Kutipan di atas adalah pernyataan Direktur Eksekutif Yayasan Pengembangan
Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua, Drs. TG. Butarbutar, M.Kes, dalam berita ”Penanganan HIV di Papua di Tengah Degradasi Iman” di
tabloidjubi.com (12/11-2013).
Yang disampaikan Butarbutar itu adalah penanganan di hilir. Artinya,
ditunggu dulu ada penduduk Papua yang tertular HIV baru ditangani secara teknis
medis.
Padahal, yang diperlukan adalah langkah yang konkret untuk menurunkan
insiden infeksi HIV baru terutama pada
laki-laki dewasa.
Dengan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yang mencapai .... tentulah
diperlukan langkah-langkah konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS di Tanah Papua.
Insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa al. terjadi melalui hubungan
seksual tanpa kondom dengan:
(1) Perempuan, di dalam dan di luar nikah, yang berganti-ganti, dan
(2) Perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks
komersial (PSK) langsung yaitu PSK yang ada di lokasi pelacuran dan di jalanan,
serta
(3) Perempuan sebagai PSK tidak langsung yaitu perempuan yang melakukan
hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti al. cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek
pemijat, ABG, mahasiswi, ibu-ibu, cewek gratifikasi seks, dll.
Pada kejadian nomor 1 tidak ada yang bisa dilakukan karena tidak bisa
mengawasi atau mengontrol perilaku semua laki-laki dewasa.
Begitu pula dengan nomor 3 juga tidak ada yang bisa dilakukan karena
perilaku semua laki-laki dewasa tidak bisa diawasi.
Tapi, pada kejadian nomor 2 bisa dilakukan langkah-langkah yang konkret
untuk mencegah penularan HIV/AIDS dari laki-laki dewasa ke PSK dan sebaliknya
dari PSK ke laki-laki dewasa yaitu melalui program ‘wajib kondom 100 persen’.
Celakanya, dalam peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS yang
sudah ada di bebeapa kabupaten dan kota di Papua sama sekali tidak ada langkah
konkret untuk membuat regulasi pada kejadian nomor 1.
Bahkan, dalam perda-perda tsb. sama sekali ada lokasi pelacuran yang ada
adalah ‘tempat-tempat berisiko tinggi’ terjadi penularan HIV. Ini jargon moral
yang justru menjadi penghalang dalam penanggulangan HIV/AIDS, terutama pada
kejadian nomor 1.
Dalam berita disebutkan bahwa sudah 20 tahun penanganan HIV di Tanah Papua,
namun hal yang penting umtuk diperhatikan adalah terjadi degradasi iman di tengah-tengah
jemat.
Jika sudah ada degradasi atau penurunan keimanan yang berujung pada
perilaku yang bertentangan dengan norma dan moral, maka yang diperlukan adalah
regulasi yang sistematis dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Tapi, yang diharapkan justru peranan Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah
Papua untuk mengatasi masalah HIV/AIDS secara sistematis dan strategis di Tanah
Papua.
Yang perlu diperhatikan adalah upaya gereja untuk ‘meluruskan’ perilaku
ummatnya dari perilaku berisiko tertular HIV ke perilaku yang tidak berisiko
tertular HIV membutuhkan waktu yang lama dan tidak ada jaminan hal itu akan
tercapai.
Pada rentang waktu penyadaran ummat tentu ada di antara mereka yang tetap
melakukan perilaku berisiko tertular HIV, al. melakukan hubungan seksual tanpa
kondom dengan PSK langsung.
Dalam kaitan itulah upaya moral yang dilakukan gereja didukung dengan
program yang konkret yaitu regulasi agar laki-laki dewasa memakai kondom setiap
kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Ketua Sinode GKI Di Tanah Papua,
Pdt. Alberth Yoku, S.Th, mengatakan semua agama tidak mau menerima apa yang
haram, tapi prakteknya terdapat perdagangan perempuan oleh germo dengan
menampung WTS di lokalisasi.
Kesalahan bukan pada WTS dan
germo, tapi pada laki-laki dewasa, bahkan ada yang beristri, yang melangkah
tanpa beban moral ke lokasi pelacuran.
Jika tetap menyalahkan WTS dan
germo itu artinya penyangkalan terhadap perilaku sebagian laki-laki dewasa di
Tanah Papua yang sering melacur dengan PSK atau WTS.
Sekretaris Departemen Diakonia Sinode GKI Di Tanah Papua, Pdt. Wospakrik,
mengakui HIV sudah berada dalam kehidupan gereja dan anggota di jemaat-jemaat
GKI.
Maka, yang perlu dilakukan adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan mencegah penularan
dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Hanya dua langkah itu yang bisa dilakukan untuk mendukung program gereja
dalam mengajak ummat agar tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV.
Kalau hanya mengandalkan program moral insiden infeksi HIV baru akan terus
terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.