* Pemerintah tidak menjelakan program
penanggulangan HIV/AIDS yang konkret, sistematis dan terukur
Opini (13 November 2013) – Semua orang harus tes HIV. Tes HIV secara dini. Lakukan
tes HIV secara rutin. Tes HIV
menanggulangi AIDS. Dll.
Itulah al. judul-judul berita yang akhir-akhir ini menghiasi media massa,
terutama media cetak dan online, menjelang Hari AIDS Sedunia (HAS) 1
Desember 2013.
Satu hal yang luput dari perhatian adalah tes HIV itu merupakan langkah di
hilir. Artinya, ditunggu dulu ada orang yang tertular HIV baru dilakukan tes.
Ini saja seja dengan pembiaran dan penzaliman terhadap penduduk karena
membiarkan mereka celaka.
Insiden-insiden infeksi HIV baru terus terjadi karena pemerintah tidak
mempunyai program yang konkret, sistematis dan terukur untuk mencegah insiden
infeksi HIV baru.
Laporan Kemenkes RI dari 1 April 1987 sampai 31 Maret 2013 di Indonesia
sudah dilaporkan 152.267 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 108.600 HIV
dan 43.667 ADIS dengan 8.340 kematian.Tentu saja angka ini tidak menggambarkan
kasus yang sebenarnya di masyarakat karena banyak penduduk yang sudah mengidap
HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi.
Insiden infeksi HIV baru terutama terjadi pada laki-laki dewasa, yaitu:
Insiden infeksi HIV baru terutama terjadi pada laki-laki dewasa, yaitu:
(a) melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah,
dengan perempuan yang berganti-ganti,
(b) melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu
PSK yang ada di lokasi atau tempat pelacuran dan di jalanan, serta PSK tidak
langsung yaitu PSK yang ’menyamar’ sebagai cewek panggilan, cewek pemijat,
cewek disko, cewek kafe, cewek pub, ABG, mahasisw, pelajar, ibu-ibu, dll.
Pada tahap berikutnya laki-laki dewasa yang tertular HIV melalui perilaku
(a) dan (b) jika beristri akan menularkan HIV kepada istrinya melalui hubungan
seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah.
Di ujung penyebaran sebagai terminal terakhir ada risiko penularan dari
istri yang hamil ke bayi yang dikandungnya.
Dengan cara mengajak dan menganjurkan penduduk tes HIV itu sama saja dengan
membiarkan laki-laki dengan perilaku (a) dan (b) tertular HIV.
Pada gilirannya istri-istri dan bayi jadi korban akibat ulah lelaki-lelaki
’hidung belang’ yang melakukan perilaku (a) dan/atau
(b).Kalau negara, dalam hal ini pemerintah, memegang teguh memegang amanah untuk
melindungi segenap rakyat dari bencana, maka yang dilakukan pemerintah bukanlah
sekedar mengajak dan menganjurkan rakyat tes HIV, tapi menjalankan program yang
konkret melalui regulasi yang berkekuatan hukum di hulu.
Artinya, pemerintah menjalankan program yang terukur untuk menurunkan
insiden infeksi HIV baru. Yang bisa dilakukan dengan cara-cara yang realistis
adalah:
(1) Menjalankan program pencegahan penularan HIV pada perilaku (a) dengan
membuat regulasi yang mengharuskan setiap laki-laki memakai kondom jika
melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Program (1) hanya bisa dijalankan secara efektif jika kegiatan pelacuran
diregulasi yaitu melokalisir pelacuaran. Celakanya, semua daerah ramai-ramai
menutup tempat pelacuran yang pada akhirnya praktek pelacuran terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa dijangkau.
(2) Menjalankan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya
melalui regulasi yang juga mengharuskan suami ibu-ibu yang terdeteksi mengidap
HIV menjalani tes HIV.
Jika pemerintah tidak menjalankan langkah (1) dan (2) dengan cara-cara yang
legal, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak bermuara
pada ’ledakan AIDS’.***
-
AIDS Watch Indonesia/Syaiful W.
Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.