Catatan Kecil
dari Workshop PMP AIDS (Bagian VII)
Oleh Syaiful W. Harahap
Sikap wartawan
yang datang ke workshop yang selalu mengharapkan kehadiran ulama sebagai
pembicara menunjukkan masalah HIV/AIDS seakan-akan hanya menjadi persoalan bagi
Islam. Bahkan, ada saja peserta yang
selalu mengutip Alquran dalam pembahasan tentang HIV/AIDS.
Agaknya, hal ini terjadi karena selama ini
berkembang mitos yang mengaitkan penularan HIV dengan gay, homoseks, pelacuran,
zina dan lain-lain yang semuanya dilarang dalam Islam. Celakanya, lagi
seolah-olah hanya Islam pula yang melarang homoseks, zina dan lain-lain. Ini
terjadi, lagi-lagi karena mitos.
Kita sering menuding Barat sebagai masyarakat yang
"menghalalkan" zina melalui pandangan yang sangat sempit dengan
melihat gejala free love (di Indonesia disebut seks bebas, istilah ini
sendiri tidak dikenal di Barat, sebagai gambaran hal ini sudah dibahas pada
tulisan Menyoal Seks Bebas Remaja, HindarAIDS No. 53). Padahal, free love
hanyalah merupakan perilaku orang per orang pada suatu komunitas bukan perilaku
masyarakat (Barat). Di sebagian masyarakat kita dikenal kumpul kebo. Bahkan,
pada acara nikah massal ada yang sudah beranak cucu. Ini menunjukkan selama ini
mereka belum terikat dalam pernikahan yang sah. Jadi, seks bebas itu bukan
(hanya) milik Barat.
Agaknya, banyak di antara kita yang terpengaruh
kepada film-film Hollywood. Padahal, film itu dibuat untuk hiburan. Maka,
seorang teman saya yang bertugas ke AS, misalnya, gigit jari karena selama di
sana dia tidak bisa menggaet cewek seperti yang dilihatnya di film: masuk bar,
ketemu cewek langsung ajak ke tempat tidur. Bahkan, ada tiga pegawai kejaksaan
yang tugas belajar ke AS digugat oleh seorang wanita karena melakukan pelecehan
yang di Indonesia hal itu amat lumrah.
Jadi, jika wartawan tetap mengait-ngaitkan seks
bebas dengan epidemi HIV upaya-upaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat
agar melindungi dirinya sendiri secara aktif agar tidak tertular dan menularkan
HIV akan sia-sia. Penularan terjadi bukan karena sifat hubungan seks (di dalam
atau di luar nikah), tetapi kondisi hubungan seks (salah satu HIV-positif dan
tidak menerapkan seks aman).
Pengalaman Baby Jim Aditya, pemerhati masalah
HIV/AIDS di Jakarta, ketika ceramah di Depok, akhir September lalu, juga
menunjukkan masih saja ada cara berpikir yang rancu. Seorang peserta mengatakan
di negara-negara Islam, termasuk Indonesia, angka HIV/AIDS lebih kecil jika
dibandingkan dengan negara-negara nonmuslim. Artinya, peserta tadi melihat
HIV/AIDS membedakan agama. Ini jelas tidak objektif karena angka HIV/AIDS di
beberapa negara Afrika Islam jauh lebih tinggi daripada di negara nonmuslim di
Barat.
Lagi pula, sistem surveilans di negara-negara maju nonmuslim berjalan
rutin dan penduduknya pun sangat peduli terhadap kesehatan. Jika penyebab sakit
tidak diketahui secara pasti mereka menerima konseling dan dianjurkan untuk tes
HIV kalau mereka berperilaku yang bersiko tinggi terinfeksi HIV. Sedangkan di
Indonesia tidak ada sistem surveilans yang konsisten.
Lagi pula dalam masalah HIV/AIDS, seperti
dikemukakan oleh Bang Hadi (Direktur LP3Y), fakta medis HIV/AIDS dibawa
ke social settings (realitas sosial) bukan untuk dipersoalkan dari aspek
agama. Kalau wartawan kemudian mengharapkan ulama, ini pun jelas tidak tepat
karena pemuka agama lain pun perlu berbicara. HIV/AIDS jelas sebagai fakta
medis yang diperoleh dari diagnosis yang dapat dibuktikan secara ilmiah.
Namun, karena wartawan sudah membalut diri dengan
moral dan sudah pula dirasuki mitos mereka pun mengharapkan fatwa dari ulama
tentang Odha. Ini jelas tidak mempunyai penalaran karena seseorang yang
tertular HIV tidak selamanya terkait dengan urusan agama (Islam). Buktinya,
seseorang yang tertular dari transfusi darah: Apa kaitannya dengan agama?
Begitu pula dengan seorang istri yang tertular dari suaminya melalui hubungan
seks yang halal karena dalam ikatan nikah yang sah: Apa hubungannya dengan
fatwa ulama?
Kalau HIV sebagai virus dianggap sebagai najis,
seperti yang pernah dikemukakan oleh seorang wartawan peserta workshop angkatan
XII/Mei 2000, tentu semua kita membawa-bawa najis karena vaksin yang
disuntikkan atau dimasukkan lewat mulut juga virus.
Dalam kaitan infeksi HIV tentulah dokter yang
paling berperan karena berkaitan dengan pengobatan. Tentu tidak mungkin ulama
bisa menurunkan risiko penularan HIV dari seorang ibu-ke-bayi yang
dikandungnya. Ini jelas pekerjaan dokter. Kalau berbicara soal upaya-upaya
lain, ini pun tidak harus ulama karena siapa pun bisa menghibur seseorang yang
terinfeksi HIV agar tetap percaya diri dan menjaga kondisi agar bisa
memperlambat pencapaian masa AIDS.
* Dimuat di Newsletter ”HindarAIDS” No. 55, 16
Oktober 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.