Surat Terbuka untuk Pusat Penyuluhan Kesehatan
Masyarakat Depkes (Bagian II)
Oleh Syaiful W. Harahap
Biar pun masalah seputar HIV/AIDS merupakan fakta
medis, tetapi tetap saja ada yang mengait-ngaitkannya dengan agama dan moral.
Agaknya, ini terjadi karena kasus AIDS pertama yang diberitakan media massa
terkait dengan lelaki gay. Padahal, para peneliti yang kemudian menelusuri
kasus-kasus kematian yang ketika itu tidak diketahui secara pasti penyebabnya
justru menemukan ada di antara kasus itu yang terindikasi sebagai AIDS. Ini
menunjukkan kasus AIDS pertama yang dipublikasikan di AS (1981) yang akhirnya
membawa peneliti menemukan HIV sebagai penyebab AIDS bukan kasus pertama yang
terkait dengan AIDS.
Ada delapan kasus yang dicatat Sabatier (Blaming
Others, Prejudice, Race and Worldwide AIDS, Renee Sabatier, Panos, London,
1988) yang terkait dengan AIDS di tiga benua. Bahkan, salah satu infeksi yang
terkait dengan AIDS yaitu sarkoma sudah ditemukan Kaposi tahun 1872. Maka,
pernyataan dalam buku Pedoman Penyuluhan AIDS Menurut Agama Islam yang
diterbitkan Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan
(Cetakan III 1996/1997) di halaman 29 yang menyebutkan: "Mula pertama
penderita AIDS ditemukan pada tahun 1979 di New York, seorang laki-laki
homoseks (liwath)" sangat tidak etis karena memenggal fakta dan
bukti-bukti lain.
AIDS sendiri disepakati sebagai kondisi yang
terjadi pada seseorang setelah tubuhnya terinfeksi HIV. Virus ini berhasil
dikenali oleh beberapa pakar tahun 1983. Jadi, tentu saja pernyataan dalam buku
itu tidak akurat karena AIDS dan HIV baru "dikenal" tahun 1983. Kalau
penulis buku tersebut ingin merunut AIDS ke belakang, tentu harus objektif
dengan menyebutkan semua kasus yang terkait dengan AIDS bukan hanya menyebutkan
satu kasus yang dicari-cari agar terkait dengan homoseks saja sebagai
pembenaran dari aspek moral. Cara yang dipakai tim penulis buku ini yang
mengait-ngaitkan moral dengan HIV/AIDS sangat tidak etis karena HIV/AIDS
merupakan fakta medis.
Setelah menonjolkan moral, tim penulis buku ini
lagi-lagi mengedepankan agama sebagai faktor yang mempengaruhi epidemi HIV,
"Tetapi, di negara-negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam,
menurut penelitian WHO, sedikit yang mengidap AIDS." (halaman 29). Ini
jelas tidak akurat karena di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Islam
di Afrika justru kasus HIV/AIDS melebihi negara-negara maju nonmuslim. Pada
bagian lain disebutkan pula "Di 26 negara yang berbahasa Arab, menurut
majalah South terbitan Juli 1991, ditemukan 927 kasus." (halaman
29). Ini pun sangat naif karena tidak ada kaitan langsung antara bahasa Arab
dengan penularan HIV dan epidemi HIV.
Fakta itu pun kemudian disimpulkan "Ternyata,
ajaran agama, peran ulama, lembaga perkawinan dan ikatan tradisi dapat
menghambat lajunya perkembangan AIDS." Ini tentu bukan analisis data,
tetapi penafsiran yang sangat subjektif. Ada fakta yang digelapkan dalam
pernyataan itu yaitu tidak ada penjelasan tentang tes surveilans, diagnosis dan
sistem pelaporan kasus HIV/AIDS di negara-negara tersebut.
Soalnya, di negara-negara maju sistem kesehatan
mereka membuka peluang untuk mendiagnosis AIDS dan mendeteksi infeksi HIV
secara merata, rutin dan terkontrol. Dalam kaitan ini penulis buku pun sudah
membawa umat ke alam kesesatan karena menyimpulkan hanya negara Islam yang
mempunyai pemuka agama dan mengajarkan agama, lembaga perkawinan dan tradisi.
Ini jelas tidak akurat karena semua bangsa di muka bumi ini mempunyai Tuhan
(paling tidak bagi penduduk di negara-negara yang dilarang beragama mengakui
Tuhan dengan berbagai cara), memeluk agama dan hidup dalam ikatan tradisi.
Pernyataan yang menyebutkan AIDS ditemukan dan
tersebar di negara-negara maju juga patut dipertanyakan karena pada saat
epidemi dideteksi kasus HIV/AIDS terbesar juga ditemukan di benua Afrika yang
juga banyak negaranya yang mayoritas berpenduduk muslim. Sebagai umat yang
mengedepankan akal pikiran yang sehat tentulah kita sangat kecewa membaca
pernyataan yang menyebutkan "Mereka (maksudnya orang-orang Barat-pen.)
meninggalkan nilai-nilai ajaran agama dan mengubahnya dengan faham baru yang
dinamakan new morality, suatu moralitas baru yang bersumber pada doctrine
of permissiveness, yaitu ajaran yang memperbolehkan segala-galanya, yang
kemudian melahirkan permissive society, masyarakat serba boleh, serba
bebas." (halaman 30).
Apakah kesimpulan itu benar adanya? Coba simak
berita Harian Suara Merdeka edisi 14 Agustus 2000 tentang nikah massal
di Semarang ini: "Pasangan yang telah kumpul bersama selama 10 tahun itu
mengikuti pernikahan massal ...." Ini justru fakta yang menujukkan ajaran
agama diabaikan. Apakah tim penulis buku itu menutup mata terhadap fakta
"kumpul-kebo" yang sudah menjadi kebiasaan hidup sebagian masyarakat?
Berita Harian Kompas edisi 30 Juni 2000 juga menyebutkan tiga pasangan
dari 23 pasangan yang mengikuti nikah massal di Bogor sudah mempunyai anak.
Apakah mereka ini tidak dapat digolongkan sebagai orang-orang yang sudah
meninggalkan ajaran agama? Fakta "kumpul-kebo", PIL (pria idaman
lain) dan WIL (wanita idaman lain), perselingkuhan, pergundikan, selir dan
lain-lain yang ada di pelupuk mata kita ternyata diabaikan penulis buku ini.
HIV/AIDS merupakan fakta medis, tetapi dalam buku
ini masalah seputar HIV/AIDS dibalut dengan agama dan moral yang justru
mengaburkan persoalan pokok yaitu penularan dan pencegahan HIV secara
realistis.
* Dimuat
di Newsleter ”HindarAIDS” No. 57, 20 November 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.