01 Desember 2013

Menafsirkan Data*


Surat Terbuka untuk Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Depkes (Bagian II)

 

Oleh Syaiful W. Harahap

 

Biar pun masalah seputar HIV/AIDS merupakan fakta medis, tetapi tetap saja ada yang mengait-ngaitkannya dengan agama dan moral. Agaknya, ini terjadi karena kasus AIDS pertama yang diberitakan media massa terkait dengan lelaki gay. Padahal, para peneliti yang kemudian menelusuri kasus-kasus kematian yang ketika itu tidak diketahui secara pasti penyebabnya justru menemukan ada di antara kasus itu yang terindikasi sebagai AIDS. Ini menunjukkan kasus AIDS pertama yang dipublikasikan di AS (1981) yang akhirnya membawa peneliti menemukan HIV sebagai penyebab AIDS bukan kasus pertama yang terkait dengan AIDS.

Ada delapan kasus yang dicatat Sabatier (Blaming Others, Prejudice, Race and Worldwide AIDS, Renee Sabatier, Panos, London, 1988) yang terkait dengan AIDS di tiga benua. Bahkan, salah satu infeksi yang terkait dengan AIDS yaitu sarkoma sudah ditemukan Kaposi tahun 1872. Maka, pernyataan dalam buku Pedoman Penyuluhan AIDS Menurut Agama Islam yang diterbitkan Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan (Cetakan III 1996/1997) di halaman 29 yang menyebutkan: "Mula pertama penderita AIDS ditemukan pada tahun 1979 di New York, seorang laki-laki homoseks (liwath)" sangat tidak etis karena memenggal fakta dan bukti-bukti lain.

AIDS sendiri disepakati sebagai kondisi yang terjadi pada seseorang setelah tubuhnya terinfeksi HIV. Virus ini berhasil dikenali oleh beberapa pakar tahun 1983. Jadi, tentu saja pernyataan dalam buku itu tidak akurat karena AIDS dan HIV baru "dikenal" tahun 1983. Kalau penulis buku tersebut ingin merunut AIDS ke belakang, tentu harus objektif dengan menyebutkan semua kasus yang terkait dengan AIDS bukan hanya menyebutkan satu kasus yang dicari-cari agar terkait dengan homoseks saja sebagai pembenaran dari aspek moral. Cara yang dipakai tim penulis buku ini yang mengait-ngaitkan moral dengan HIV/AIDS sangat tidak etis karena HIV/AIDS merupakan fakta medis.

Setelah menonjolkan moral, tim penulis buku ini lagi-lagi mengedepankan agama sebagai faktor yang mempengaruhi epidemi HIV, "Tetapi, di negara-negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, menurut penelitian WHO, sedikit yang mengidap AIDS." (halaman 29). Ini jelas tidak akurat karena di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Islam di Afrika justru kasus HIV/AIDS melebihi negara-negara maju nonmuslim. Pada bagian lain disebutkan pula "Di 26 negara yang berbahasa Arab, menurut majalah South terbitan Juli 1991, ditemukan 927 kasus." (halaman 29). Ini pun sangat naif karena tidak ada kaitan langsung antara bahasa Arab dengan penularan HIV dan epidemi HIV.

Fakta itu pun kemudian disimpulkan "Ternyata, ajaran agama, peran ulama, lembaga perkawinan dan ikatan tradisi dapat menghambat lajunya perkembangan AIDS." Ini tentu bukan analisis data, tetapi penafsiran yang sangat subjektif. Ada fakta yang digelapkan dalam pernyataan itu yaitu tidak ada penjelasan tentang tes surveilans, diagnosis dan sistem pelaporan kasus HIV/AIDS di negara-negara tersebut.

Soalnya, di negara-negara maju sistem kesehatan mereka membuka peluang untuk mendiagnosis AIDS dan mendeteksi infeksi HIV secara merata, rutin dan terkontrol. Dalam kaitan ini penulis buku pun sudah membawa umat ke alam kesesatan karena menyimpulkan hanya negara Islam yang mempunyai pemuka agama dan mengajarkan agama, lembaga perkawinan dan tradisi. Ini jelas tidak akurat karena semua bangsa di muka bumi ini mempunyai Tuhan (paling tidak bagi penduduk di negara-negara yang dilarang beragama mengakui Tuhan dengan berbagai cara), memeluk agama dan hidup dalam ikatan tradisi.

Pernyataan yang menyebutkan AIDS ditemukan dan tersebar di negara-negara maju juga patut dipertanyakan karena pada saat epidemi dideteksi kasus HIV/AIDS terbesar juga ditemukan di benua Afrika yang juga banyak negaranya yang mayoritas berpenduduk muslim. Sebagai umat yang mengedepankan akal pikiran yang sehat tentulah kita sangat kecewa membaca pernyataan yang menyebutkan "Mereka (maksudnya orang-orang Barat-pen.) meninggalkan nilai-nilai ajaran agama dan mengubahnya dengan faham baru yang dinamakan new morality, suatu moralitas baru yang bersumber pada doctrine of permissiveness, yaitu ajaran yang memperbolehkan segala-galanya, yang kemudian melahirkan permissive society, masyarakat serba boleh, serba bebas." (halaman 30).

Apakah kesimpulan itu benar adanya? Coba simak berita Harian Suara Merdeka edisi 14 Agustus 2000 tentang nikah massal di Semarang ini: "Pasangan yang telah kumpul bersama selama 10 tahun itu mengikuti pernikahan massal ...." Ini justru fakta yang menujukkan ajaran agama diabaikan. Apakah tim penulis buku itu menutup mata terhadap fakta "kumpul-kebo" yang sudah menjadi kebiasaan hidup sebagian masyarakat? Berita Harian Kompas edisi 30 Juni 2000 juga menyebutkan tiga pasangan dari 23 pasangan yang mengikuti nikah massal di Bogor sudah mempunyai anak. Apakah mereka ini tidak dapat digolongkan sebagai orang-orang yang sudah meninggalkan ajaran agama? Fakta "kumpul-kebo", PIL (pria idaman lain) dan WIL (wanita idaman lain), perselingkuhan, pergundikan, selir dan lain-lain yang ada di pelupuk mata kita ternyata diabaikan penulis buku ini.

HIV/AIDS merupakan fakta medis, tetapi dalam buku ini masalah seputar HIV/AIDS dibalut dengan agama dan moral yang justru mengaburkan persoalan pokok yaitu penularan dan pencegahan HIV secara realistis.

*  Dimuat di Newsleter ”HindarAIDS” No. 57, 20 November 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.