14 November 2013

Peran Gereja dalam Penanggulangan AIDS di Tanah Papua


Tanggapan Berita (14 November 2013) – ”Kita sudah lakukan tindakan pendampingan untuk mereka yang terivenksi HIV. Secara teknis medis persoalan HIV sudah selesai, sudah ada obat-obatan, tenaga-tenaga, pendeta, penatua, namun yang belum dilakukan adalah percakapan dalam hal investasi jangka penjang untuk selamatkan generasi Papua lima tahun ke depan.”

Kutipan di atas adalah pernyataan Direktur Eksekutif Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua, Drs. TG. Butarbutar, M.Kes, dalam berita ”Penanganan  HIV di Papua di Tengah Degradasi Iman” di tabloidjubi.com  (12/11-2013).

Yang disampaikan Butarbutar itu adalah penanganan di hilir. Artinya, ditunggu dulu ada penduduk Papua yang tertular HIV baru ditangani secara teknis medis.

Padahal, yang diperlukan adalah langkah yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi  HIV baru terutama pada laki-laki dewasa.

Dengan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yang mencapai .... tentulah diperlukan langkah-langkah konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS di Tanah Papua.

Insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa al. terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan:

(1) Perempuan, di dalam dan di luar nikah, yang berganti-ganti, dan

(2) Perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu PSK yang ada di lokasi pelacuran dan di jalanan, serta

(3) Perempuan sebagai PSK tidak langsung yaitu perempuan yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti al.  cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek pemijat, ABG, mahasiswi, ibu-ibu, cewek gratifikasi seks, dll.

Pada kejadian nomor 1 tidak ada yang bisa dilakukan karena tidak bisa mengawasi atau mengontrol perilaku semua laki-laki dewasa.

Begitu pula dengan nomor 3 juga tidak ada yang bisa dilakukan karena perilaku semua laki-laki dewasa tidak bisa diawasi.

Tapi, pada kejadian nomor 2 bisa dilakukan langkah-langkah yang konkret untuk mencegah penularan HIV/AIDS dari laki-laki dewasa ke PSK dan sebaliknya dari PSK ke laki-laki dewasa yaitu melalui program ‘wajib kondom 100 persen’.

Celakanya, dalam peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS yang sudah ada di bebeapa kabupaten dan kota di Papua sama sekali tidak ada langkah konkret untuk membuat regulasi pada kejadian nomor 1.

Bahkan, dalam perda-perda tsb. sama sekali ada lokasi pelacuran yang ada adalah ‘tempat-tempat berisiko tinggi’ terjadi penularan HIV. Ini jargon moral yang justru menjadi penghalang dalam penanggulangan HIV/AIDS, terutama pada kejadian nomor 1.

Dalam berita disebutkan bahwa sudah 20 tahun penanganan HIV di Tanah Papua, namun hal yang penting umtuk diperhatikan adalah terjadi degradasi iman di tengah-tengah jemat.

Jika sudah ada degradasi atau penurunan keimanan yang berujung pada perilaku yang bertentangan dengan norma dan moral, maka yang diperlukan adalah regulasi yang sistematis dalam penanggulangan HIV/AIDS.

Tapi, yang diharapkan justru peranan Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua untuk mengatasi masalah HIV/AIDS secara sistematis dan strategis di Tanah Papua.

Yang perlu diperhatikan adalah upaya gereja untuk ‘meluruskan’ perilaku ummatnya dari perilaku berisiko tertular HIV ke perilaku yang tidak berisiko tertular HIV membutuhkan waktu yang lama dan tidak ada jaminan hal itu akan tercapai.

Pada rentang waktu penyadaran ummat tentu ada di antara mereka yang tetap melakukan perilaku berisiko tertular HIV, al. melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK langsung.

Dalam kaitan itulah upaya moral yang dilakukan gereja didukung dengan program yang konkret yaitu regulasi agar laki-laki dewasa memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Ketua Sinode GKI Di Tanah Papua, Pdt. Alberth Yoku, S.Th, mengatakan semua agama tidak mau menerima apa yang haram, tapi prakteknya terdapat perdagangan perempuan oleh germo dengan menampung WTS di lokalisasi.

Kesalahan bukan pada WTS dan germo, tapi pada laki-laki dewasa, bahkan ada yang beristri, yang melangkah tanpa beban moral ke lokasi pelacuran.

Jika tetap menyalahkan WTS dan germo itu artinya penyangkalan terhadap perilaku sebagian laki-laki dewasa di Tanah Papua yang sering melacur dengan PSK atau WTS.

Sekretaris Departemen Diakonia Sinode GKI Di Tanah Papua, Pdt. Wospakrik, mengakui HIV sudah berada dalam kehidupan gereja dan anggota di jemaat-jemaat GKI.

Maka, yang perlu dilakukan adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan mencegah penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Hanya dua langkah itu yang bisa dilakukan untuk mendukung program gereja dalam mengajak ummat agar tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV.

Kalau hanya mengandalkan program moral insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.