30 November 2013

Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia (Hanya) dengan Sosialisasi dan Bagi-bagi Kondom



Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2013

Sejak pemerintah mengakui kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia pada April 1987 sampai sekarang yang dilakukan pemerintah hanya sosialisasi dan membuat peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS.

Celakanya, sosialisasi juga dilakukan oleh berbagai kalangan di luar pemerintah, seperti lembaga swadaya masyarakat dikenal sebagai LSM.

Sedangkan Perda AIDS, sudah 74 daerah, mulai dari provinsi, kabupaten dan kota yang mempunyai Perda AIDS. Tapi, semua perda itu hanya berisi pasal-pasal penanggulangan yang normatif sehingga tidak menyentuh akar persoalan.

Karena pemerintah hanya mengandalkan sosialisasi maka yang menjalankan program penanggulangan yang konkret pun tidak jalan. Kondisinya kian runyam karena materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) dibalut dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).

Regulasi Pelacuran

Materi KIE dengan muatan moral menjadi bahan orasi pelitis pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Dengan penduduk 240 juta lebih kasus HIV/AIDS yang terdeteksi sampai 30 Juni 2013 tercatat 152.267 yang terdiri atas 108,600 HIV dan 43,667 AIDS dengan 8,340 kematian.

Kasus yang terdeteksi itu tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat. Ini terjadi karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi merupakan bagian kecil (digambarkan puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut) dari kasus yang ada di masyarakat (digambarkan bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut).

Yang perlu dilakukan sekarang adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru yaitu:

(1) Melalui laki-laki yang tertular HIV di Indonesia atau di luar negeri melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan waria dan pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang ada di lokasi pelacuran dan jalanan) serta PSK tidak langsung (cewek panggilan, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek pemijat, ABG, mahasiswi, cewek gratifikasi seks, dll.). Kondisi ini tidak bisa dijangkau melalui program penanggulangan HIV/AIDS (Gambar 1).

Untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui laki-laki yang tertular melalui kondisi nomor (1) dilakukan intervensi yaitu mewajibkan perempuan hamil menjalani tes HIV. Agar tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), maka perempuan hamil yang diwajibkan tes HIV adalah yang memeriksa kehamilan ke posyandu, puskesmas dan rumah sakit umum. Atau tes HIV diwajibkan bagi perempuan hamil yang memakai Askes, Jamkesmas, Jamkesda, dll.

Terhadap perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dilakukan intervensi yaitu program penanggulangan yakni pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Di sisi lain suami atau pasangan perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS pun diwajibkan pula menjalani konseling. Atau bisa juga perempuan hamil menjalani konseling pasangan sebelum dilakukan tes HIV.


Dengan mendeteksi satu perempuan hamil, maka terdeteksi pula satu laki-laki dan menyelamatkan seorang bayi dari risiko tertular HIV (Lihat Gambar 3).

(2) Melalui laki-laki yang tertular HIV di Indonesia melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan waria dan PSK langsung serta PSK tidak langsung (Gambar 2).

Kondisi nomor (2), khususnya dengan PSK langsung, bisa diintervensi melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ yaitu memaksa laki-laki memakai kondom ketika sanggama dengan PSK langsung. Ini hanya bisa dilakukan jika pelacuran dilokalisir sebagai bentuk regulasi dari penanggulangan HIV/AIDS.



Panen AIDS

Biar pun program jalan, tapi tetap saja ada laki-laki yang tidak memakai kondom, terutama dengan PSK tidak langsung, maka untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui laki-laki yang tertular melalui kondisi nomor (2) juga dilakukan intervensi yaitu mewajibkan perempuan hamil menjalani tes HIV. Agar tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), maka perempuan hamil yang diwajibkan tes HIV adalah yang memeriksa kehamilan ke posyandu, puskesmas dan rumah sakit umum. Atau diwajibkan bagi perempuan hamil yang memakai Askes, Jamkesmas, Jamkesda, dll.

Perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dilakukan pula program penanggulangan pun dilakukan melalui pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Celakanya, pemerintah sama sekali tidak mempunyai program yang konkret dan sistematis dengan hasil yang terukur untuk menjangkau kondisi nomor (1) dan (2).

Agaknya, pemerintah provinsi, kabupaten dan kota selalu berdalih bahwa di daerahnya tidak ada pelacuran. Memang, lokasi atau lokalisasi pelacuran yang dibentuk melalui regulasi seperti di masa Orde Baru, dikenal dengan program resosialisasi, tidak ada. Tapi, praktek pelacuran terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat.

Beberapa daerah, seperti Kota Surabaya, Jatim, menutup lokasi pelacuran dengan mengentaskan PSK. Tapi, ini bisa dipastikan hanya menghilangkan pelacuran yang kasat mata, sedangkan pelacuran dengan berbagai bentuk yang terjadi di berbagai tempat tidak akan pernah hilang. Program yang gencar di masa Orde Baru tetap tidak berhasil (Lihat:Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an) - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/menyingkap-kegagalan-resosialisasi-dan.html).

Pemerintah, dalam hal ini Kemenkes RI dan dinas-dinas kesehatan di provinsi, serta Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) kabupaten dan kota tetap menjadikan sosilisasi sebagai andalan utama mereka dalam program penanggulangan HIV/AIDS.

Program ‘konkret’ yang dilakukan pemerintah saat ini adalah tes HIV. Tapi, perlu diingat bahwa langkah ini, yaitu tes HIV, adalah kegiatan di hilir. Artinya, pemerintah menunggu ada dulu penduduk yang tertular HIV baru ditangani.: 

 

Sedangkan di hulu insiden infeksi HIV baru terus terjadi. Maka, penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terjadi tanpa kendali sehingga menjadikan epidemi HIV/AIDS sebagai ’bom waktu’ yang kelak bermuara pada ledakan AIDS.

Tampaknya, pemerintah memilih bersikap ’masa bodoh’ karena berpijak pada fakta tidak ada lokalisasi pelacuran dengan konsekuensi insiden infeksi HIV baru terus terjadi.

Maka, kita tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

1 komentar:

  1. Agar kita sukses signifikan dalam menurunkan kasus HIV, dari yang paling mudah sampai yang paling sulit yaitu:
    1. penyuluhan/sosialisasi yang tujuannya agar semua hubungan seksual berisiko memakai kondom
    2. dengan PITC, menganjurkan tes HIV pada ibu hamil yang datang ke yan kes pemerintah
    3. mewajibkan tes HIV pada semua warga berisiko
    4. melegalkan lokasi pelacuran sehingga semua orang (terutama mucikari) bisa dipaksa mendukung program kondom 100%
    5. memperbaiki 'moral' masyarakat sehingga perilaku seks diluar nikah dan perilaku berisiko lainnya menurun drastis.

    Saya fikir no 4 sangat susah dilakukan karena banyak penentangan, no 5 lebih susah lagi karena sampai kiamat tidak akan bisa dicapai

    BalasHapus

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.