“Wah,
mungkin jantung saya sudah copot kalau saya lemah jantung,” kata Am, 21 tahun,
seorang janda yang sudah dinyatakan positif mengidap HIV (human immunodeficiency virus) atau virus penyebab AIDS (Aqcuired Immuno Deficiency Syndrome atau penyakit
yang menurunkan kekebalan tubuh) di sebuah desa di Kab Karawang, Jabar.
Rupanya,
namanya termasuk sebagai salah satu dari tiga wanita penghibur asal Jabar yang
dipulangkan dari Kepulauan Riau, seperti dari Batam dan Tanjungpinang, ke
kampong asalnya, dalam berita-berita di media cetak dan siaran televisi swasta
nasional.
Begitu
ia sampai di kampong halamannya pada Oktober 1993 orang-orang pun
menghindarinya dan tidak sedikit pula yang mencibir dan melihatnya seperti
makhluk asing. Keadaannya kian menyedihkan karena petugas dari berbagai
instansi, mulai dari tingkat desa sampai provinsi pun mendatanginya silih
berganti.
Makanya,
ketika Mutiara bertandang ke rumahnya
pekan lalu, ia pun sedikit marah. “Saya mau tau siapa, sih, yang membikin ini,”
katanya seraya memperlihatkan berita yang dimuat sebuah harian terkemukan
Ibukota. Waktu pemberitaan sedang ramai-ramainya ia sendiri masih di
Tanjungpinang, ia kecewa terhadap berita-berita itu.
“Tahu
sendirilah apa yang saya kerjakan di sana,” katanya sambil mengedip-ngedipkan
mata. Memang, dalam berita itu disebutkan bahwa rumahnya di desa itu dibangun
berkat kiriman uangnya. Dan, sumber berita itu tidak lain adalah kakek dan
neneknya, karena menurut pengakuannya ketika itu dia belum pulang dari
Tanjungpinang. Di gang itu memang cuma rumahnya yang berlantai semen dan
memilik televisi hitam putih 14 inci dan sebuah radio serta satu compo yang
semuanya dihidupkan dengan aki.
Anak Meninggal
Kesedihannya
kian memuncak karena ketika sampai di kampungnya ia tidak lagi bisa berjumpa
dengan anaknya karena anaknya meninggal ketika ia masih di Tanjungpinang. Dan,
orang-orang sekampung pun memilih untuk tidak berdekatan dengannya. Tapi,
belakangan berkat penyuluhan yang dilakukan oleh aparat desa mereka telah dapat
menerima Am. Mereka tidak lagi takut-takut menonton televisi di rumahnya, atau
memakan dan meminum suguhannya.
Tetangganya
pun dengan ramah akan menunjukkan rumahnya kalau mereka ditanya. “Masuk aja,
Pak,” kata seorang ibu di depan rumahnya ketika Mutiara bertandang ke sana. Ketika itu Am tidak sedang di rumah,
lalu disusul oleh kakeknya.
“Oo,
mau ke rumah Am,” kata seorang lelaki yang sedang duduk berselonjor sambil
mendengarkan dongeng dari radio di depan rumahnya di mulut gang menuju rumah
Am.
“Dalam
berbagai kesempatan kami selalu menyelipkan masalah HIV,” kata Sukarsana,
sekretaris Desa Mekarpohaci, Kec Tempuran, Kab Karawang, kepada Mutiara. Berkat penyuluhan itu
masyarakat tahu betul seluk-beluk HIV/AIDS sehingga mereka tidak lagi memusuhi
Am. Inilah yang menghibur Am.
Saya
‘kan sehat-sehat saja,” ujarnya. Dalam hal ini ada perbedaan persepsi yang
serius. Bagi orang awam, sakit berarti jatuh sakit. (semacam demam) dan dirawat
di rumah sakit. Sedangkan orang yang tertular virus HIV atau mengisap AIDS
tidak harus tergeletak di tempat tidur atau diopname di rumah sakit.
Diawasi
Kabarnya,
berbagai pihak terus-menerus tindak-tanduk Am. “Ah, nggak ada, saya bebas ke
mana-mana,” kata wanita yang hanya sempat mengecap bangku kelas 2 SD ini.
Sekitar 5 km dari rumahnya memang ada lokalisasi pelacuran. Kalau memang
penyakit itu ada, ia mengatakan sudah nasib, dan ia berjanji akan menjaga diri
agar tidak tertular kepada orang lain. Kalau penduduk sudah mengetahui seluk-beluk
HIV/AIDS tentulah tidak perlu mengucilkan atau memusihi Am, karena semuanya
terpulang kepada orang lain.
Padahal,
salah satu alasan mengapa ia mau diajak oleh seorang wanita dari Cibodas,
Cikampung, Kab Karawang, ke Tanjungpinang adalah mencari uang untuk menghidupi
anaknya. Ketika itu suaminya meninggalkannya dan ia mengaku sangat bingung. Ia
tinggal bersama ibunya, juga seorang janda, kakek dan neneknya (neneknya buta).
Karena tawaran wanita itu menggiurkan, yang menyebutkan ia akan dipekerjakan di
restoran dengan upah Rp 400.000/bulan, ia pun mengaku sangat tertarik.
Am
pun berangkat bersama sembilan rekaannya, semuanya dari Kab Karawang ke
Tanjungpinang dengan KM Lawit dari Tanjung Priok.
“Malam
pertama menerima tamu saya nangis habis-habisan,” katanya sambil mengenang
pengalaman pertamanya. Rupanya, di sana mereka dijadikan pelacur, bukan bekerja
sebagai pelayan di restoran seperti yang dijanjikan wanita dari Cibodas itu.
Ia
tidak bisa menolak lelaki yang disodorkan kepada karena sebelum berangkat
wanita tadi, yang kemudian menjadi germonya di Tanjungpinang, memberikan uang
Rp 50.000 kepada ibunya sebagai biaya perawatan anaknya yang ketika itu berumur
18 bulan. Itu berupa pinjaman yang bunganya akan berbunga pula.
Mereka
ditempatkan di sebuah lokalisasi yang dihuni ratusan pelacur di Batu 16.
Beberapa bulan kemudia mereka dipindahkan ke Batu 24. Am ditempatkan di ruman
17 bersama 12 wanita lainnya.
“Kami
tidak bisa ke mana-mana, semuanya diawasi dan kompleks itu dijaga ketat,” ujar
Am menggambarkan kehidupannya di tanah rantau itu. Agaknya, di rumah itu ia
menjadi primadonanya. Setiap malam ia selalu dipesan dan dibawa ke hotel untuk
bermalam dengan si hidung belang, yang umumnya warga negara Singapura.
Masa Kelabu
Salah
seorang dari langganannya itu kemudian menaruh hati kepadanya. Pria Cina warga
negara Singpura itu pun memacarinya dan menebusnya dari germo dengan imbalan Rp
1 juta. Am kemudian diboyong lelaki lajang berumur 60 tahun itu ke rumah 14 di
Batu 16.
Di
sinilah berawal masa kelabu baginya pada bulan September 1993. Suatu hari
petugas kesehatan (mereka memanggilnya “Pak Dokter”) yang biasa bertugas di
lokalisasi itu mengumpulkan penghuni rumah 14. “Di rumah ini ada yang sakit,”
kata “Pak Dokter”, seperti ditirukan Am. Memang, beberapa minggu sebelumnya
darah mereka diambil untuk diperiksa.
Semuanya
diam dan saling berpandangan. Tiba-tiba beberapa orang buka suara dan menuding
Am yang sakit. “Dia, Pak, dia ‘kan yang sering ke hotel,” kata mereka.
Tampaknya, mereka sudah mengetahui sakit yang dimaksudkan petugas kesehatan
tadi karena berkaitan dengan pemeriksaan darah dan kaitannya tentu saja dengan
lekaki asing.
Memang,
rata-rata tamu Am berasal dari Singapura, dan pernah juga lelaki bule. Menurut
pengakuan Am ia selalu meminta teman kencannya memakai kondom, walaupun ada
juga yang menolak. Menghadapi hal ini Am tidak bisa berbuat banyak dan terpaksa
mengikuti selera teman kencannya. Vonis pun jatuh kepada Am dan ia kemudian
disekap di pos keamanan lokalisasi itu.
“Ah,
‘Pak Dokter’ itu dendam kepada saya,” kata Am. Rupanya, Am selalu menolak ajakan petugas kesehatan itu untuk bermalam
dengannya. Ia bukannya tidak mau duit, tapi menurut pengakuannya ia menghargai
jabatan “Pak Dokter” karena ia sendiri hanya seorang pelacur. Lagi pula, masih
menurut Am, petugas kesehatan itu sudah beristri dua.
Dipulangkan
Dua
minggu lamanya ia disekap di positu sebelum diantar ke kapal KM Lawit dengan
tujuan Tanjung Priok oleh seorang hansip yang biasa menjaga lokalisasi itu.
“Suami
saya, sih, tidak percaya,” kata Am tentang pemeriksaan di Tanjungpinang itu
yang menyebutkan bahwa ia sudah terinfeksi virus HIV. Suami yang dimaksudkan Am
adalah lelaki yang menebusnya itu yang katanya sudah menikahinya di rumahnya
Lebaran yang lalu. “Ah, cuma sebagai gendak saja,” kata seorang staf desa
tentang perkawinan yang disebut Am.
Ketika
dipulangkan Am menerima uang Rp 500.000 dari germonya dan Rp 300.000 dari
pacarnya. Uang yang dari germonya ini merupakan pinjaman yang harus
dikembalikannya jika ia kebali beroperasi di Tanjungpinang.
“Kalau
dihitung-hitung penghasilan saya sudah cukup besar,” katanya. Cuma, semua uang
dipegang oleh gerno dan setiap bulan mereka hanya ditunjukkan catatan tentang
pendapatan dan pengeluaran. Untuk makan mereka dikenakan biaya Rp 50.000 dan
kamar Rp 300.000 per bulan. Belum lagi potongan untuk pembelian baju dan
kosmetika. Tarif Am ketika itu sekitar Rp 120.000/malam.
“Saya
hanya percaya kalau darah saya diperiksa di Cipto (maksudnya RSCM
Jakarta-Red.),” katanya berulang-ulang kepada Mutiara. Darahnya sendiri diambil di Puskesmas Tempuran beberapa
hari setelah ia tiba di rumahnya Oktober 1993. Kabarnya, di puskesmas itu pun
ia menolak ketika hendak diambil darahnya karena ia hanya mau diperiksa di
Cipto.
Tapi,
karena petugas yang mengambil darahnya itu bahwa ia juga dari Cipto barulah Am
mau memberikan darahnya untuk diperiksa. Kalau saja petugas yang akan mengambil
darahnya itu sedikit lebih arif dan bijaksana tentulah keingingan Am dipenuhi
agar ia mau menerima hasilnya kelak.
Cuma,
sampai sekarang ia tidak menerima hasil pemeriksaan itu. Menurut staf desa
pemberitahuan tentang hasil pemeriksaan itu memang tida diberikan kepadanya,
tapi cukup ke kantor desa saja. Menurut
pengakuannya ia tidak pernah lagi diperiksa setelah darahnya diambil di
Puskesmas Tempuran. Selain itu ia sangat yakin bahwa ia sehat sehingga tidak
perlu berobat.
Kini,
Am tinggal bersama kakek dan neneknya. “Tiap bulan suami saya ngirim Rp
300.000,” kata Am tentang biaya hidupnya. Uang itu dikirimkan melalui bank dan
diambil di Karawang. Jika hubunganya putus dengan suaminya itu barulah ia
memulai hidup baru. “Ya, cari suami lagi,” katanya dengan nada yakin.
- M/Syaiful W. Harahap
*
Dimuat di Tabloid “Mutiara” Edisi No 709 Minggu IV Mei 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.