01 Desember 2013

Sosialisasi Kondom, Belajarlah ke Manila, Filipina


“Tuan, jangan lupa kondom.”

Itulah yang diucapkan Satpam di pintu masuk bar, club dan tempat-tempat hiburan malam di Manila, Filipina (1997), sambil menggeledah tamu untuk mencari alat perekam dan kamera. Soalnya, tempat itu menyajikan tari telanjang.

Bagi orang yang, maaf, ’piktor’ (pikiran kotor), maka di benaknya tentulah muncul tanggapan negatif: ”Gila, AIDS sudah merajalela di Manila.”

Tapi, bagi yang berpikiran positif, peringatan Satpam itu berarti: “Jangan bawa AIDS ke Manila” atau “Hati-hati tertular AIDS”.

Padahal, Filipina ‘dikuasai’ Katolik yang tidak menerima campur tangan manusia terkait dengan reproduksi. Artinya, pastor di Filipina tidak menerima pamakaian alat-alat kontrasepsi, seperti kondom, untuk mengatur kehamilan.

Celakanya, kondom merupakan alat yang sangat efektif untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Tentu saja banyak kalangan yang kalang-kabut di Filipina menghadapi situasi yang bertolak-belakang itu.

Di satu sisi kondom menjadi andalan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, di sisi lain kondom dilarang oleh gereja.

Kalangan aktivis pun bingun tujuh keliling karena tidak boleh ada brosur, poster, iklan, dll. yang menawarkan kondom (gratis).

Tapi, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Manila punya kiat yang cespleng. Di kantor mereka sama sekali tidak ada poster tentang kondom.

Kondisi itu bertolak belakang dengan di Indonesia. Brosur, poster, dll. terpampang di sembarang tempat. Bahkan, puluhan peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan AIDS menyebutkan kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV.

Tapi, fakta menunjukkan pemakaian kondom pada hubungan seksual berisiko di Indonesia sangat rendah. Sedangkan di Filipina tidak ada promosi kondom secara terbuka, tapi pemakaian kondom jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.

Koq bisa?

Ya, bisalah. Karena sosialisasi yang dilakukan beberapa LSM di Manila, al. ReachOut Foundation International, sangat efektif tanpa gembar-gembor dan pembagian kondom gratis seperti di Indonesia.

”Ya, kondom kita letakkan di laci meja,” kata salah satu aktivis di ReachOut (2000) di kantor mereka di pusat Kota Manila.

Ketika ada yang bertanya atau konsultasi tentang pencegahan kehamilan dan HIV/AIDS, staf di ReachOut membuka laci yang berisiko kondom. Orang-orang yang datang ke kantor LSM itu mengambil kondom dari laci.

Secara hukum mereka tidak melawan aturan gereja yang melarang promosi kondom karena mereka hanya menawarkan alat untuk mengatur kehamilan dan mencegah HIV/AIDS secara tertutup.

Sebaliknya, di Indonesia promosi dan sosialisasi kondom yang gencar, bahkan ada ”Pekan Kondom Nasional”, justru ditolak oleh berbagai kalangan.

Akibatnya, yang terjadi adalah kontra produktif terhadap penanggulangan HIV/AIDS dengan kondom pada hubungan seksual berisiko.

Kemunafikan pun terus berlanjut karena di sebagian besar Perda AIDS tidak menyebut kondom secara eksplisit atau tersurat. Kondom disebut al. sarung karet, alat pengaman, dll.

Penolakan terhadap kondom tidak bisa ’dilawan’ oleh pemerintah dan aktivis AIDS karena perdebatan tidak pada ranah realitas sosial. Yang terjadi adalah debat di ranah opini sehingga debat kondom pun hanya sebatas ’debat kusir’.

Sepanjang perdebatan, bahkan dilakukan di hotel, sudah puluhan bahkan ratusan laki-laki yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS yaitu tidak memakai kondom ketika sanggama dengan cewek panggilan atau pekerja seks, al. di hotel tempat debat.

Yang tidak masuk akal (sehat) di Indonesia adalah pembagian kondom gratis di jalan raya, di tempat-tempat hiburan yang menyediakan transaksi seks, dll., tapi tidak ada regulasi yang bisa memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual berisiko terular HIV.

Di beberapa lokasi pelacuran cara memantau pemakaian kondom adalah dengan menghitung kondom yang dibuang di kaleng roti yang disediakan.

Ini ’kan naif. Bisa saja kondom itu tidak dipakai tapi hanya digesek-gesekkan ke penis dan vagina. Di daerah lain dipantai dengan memeriksa vagina pekerja seks setelah tempat hiburan dan pelacuran tutup. Kalau ada air mani itu tandanya pekerja seks meladeni laki-laki tanpa kondom.

Langkah itu benar-benar tidak manusiawi dan merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Celakanya lagi ini dilakukan di daerah yang salama ini berteriak-teriak sebagai korban HAM, tapi di sisi lain mereka justru orang-orang yang melakukan pelanggaran HAM.

Agar tidak terjadi lagi penolakan (besar-besaran) terhadap kondom, maka belajarlah ke Filipina.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.