Catatan Kecil dari Workshop PMP
AIDS (Bagian VI)
Oleh Syaiful W. Harahap
Catatan: Pusat Media dan
Pelatihan AIDS (PMP AIDS)-LP3Y Yogyakarta dan The Ford Foundation
menyelenggarakan workshop penulisan jurnalisme empati masalah HIV/AIDS
untuk wartawan media cetak 16 angkatan (dua kali di Denpasar, sekali di Bandung
dan Makassar), radio (7, sekali di Cianjur, Jabar) dan televisi (2). Setiap
angkatan diikuti 20 wartawan dari seluruh Indonesia (satu wartawan media cetak
dari Kuala Lumpur, Malaysia). Tulisan ini berdasarkan pengalaman sebagai
peserta, narasumber dan fasilitator workshop untuk wartawan media cetak.
Bagian pertama tanggapan wartawan terhadap kondom. Redaksi.
Pada awal-awal workshop peserta
dihadapkan dengan "Odha". Hal ini dilakukan karena banyak wartawan
yang mengeluh belum pernah bertemu dengan Odha. Pada angkatan II/Juli 1995,
misalnya, ada dua "Odha" yang siap diwawancarai.
Wartawan pun berebut mewawancarai
"Odha", tetapi karena hanya ada dua maka yang bisa wawancara hanya
dua kelompok (setiap kelompok terdiri atas lima wartawan). Wawancara dilakukan malam hari di kantor sebuah
LSM di Yogyakarta. Sebelum berangkat wartawan diingatkan agar tidak memotret
dan merekam pembicaraan. Selain itu hasil wawancara pun tidak boleh dijadikan
sebagai bahan berita.
Esok harinya wartawan yang mewawancarai "Odha" mempresentasikan
hasil wawancara mereka. Beberapa wartawan mengaku tidak bisa bertanya karena
hanyut dalam kesedihan cerita "Odha" yang mereka wawancarai.
"Bayangkan, dia tidak tahu apa yang terjadi kalau orang tuanya mengetahui
dia tertular HIV," kata seorang wartawan dengan nada tersendat-sendat.
Walhasil, wartawan yang ditugaskan mewawancarai "Odha" tadi praktis
sebagai pendengar. Mereka mengaku tidak bisa berbuat banyak karena mereka sedih
mendengar keluhan "Odha" yang mereka wawancarai.
Dua kelompok wartawan tadi pun merasa beruntung karena bisa mewawancarai
"Odha". Pembicaraan pun terus-menerus seputar kepedihan
"Odha" yang mereka wawancarai. Namun, kebanggaan mereka sirna ketika
pada malam penutupan workshop disebutkan bahwa "Odha" yang mereka
wawancarai hanyalah relawan yang tidak terinfeksi HIV dari sebuah LSM. Dua
kelompok wartawan tadi pun menggerutu.
Sekretaris PMP AIDS tidak bisa menolak permintaan wartawan yang ingin
mengirimkan faks ke kantornya. Padahal, saat itu kegiatan di kelas sedang
berlangsung. Rupanya ada wartawan angkatan III/Desember 1995 yang mengirimkan
hasil wawancaranya dengan "Odha". Padahal, sudah diingatkan wawancara
itu tidak bisa dijadikan berita. Untuk mengatasi hal itu penanggung jawab
workshop pun mengirimkan faks ke pemimpin redaksi wartawan yang mengirimkan
berita tadi dengan menyebutkan bahwa yang mereka wawancarai bukan
"Odha" tetapi hanya relawan.
Lagi-lagi wartawan yang mewawancarai "Odha" kecewa berat. Bahkan,
mereka sudah sepakat untuk mengumpulkan sumbangan bagi "Odha" yang
mereka wawancarai. Namun, belakangan PMP AIDS menghadirkan Odha. Mereka
diikutkan di kelas dan diperkenalkan sebagai relawan di LSM.
Pada mulanya ada wartawan yang kaget melihat Odha yang diwawancarainya itu
ternyata temannya ngobrol di kala istirahat atau pada saat rehat dan
makan. Cuma, akhirnya hal itu bocor juga karena ada wartawan yang sudah
dibisiki temannya yang sebelumnya sudah mengikuti workshop sehingga mereka
sudah mengetahui kalau "relawan" yang ikut di kelas itu Odha.
Ada baiknya wartawan dihadapkan kepada Odha dan "Odha" agar
mereka melihat kenyataan yang riil. Artinya, mereka tidak bisa membedakan Odha
dengan "Odha" hanya dengan mata telanjang dan berdasarkan wawancara
atau "pengakuan". Ini perlu untuk meningkatkan apresiasi wartawan
terhadap realitas.***
* Dimuat di Newsleter ”
HindarAIDS” No. 53, 18 September 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.