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual akan terabaikan dan ini bisa menjadi bumerang yang mendorong ’ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Penyebaran HIV/AIDS di Kab Tasikmalaya Didominasi Jarum Suntik Narkoba?

Tanggapan Berita (13/1-2013) – “ …. pola penularan HIV/AIDS di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, umumnya akibat penggunaan jarum suntik. Akibat aktivitas seksual tercatat hanya dua orang.” Ini disampaikan oleh Kabid Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit (P2P) di Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya, Deden Hamdani (Meningkat, Kasus HIV/AIDS di Tasikmalaya, www.tubasmedia.com, 11/1-2013).

Disebutkan bahwa kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Tasikmalaya sejak tahun 2006 sebanyak 76 dengan 17 kematian.

Tentu saja mencengangkan kalau di daerah seperti Kab Tasikmalaya ternyata penyebaran HIV/AIDS terjadi melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya).

Tapi, sayangnya wartawan tidak mengembangkan pernyataan Deden, yaitu:

Pertama, bagaimana kasus HIV/AIDS terdeteksi pada penyalahguna narkoba?

Kedua, apakah ada program yang sistematis di Kab Tasikmalaya untuk mendeteksi HIV di masyarakat?

Ketiga, apakah ada program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil?

Lagi-lagi wartawan yang menulis berita ini tidak memahami fenomena HIV/AIDS di masyarakat. Ada kemungkinan kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada penyalahguna narkoba dengan jarum suntik karena mereka dipaksa menjalani tes ketika hendak mengikuti program rehabilitasi.

Sebaliknya, orang-orang yang tertular melalui hubungan seksual tidak terdeteksi karena tidak ada sistem yang bisa mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat.

Pada gilirannya kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS karena pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Disebutkan bahwa ada enam kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada balita. Wartawan pun tidak mengembangkan data ini, yaitu: (a) apa faktor risiko penularan HIV kepada ibu enam balita tsb.?, dan (b) apakah suami enam ibu yang melahirkan bayi itu sudah menjalani tes HIV?

Soalnya, kalau enam itu itu tertular dari suaminya, maka jika istri atau pasangan suami itu lebih dari satu maka kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV.

Disebutkan di Kab Tasikmalaya ada tiga klinik VCT (tempat tes HIV sukarela gratis dengan konseling dan kerahasiaan), yaitu di puskesmas Manonjaya, Singaparna, Tenawati dan Ciawi.

Ini pernyataan Deden: “Masyarakat dapat melakukan konsuktasi dan mengecek kesehatan secara gratis dan kerahasiaan dijamin.”

Pernyataan Deden ini tidak akurat karena tidak semua orang harus tes HIV. Yang harus menjalani tes HIV, al.  adalah:

(1) Laki-laki dan perempuan dewasa penduduk Kab Tasikmalaya yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti.

(2) Laki-laki dewasa penduduk Kab Tasikmalaya yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Pertanyaan untuk Deden: Apakah di wilayah Kab Tasikmalaya ada pelacuran?

Sudah bisa kita duga karena Deden akan berkata lantang: Tidak ada!

Deden benar, tapi tunggu dulu karena yang dimaksud Deden adalah lokalisasi pelacuran yang ditangani pemerikan kabupaten, dalam hal ini dinas sosial.

Tapi, apakah Deden bisa menjamin di wilayah Kab Tasikmalaya tidak ada praktek pelacuran?

Kalau Deden bisa menjamin, maka tidak ada penyebaran HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual.

Tapi, kalau Deden tidak bisa menjamin, maka ada persoalan besar yang dihadapi Pemkab Tasikmalaya yaitu penyebaran HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual.

Pemkab Tasikmalaya sudah menerbitkan Perda Penanggulangan AIDS, tapi karena perda itu hanya berpijak pada moral sehingga tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: Menguji Peran Perda AIDS Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya*-http://www.aidsindonesia.com/2012/10/menguji-peran-perda-aids-kabupaten.html).

Jika Pemkab Tasikmalaya tidak mempunyai program penanggulangan yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS akan bermuara pada ’ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

11 Januari 2013

Penyebaran HIV/AIDS di Kab Tangerang, Banten, Menyalahkan PSK


Tanggapan Berita (12/1-2013) – “Akibat menjamurnya PSK tersebut, laju penyebaran penyakit Human immunodeficiency virus infection/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS) tak terbendung.” Ini pernyataan dalam berita “PSK di Kabupaten Tangerang Menjamur, HIV/AIDS Meningkat” di www.kabar6.com ( 9/1- 2013).

Pernyataan itu terkait dengan tingkat pelacuran yang melibatkan pekerja seks komersial di wilayah Kab Tangerang, Banten. Dikabarkan jumlah PSK di sana setiap tahun bertambah antara 500-600.

Tapi, tunggu dulu. Biar pun pelacuran dikait-kaitkan dengan penyebaran HIV/AIDS, ada dua hal yang luput dari perhatian, yaitu:

Pertama, ada kemungkinan HIV/AIDS pada PSK ditularkan oleh laki-laki dewasa penduduk Kab Tangerang yang melacur tanpa kondom. Kalau ini yang terjadi, maka di masyarakat ada laki-laki dewasa yang mengidap HIV. Dalam hidupan sehari-hari laki-laki itu bisa sebagai seorang suami yang berisiko pula menularkan HIV kepada istrinya (horizontal). Jika istrinya tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Kedua, ada kemungkinan PSK yang mengidap HIV/AIDS tertular di luar Kab Tangerang. Kalau ini yang terjadi, maka ada laki-laki dewasa penduduk Kab Tangerang yang tertular HIV dari PSK karena melacur tanpa kondom. Dalam hidupan sehari-hari laki-laki itu bisa sebagai seorang suami yang berisiko pula menularkan HIV kepada istrinya (horizontal). Jika istrinya tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Menurut Pengelola Program Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kab Tangerang, Hady Irawan, kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Tangerang sampai awal 2012 mencapai 675 yang terdiri atas 461 HIV dan AIDS 214. Kasus terbanyak terdeteksi di Kecamatan Kosambi.

Ada atau tidak ada pelacuran di Kab Tangerang yang menjadi kunci persoalan adalah perilaku seksual sebagian laki-laki dewasa: Apakah ada di antara mereka melacur tanpa kondom di Kab Tangerang atau di luar Kab Tangerang?

Jika terjadi di Kab Tangerang, maka langkah yang perlu dilakukan adalah membuat program yang konkret berupa intervensi melalui regulasi untuk memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Tanpa langkah yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Kab Tangerang akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Penanggulangan HIV/AIDS di Kab Mimika, Papua: Menunggu Perubahan Perilaku Seksual Laki-laki

Tanggapan Berita (12/1-2013) – "Yang paling penting masyarakat mau mengubah perilaku yakni tidak melakukan aktivitas seks berisiko, penggunaan kondom dan lainnya." Ini pernyataan Menteri Kesehatan dr Nafsiah Mboi dalam berita ”Tekan HIV/AIDS Melalui Perubahan Perilaku” di  rri.co.id (7/1-2013) terkait dengan  angka penularan kasus HIV/AIDS di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, yang terus meningkat.

Data KPA Kabupaten Mimika menunjukka tahun 2012 terdeteksi 367 kasus baru HIV dan AIDS. Dengan tambahan ini maka jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS dari tahun 1996 sampai September 2012 sebanyak 3.190.

Itu memang cara yang arif, tapi bagaimana bisa memastikan semua laki-laki di Kab Mimika khususnya dan di Papua umumnya untuk tidak melacur tanpa kondom. Segencar apa pun penyuluhan, bahkan melalui corong pemuka agama sekali pun, perilaku sebagian laki-laki yang gemar melacur tidaklah berubah.

Maka, selain anjurkan untuk merubah perilaku diperlukan program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret yaitu intervensi terhadap laki-laki yang gemar melacur agar memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Disebutkan bahwa Nafsiah mengaku prihatin dengan terus meningkatnya angka penularan kasus HIV/AIDS di kalangan warga Mimika, terutama di Kota Timika dan penduduk yang bermukim di wilayah pedalaman. Jika tidak ada perubahan perilaku positif, maka Menkes Nafsiah Mboi meyakini angka penularan kasus HIV/AIDS di Mimika akan terun meningkat tajam.

Persoalannya adalah ada wacana penggiringan opini publik untuk menyalahkan PSK, terutama asal Pulau Jawa, sebagai pihak yang bersalah. Disebutkan pelacuran di Mimika, khususnya di kota Timika, terjadi karena mobilitas PSK yang tinggi dari luar kota.

Celakanya, Pemkab Timika dan Pemprov Papua mengabaikan kehadiran lokasi pelacuran sehingga tidak menjadi sasaran program yang konkret. Di Perda AIDS Prov Papua, misalnya, lokasi pelacuran disebut sebagai ’tempat berisiko terjadi penularan HIV’. Ini merupakan kemunafikan dan pola pikir yang naik yang justru merupakan penyangkalan sehingga menjadi sumber penyebaran HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Prov Papua: Tidak Ada Lokalisasi Pelacuran (di Papua) - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/dalam-perda-aids-prov-papua-tidak-ada.html).  

Hal yang sama juga terjadi pada Perda AIDS Kab Mimika. Sama sekali tidak memberikan langkah-langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Kab Mimika - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kab-mimika-papua.html).

Sedangkan di Agats, Kabupaten Asmat, dilaporkan dari 16 temuan kasus HIV baru dalam setahun, enam di antaranya merupakan ibu hamil.

Kemungkinan besar ibu-ibu itu tertular HIV dari suaminya. Ini menunjukkan suami mereka tertular HIV, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.

Kurun waktu perubahan dari perilaku berisiko sampai perilaku tidak berisiko tentulah tidak bisa dipastikan. Pada masa itu sudah terjadi perilaku berisiko. Maka, tanpa langkah yang konkret penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kab Mimika khususnya dan di Prov Papua umumnya. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Risiko Tertular HIV pada Hubungan Seksual dengan PSK

Tanya-Jawab AIDS No 2 /Januari 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: (1) Apakah risiko orang pertama kali hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) kecil? (2) Risiko 1:100 kecil atau tidak?

Tn ‘Ax’ (via SMS, 12/1-2013)

Jawab: (1) dan (2) Secara teoritis risiko tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan yang mengidah HIV/AIDS adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual yang tidak aman maka ada kemungkan terjadi 1 kali penularan.

Persoalannya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual ke berapa akan terjadi penularan HIV. Bisa saja pada hubungan seksual yang pertama, kedua, kelima, kesepuluh, kelima puluh, dst. Bukan berarti kalau hubungan seksual yang dilakukan hanya 99 kali tidak akan pernah tertular karena setiap hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah yang mengidap HIV/AIDS selalu ada risiko penularan.

Sedangkan hubungan seksual dengan PSK tidak bisa dipastikan status HIV seorang PSK karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik PSK yang mengidap HIV/AIDS. PSK adalah orang yang berisiko tinggi tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti. Ada kemungkinan laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan mereka tanpa kondom mengidap HIV/AIDS sehingga PSK berisiko pula tertular HIV. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***