Catatan Kecil dari Workshop PMP
AIDS (Bagian IV)
Oleh Syaiful W. Harahap
Catatan: Pusat Media dan
Pelatihan AIDS (PMP AIDS)-LP3Y Yogyakarta dan The Ford Foundation
menyelenggarakan workshop penulisan jurnalisme empati masalah HIV/AIDS
untuk wartawan media cetak 16 angkatan (dua kali di Denpasar, sekali di Bandung
dan Makassar), radio (7, sekali di Cianjur, Jabar) dan televisi (2). Setiap
angkatan diikuti 20 wartawan dari seluruh Indonesia (satu wartawan media cetak
dari Kuala Lumpur, Malaysia). Tulisan ini berdasarkan pengalaman sebagai
peserta, narasumber dan fasilitator workshop untuk wartawan media cetak.
Bagian pertama tanggapan wartawan terhadap kondom. Redaksi.
"Saya tidak akan melakukan
seks yang tidak halal." Itulah cara mencegah penularan HIV menurut seorang
wartawan peserta workshop penulisan jurnalisme empati angkatan XII/Mei 2000.
Padahal, sejak HIV diidentifikasi
(1983) cara-cara penularannya sudah diketahui yaitu melalui hubungan seksual
tanpa kondom dengan yang sudah HIV-positif, menerima transfusi darah yang
tercemar HIV, memakai jarum suntik dan alat-alat medis yang sudah tercemar HIV,
serta dari ibu yang HIV-positif kepada anak yang dikandungnya atau yang
disusuinya. Kalau saja wartawan tadi lebih arif tentulah dia tidak akan membuat
pernyataan yang naif itu karena bisa saja dia terinfeksi dari transfusi darah,
cangkok organ tubuh, atau pemakaian jarum suntik dan alat-alat kesehatan di
rumah sakit atau praktek dokter.
Berbagai kasus infeksi HIV juga
terjadi melalui jalur di luar hubungan seks. Itulah sebabnya seorang gadis
perawan tulen di salah satu pusat rehabilitasi narkoba di kawasan Jabotabek
sangat menyesalkan berita-berita media massa yang selama ini hanya menyebutkan
HIV menular melalui hubungan seks di luar nikah, zina, atau jajan dengan
pelacur. Soalnya, dia terinfeksi melalui jarum suntik yang mereka pakai secara
bergiliran pada penggunaan narkoba suntikan, dikenal sebagai injecting drug
use/IDU. Dalam kaitan ini tentulah wartawan turut bertanggung jawab secara
moral dan etis karena berita yang ditulisnya sudah menjerumuskan orang lain
sehingga ditimpa malapetaka.
Persoalan seks halal ini pun
menjadi salah satu mitos dalam masalah HIV/AIDS. Ada anggapan keliru yang
berkembang melalui media massa yang mengesankan infeksi HIV terjadi karena
hubungan seks dilakukan di luar nikah, zina atau seks yang tidak halal.
Padahal, penularan HIV melalui
hubungan seks dapat terjadi bukan karena sifat hubungan seks tersebut, seperti
di dalam atau di luar nikah, tetapi karena kondisinya. Artinya, kalau salah
satu pasangan HIV-positif maka penularan akan bisa terjadi jika hubungan seks
dilakukan tanpa menerapkan seks aman. Biar pun hubungan seks dilakukan secara
halal di dalam ikatan nikah yang sah tetap saja ada kemungkinan infeksi HIV.
Sebaliknya, jika keduanya HIV-negatif apa pun sifat hubungan seksnya tidak akan
pernah terjadi penularan HIV.
Keterangan Menko Kesra dan Taskin
Prof. Dr. Basri Hasanuddin, seperti ditulis Media Indonesia
"27 Ibu Rumah Tangga 'Baik-baik' Terkena AIDS" (6/7-2000)
menjungkirbalikkan pernyataan wartawan tadi. Kalau berpatokan pada seks halal
tadi tentulah infeksi HIV itu tidak akan pernah terjadi karena hubungan seks
yang mereka lalukan halal karena di dalam ikatan nikah yang sah.
Pernyataan Pak Menko itu pun
kembali menyuburkan mitos karena kalau 'baik-baik' tidak layak terinfeksi HIV.
Padahal, infeksi HIV terjadi bukan karena baik atau tidak baik perilaku
seseorang, tetapi tergantung pada kondisi hubungan seks yang dilakukannya. Jika
pasangan itu HIV-negatif, maka apapun sifat dan bentuk hubungan seks yang
mereka lakukan tidak akan pernah terjadi penularan HIV.
Iklan layanan masyarakat yang
dipublikasikan Menko Kesra dan Taskin dengan dukungan AusAID yang berjudul
"Orang dengan AIDS Tak Beda dengan Kita" (dimuat di Kompas edisi 23
Juli 2000 dan 6 Agustus 2000), penularan HIV dapat dicegah dengan "setia
pada satu pasangan".
Tentu saja hal ini juga mitos
karena bisa saja terjadi sebuah pasangan suami istri yang hidup dalam ikatan
nikah yang sah, tetapi sebelum mereka menjadi pasangan masing-masing juga
pernah setia dengan pasangannya. Pasangan mereka itu pun bisa pula sudah pernah
setia dengan orang lain. Dalam kaitan ini tentu saja pasangan itu sudah masuk
kategori berisiko kalau mereka tidak menerapkan seks aman karena berganti-ganti
pasangan.***
* Dimuat di
Newsletter ”HindarAIDS” No. 51, 21 Agustus 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.