27 November 2013

Wartawan "Berburu" Odha*


Catatan Kecil dari Workshop PMP AIDS (Bagian VI)

Oleh Syaiful W. Harahap

Catatan: Pusat Media dan Pelatihan AIDS (PMP AIDS)-LP3Y Yogyakarta dan The Ford Foundation menyelenggarakan workshop penulisan jurnalisme empati masalah HIV/AIDS untuk wartawan media cetak 16 angkatan (dua kali di Denpasar, sekali di Bandung dan Makassar), radio (7, sekali di Cianjur, Jabar) dan televisi (2). Setiap angkatan diikuti 20 wartawan dari seluruh Indonesia (satu wartawan media cetak dari Kuala Lumpur, Malaysia). Tulisan ini berdasarkan pengalaman sebagai peserta, narasumber dan fasilitator workshop untuk wartawan media cetak. Bagian pertama tanggapan wartawan terhadap kondom. Redaksi.

Pada awal-awal workshop peserta dihadapkan dengan "Odha". Hal ini dilakukan karena banyak wartawan yang mengeluh belum pernah bertemu dengan Odha. Pada angkatan II/Juli 1995, misalnya, ada dua "Odha" yang siap diwawancarai.

Wartawan pun berebut mewawancarai "Odha", tetapi karena hanya ada dua maka yang bisa wawancara hanya dua kelompok (setiap kelompok terdiri atas lima wartawan). Wawancara dilakukan malam hari di kantor sebuah LSM di Yogyakarta. Sebelum berangkat wartawan diingatkan agar tidak memotret dan merekam pembicaraan. Selain itu hasil wawancara pun tidak boleh dijadikan sebagai bahan berita.

Esok harinya wartawan yang mewawancarai "Odha" mempresentasikan hasil wawancara mereka. Beberapa wartawan mengaku tidak bisa bertanya karena hanyut dalam kesedihan cerita "Odha" yang mereka wawancarai. "Bayangkan, dia tidak tahu apa yang terjadi kalau orang tuanya mengetahui dia tertular HIV," kata seorang wartawan dengan nada tersendat-sendat. Walhasil, wartawan yang ditugaskan mewawancarai "Odha" tadi praktis sebagai pendengar. Mereka mengaku tidak bisa berbuat banyak karena mereka sedih mendengar keluhan "Odha" yang mereka wawancarai.

Dua kelompok wartawan tadi pun merasa beruntung karena bisa mewawancarai "Odha". Pembicaraan pun terus-menerus seputar kepedihan "Odha" yang mereka wawancarai. Namun, kebanggaan mereka sirna ketika pada malam penutupan workshop disebutkan bahwa "Odha" yang mereka wawancarai hanyalah relawan yang tidak terinfeksi HIV dari sebuah LSM. Dua kelompok wartawan tadi pun menggerutu.

Sekretaris PMP AIDS tidak bisa menolak permintaan wartawan yang ingin mengirimkan faks ke kantornya. Padahal, saat itu kegiatan di kelas sedang berlangsung. Rupanya ada wartawan angkatan III/Desember 1995 yang mengirimkan hasil wawancaranya dengan "Odha". Padahal, sudah diingatkan wawancara itu tidak bisa dijadikan berita. Untuk mengatasi hal itu penanggung jawab workshop pun mengirimkan faks ke pemimpin redaksi wartawan yang mengirimkan berita tadi dengan menyebutkan bahwa yang mereka wawancarai bukan "Odha" tetapi hanya relawan.

Lagi-lagi wartawan yang mewawancarai "Odha" kecewa berat. Bahkan, mereka sudah sepakat untuk mengumpulkan sumbangan bagi "Odha" yang mereka wawancarai. Namun, belakangan PMP AIDS menghadirkan Odha. Mereka diikutkan di kelas dan diperkenalkan sebagai relawan di LSM.

Pada mulanya ada wartawan yang kaget melihat Odha yang diwawancarainya itu ternyata temannya ngobrol di kala istirahat atau pada saat rehat dan makan. Cuma, akhirnya hal itu bocor juga karena ada wartawan yang sudah dibisiki temannya yang sebelumnya sudah mengikuti workshop sehingga mereka sudah mengetahui kalau "relawan" yang ikut di kelas itu Odha.

Ada baiknya wartawan dihadapkan kepada Odha dan "Odha" agar mereka melihat kenyataan yang riil. Artinya, mereka tidak bisa membedakan Odha dengan "Odha" hanya dengan mata telanjang dan berdasarkan wawancara atau "pengakuan". Ini perlu untuk meningkatkan apresiasi wartawan terhadap realitas.***

* Dimuat di Newsleter ” HindarAIDS” No. 53, 18 September 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.