Itulah
yang diucapkan Satpam di pintu masuk bar, club dan tempat-tempat hiburan malam
di Manila, Filipina (1997), sambil menggeledah tamu untuk mencari alat perekam
dan kamera. Soalnya, tempat itu menyajikan tari telanjang.
Bagi
orang yang, maaf, ’piktor’ (pikiran kotor), maka di benaknya tentulah muncul
tanggapan negatif: ”Gila, AIDS sudah merajalela di Manila.”
Tapi,
bagi yang berpikiran positif, peringatan Satpam itu berarti: “Jangan bawa AIDS
ke Manila” atau “Hati-hati tertular AIDS”.
Padahal,
Filipina ‘dikuasai’ Katolik yang tidak menerima campur tangan manusia terkait
dengan reproduksi. Artinya,
pastor di Filipina tidak menerima pamakaian alat-alat kontrasepsi, seperti
kondom, untuk mengatur kehamilan.
Celakanya,
kondom merupakan alat yang sangat efektif untuk mencegah penularan HIV/AIDS
melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Tentu
saja banyak kalangan yang kalang-kabut di Filipina menghadapi situasi yang
bertolak-belakang itu.
Di satu
sisi kondom menjadi andalan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS melalui
hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, di sisi lain kondom dilarang oleh
gereja.
Kalangan
aktivis pun bingun tujuh keliling karena tidak boleh ada brosur, poster, iklan,
dll. yang menawarkan kondom (gratis).
Tapi,
sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Manila punya kiat yang cespleng. Di kantor mereka sama sekali
tidak ada poster tentang kondom.
Kondisi
itu bertolak belakang dengan di Indonesia. Brosur, poster, dll. terpampang di
sembarang tempat. Bahkan, puluhan peraturan daerah (Perda) tentang
penanggulangan AIDS menyebutkan kondom sebagai alat untuk mencegah penularan
HIV.
Tapi,
fakta menunjukkan pemakaian kondom pada hubungan seksual berisiko di Indonesia
sangat rendah. Sedangkan di Filipina tidak ada promosi kondom secara terbuka,
tapi pemakaian kondom jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.
Koq
bisa?
Ya,
bisalah. Karena sosialisasi yang dilakukan beberapa LSM di Manila, al. ReachOut Foundation International, sangat efektif tanpa gembar-gembor dan pembagian kondom
gratis seperti di Indonesia.
”Ya, kondom kita letakkan di
laci meja,” kata salah satu aktivis di ReachOut (2000) di kantor mereka
di pusat Kota Manila.
Ketika ada yang bertanya atau
konsultasi tentang pencegahan kehamilan dan HIV/AIDS, staf di ReachOut
membuka laci yang berisiko kondom. Orang-orang yang datang ke kantor LSM itu
mengambil kondom dari laci.
Secara hukum mereka tidak
melawan aturan gereja yang melarang promosi kondom karena mereka hanya
menawarkan alat untuk mengatur kehamilan dan mencegah HIV/AIDS secara tertutup.
Sebaliknya, di Indonesia
promosi dan sosialisasi kondom yang gencar, bahkan ada ”Pekan Kondom Nasional”,
justru ditolak oleh berbagai kalangan.
Akibatnya, yang terjadi adalah
kontra produktif terhadap penanggulangan HIV/AIDS dengan kondom pada hubungan
seksual berisiko.
Kemunafikan pun terus berlanjut
karena di sebagian besar Perda AIDS tidak menyebut kondom secara eksplisit atau
tersurat. Kondom disebut al. sarung karet, alat pengaman, dll.
Penolakan terhadap kondom tidak
bisa ’dilawan’ oleh pemerintah dan aktivis AIDS karena perdebatan tidak pada
ranah realitas sosial. Yang terjadi adalah debat di ranah opini sehingga debat
kondom pun hanya sebatas ’debat kusir’.
Sepanjang perdebatan, bahkan
dilakukan di hotel, sudah puluhan bahkan ratusan laki-laki yang melakukan
perilaku berisiko tertular HIV/AIDS yaitu tidak memakai kondom ketika sanggama
dengan cewek panggilan atau pekerja seks, al. di hotel tempat debat.
Yang
tidak masuk akal (sehat) di Indonesia adalah pembagian kondom gratis di jalan
raya, di tempat-tempat hiburan yang menyediakan transaksi seks, dll., tapi
tidak ada regulasi yang bisa memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan
hubungan seksual berisiko terular HIV.
Di
beberapa lokasi pelacuran cara memantau pemakaian kondom adalah dengan
menghitung kondom yang dibuang di kaleng roti yang disediakan.
Ini
’kan naif. Bisa saja kondom itu tidak dipakai tapi hanya digesek-gesekkan ke
penis dan vagina. Di daerah lain dipantai dengan memeriksa vagina pekerja seks
setelah tempat hiburan dan pelacuran tutup. Kalau ada air mani itu tandanya
pekerja seks meladeni laki-laki tanpa kondom.
Langkah
itu benar-benar tidak manusiawi dan merupakan perbuatan yang melawan hukum dan
pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Celakanya lagi ini
dilakukan di daerah yang salama ini berteriak-teriak sebagai korban HAM, tapi
di sisi lain mereka justru orang-orang yang melakukan pelanggaran HAM.
Agar
tidak terjadi lagi penolakan (besar-besaran) terhadap kondom, maka belajarlah
ke Filipina.***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful
W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.