Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2013
Sejak pemerintah mengakui kasus
HIV/AIDS pertama di Indonesia pada April 1987 sampai sekarang yang dilakukan
pemerintah hanya sosialisasi dan membuat peraturan daerah (perda)
penanggulangan HIV/AIDS.
Celakanya, sosialisasi juga
dilakukan oleh berbagai kalangan di luar pemerintah, seperti lembaga swadaya
masyarakat dikenal sebagai LSM.
Sedangkan Perda AIDS, sudah 74
daerah, mulai dari provinsi, kabupaten dan kota yang mempunyai Perda AIDS.
Tapi, semua perda itu hanya berisi pasal-pasal penanggulangan yang normatif
sehingga tidak menyentuh akar persoalan.
Karena pemerintah hanya
mengandalkan sosialisasi maka yang menjalankan program penanggulangan yang konkret pun tidak jalan. Kondisinya kian runyam
karena materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) dibalut dengan moral
sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).
Regulasi Pelacuran
Materi KIE dengan muatan moral
menjadi bahan orasi pelitis pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS di
Indonesia.
Dengan penduduk 240 juta lebih kasus HIV/AIDS yang
terdeteksi sampai 30 Juni 2013 tercatat 152.267 yang terdiri atas 108,600 HIV
dan 43,667 AIDS dengan 8,340 kematian.
Kasus yang terdeteksi itu tidak
menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat. Ini terjadi karena
epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang
terdeteksi merupakan bagian kecil (digambarkan puncak gunung es yang muncul ke
atas permukaan air laut) dari kasus yang ada di masyarakat (digambarkan
bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut).
Yang perlu dilakukan sekarang
adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru yaitu:
(1) Melalui laki-laki yang
tertular HIV di Indonesia atau di luar negeri melalui hubungan seksual tanpa
kondom dengan waria dan pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang ada di
lokasi pelacuran dan jalanan) serta PSK tidak langsung (cewek panggilan, cewek
kafe, cewek pub, cewek disko, cewek pemijat, ABG, mahasiswi, cewek gratifikasi
seks, dll.). Kondisi ini tidak bisa dijangkau melalui program penanggulangan
HIV/AIDS (Gambar 1).
Untuk menurunkan insiden infeksi
HIV baru melalui laki-laki yang tertular melalui kondisi nomor (1) dilakukan
intervensi yaitu mewajibkan perempuan hamil menjalani tes HIV. Agar tidak
melanggar hak asasi manusia (HAM), maka perempuan hamil yang diwajibkan tes HIV
adalah yang memeriksa kehamilan ke posyandu, puskesmas dan rumah sakit umum.
Atau tes HIV diwajibkan bagi perempuan hamil yang memakai Askes, Jamkesmas,
Jamkesda, dll.
Terhadap perempuan hamil yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS dilakukan intervensi yaitu program penanggulangan yakni
pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Di sisi lain suami atau pasangan
perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS pun diwajibkan pula menjalani
konseling. Atau bisa juga perempuan hamil menjalani konseling pasangan sebelum
dilakukan tes HIV.
Dengan mendeteksi satu perempuan
hamil, maka terdeteksi pula satu laki-laki dan menyelamatkan seorang bayi dari
risiko tertular HIV (Lihat Gambar 3).
(2) Melalui laki-laki yang
tertular HIV di Indonesia melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan waria
dan PSK langsung serta PSK tidak langsung (Gambar 2).
Kondisi nomor (2), khususnya
dengan PSK langsung, bisa diintervensi melalui program ‘wajib kondom 100
persen’ yaitu memaksa laki-laki memakai kondom ketika sanggama dengan PSK
langsung. Ini hanya bisa dilakukan jika pelacuran dilokalisir sebagai bentuk
regulasi dari penanggulangan HIV/AIDS.
Panen AIDS
Biar pun program jalan, tapi
tetap saja ada laki-laki yang tidak memakai kondom, terutama dengan PSK tidak
langsung, maka untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui laki-laki yang
tertular melalui kondisi nomor (2) juga dilakukan intervensi yaitu mewajibkan
perempuan hamil menjalani tes HIV. Agar tidak melanggar hak asasi manusia
(HAM), maka perempuan hamil yang diwajibkan tes HIV adalah yang memeriksa
kehamilan ke posyandu, puskesmas dan rumah sakit umum. Atau diwajibkan bagi
perempuan hamil yang memakai Askes, Jamkesmas, Jamkesda, dll.
Perempuan hamil yang terdeteksi
mengidap HIV/AIDS dilakukan pula program penanggulangan pun dilakukan melalui
pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Celakanya, pemerintah sama sekali
tidak mempunyai program yang konkret dan sistematis dengan hasil yang terukur
untuk menjangkau kondisi nomor (1) dan (2).
Agaknya, pemerintah provinsi,
kabupaten dan kota selalu berdalih bahwa di daerahnya tidak ada pelacuran.
Memang, lokasi atau lokalisasi pelacuran yang dibentuk melalui regulasi seperti
di masa Orde Baru, dikenal dengan program resosialisasi, tidak ada. Tapi,
praktek pelacuran terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat.
Beberapa daerah, seperti Kota Surabaya, Jatim, menutup lokasi pelacuran
dengan mengentaskan PSK. Tapi, ini bisa dipastikan hanya menghilangkan
pelacuran yang kasat mata, sedangkan pelacuran dengan berbagai bentuk yang
terjadi di berbagai tempat tidak akan pernah hilang. Program yang gencar di
masa Orde Baru tetap tidak berhasil (Lihat:Menyingkap
(Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an) - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/menyingkap-kegagalan-resosialisasi-dan.html).
Pemerintah, dalam hal ini Kemenkes RI dan dinas-dinas kesehatan di
provinsi, serta Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) kabupaten dan kota tetap menjadikan sosilisasi sebagai andalan utama
mereka dalam program penanggulangan HIV/AIDS.
Program ‘konkret’ yang dilakukan pemerintah saat ini adalah tes HIV. Tapi, perlu diingat bahwa langkah ini, yaitu tes HIV, adalah kegiatan di hilir. Artinya, pemerintah menunggu ada dulu penduduk yang tertular HIV baru ditangani.:
Sedangkan di hulu insiden infeksi HIV baru terus terjadi. Maka, penyebaran
HIV/AIDS di Indonesia terjadi tanpa kendali sehingga menjadikan epidemi
HIV/AIDS sebagai ’bom waktu’ yang kelak bermuara pada ledakan AIDS.
Tampaknya, pemerintah memilih bersikap ’masa bodoh’ karena berpijak pada
fakta tidak ada lokalisasi pelacuran dengan konsekuensi insiden infeksi HIV
baru terus terjadi.
Maka, kita tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Agar kita sukses signifikan dalam menurunkan kasus HIV, dari yang paling mudah sampai yang paling sulit yaitu:
BalasHapus1. penyuluhan/sosialisasi yang tujuannya agar semua hubungan seksual berisiko memakai kondom
2. dengan PITC, menganjurkan tes HIV pada ibu hamil yang datang ke yan kes pemerintah
3. mewajibkan tes HIV pada semua warga berisiko
4. melegalkan lokasi pelacuran sehingga semua orang (terutama mucikari) bisa dipaksa mendukung program kondom 100%
5. memperbaiki 'moral' masyarakat sehingga perilaku seks diluar nikah dan perilaku berisiko lainnya menurun drastis.
Saya fikir no 4 sangat susah dilakukan karena banyak penentangan, no 5 lebih susah lagi karena sampai kiamat tidak akan bisa dicapai