17 November 2013

Mematikan Kepedulian Remaja


Oleh Syaiful W. Harahap

Catatan: Naskah ini dimuat di Newsletter “HindarAIDS” No. 33, 22 November 1999

Di saat epidemi penyakit menular seksual (PMS), termasuk virus hepatitis B, dan HIV mulai masuk ke populasi yang antara lain ditandai dengan infeksi di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak, diperlukan kepedulian untuk melindungi diri sendiri secara aktif agar tidak tertular PMS dan HIV.

Karena hubungan seksual yang tidak aman (tidak memakai kondom) dengan pasangan yang berganti-ganti (di dalam dan di luar nikah) merupakan salah satu jalur penyebaran PMS dan HIV. Maka salah satu upaya untuk melindungi diri tentulah dengan menerapkan seks aman (safer sex) yaitu dengan memakai kondom. Cara inilah yang rasional untuk mencegah penularan PMS dan HIV dari hubungan seks. Teknologi kedokteran pun hanya mengenal pemakaian kondom sebagai cara untuk mencegah penularan PMS dan HIV melalui hubungan seks karena tidak ada vaksin yang dapat menangkal PMS dan HIV.

Bertolak dari fakta di atas tentulah berita di Harian Republika edisi 3/11-1999 (Operasi Narkoba Temukan Kondom di halaman 9) yang menyebutkan kondom belum layak dikonsumsi siswa kelas 2 SMU tidak objektif. Rupanya, tim gabungan dari Kodya Bogor yang melakukan razia narkotik ke empat SMU di Bogor justru menemukan dua buah kondom di tas salah seorang siswa. Jika dilihat dari aspek hukum pun tidak ada aturan yang melarang seseorang memakai dan membawa kondom. Jadi, jika bertolak dari asas praduga tak bersalah tentulah tidak ada alasan tim itu untuk menyita kondom dari tas siswa karena kondom bukan barang yang dilarang dibawa dan dipakai. Dalam kaitan ini penyitaan hanya dapat dilakukan jika ada surat perintah dari ketua pengadilan negeri setempat.

Dalam Strategi Nasional Penanggulangan AIDS (Keppres No. 36/1994 yang diatur dalam Keputusan Menko Kesra No. 9/Kep/Menko/Kesra/IV/1994) antara lain disebutkan "...penyediaan dan pemanfaatan kondom dan lain-lain, merupakan unsur-unsur penting dalam pelaksanaan yang efektif dari kebijaksanaan ini (maksudnya strategi penanggulangan AIDS secara nasional--pen.)." Maka, kalau kita menyebut diri sebagai bangsa yang hidup di negara yang berdasarkan hukum tentulah sikap dan tindakan aparat, seperti tim gabungan Kodya Bogor tadi, harus mengacu ke Strategi Nasional Penanggulangan AIDS sehingga tidak gegabah menyudutkan dan menyalahkan siswa yang membawa kondom sebagai seorang pesakitan.

Jika disimak dari aspek pengurangan kerugian (harm reduction), baik untuk diri sendiri maupun orang lain, cara yang ditempuh siswa tadi, yaitu dengan memanfaatkan kondom, merupakan langkah yang tepat dan rasional. Sayang, aparat pemda tidak melihatnya dengan jernih dan memakai moralitas mereka yang sangat subjektif dalam bertindak.

Kalau dilihat dari usia tentulah siswa kelas 2 SMU, seperti siswa yang membawa kondom tadi, sudah berumur antara 16 dan 17 tahun yang secara biologis mereka sudah dewasa. Pada usia inilah justru hasrat seks sangat tinggi sehingga membutuhkan penyaluran. Bagaimana pun tidak ada yang dapat dijadikan sebagai substitusi penyaluran hasrat seks selain hubungan seks atau onani. Sayang, banyak pihak yang selalu menyepelekan onani dan mengaitkannya dengan berbagai efek yang negatif.

Penemuan kasus PMS dan HIV/AIDS pada usia remaja membuka mata kita tentang perilaku mereka, terutama dalam masalah seks. Kasus-kasus itu menunjukkan mereka sudah melakukan hubungan seks yang tidak aman. Data resmi kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PPM&PLP Depkes pada November 1999, umpamanya, menunjukkan pada rentang usia 15-19 tercatat 70 kasus dari 1.005 kasus HIV/AIDS (7%). Usia ini tentu saja berada pada jenjang pendidikan SLTP dan SLTA. Pada rentang usia 20-29 justru kasus terbanyak yaitu 442 kasus (44%).

Penelitian juga menunjukkan banyak remaja yang melakukan hubungan seks pertama dengan pekerja seks. Seorang penjual ‘obat kuat’ (obat yang disebut dapat membuat seseorang melakukan hubungan seks yang lama--pen.) di Jatinegara, Jakarta Timur, misalnya, mengatakan justru kalangan remaja yang paling banyak membeli ‘obat kuat’. Rupanya, mereka ingin membuktikan kejantanannya dengan cara bisa ‘tahan lama’ dalam hubungan seks. Jika remaja ini tidak memakai kondom tentulah mereka berisiko tertular PMS dan HIV. Apalagi kalau prevalensi PMS dan HIV di kalangan pekerja seks tinggi tentu risikonya semakin besar pula.

Persoalannya kian rumit karena berbagai mitos di seputar hubungan seks membuat mereka lengah. Misalnya, penjual obat di tempat-tempat pelacuran (lokalisasi) selalu menawarkan obat-obat antibiotik sebagai penangkal PMS dan HIV. Karena cara yang ditawarkan itu tidak bisa menangkal penularan PMS dan HIV, maka remaja yang terinfeksi PMS biasanya akan mengobati dirinya sendiri dengan membeli obat di pedagang obat kaki lima.

Cara ini tidak selamanya berhasil. Buktinya, seorang remaja terpaksa dibawa ke rumah sakit karena suhu badannya sangat tinggi. Orang tua remaja tadi, seorang dokter, terkejut membaca hasil laboratorium yang menunjukkan anaknya terinfeksi sifilis. Rupanya, ketika anak itu mengalami gejala-gejala PMS dia pun membeli obat di kaki lima.

Kalau penemuan kondom itu dikaitkan dengan barang-barang yang ditemukan pada tas siswa tadi, seperti VCD porno dan majalah Playboy tentulah amat wajar dan masuk akal kalau ada kondom di tas mereka karena akumulasi dari kegiatan menonton video porno dan membaca Playboy pastilah hubungan seks. Betapa naifnya kita apabila menghubung-hubungkan kondom dengan moral sedangkan yang menyimpan kondom itu justru ingin menghindarkan dirinya dan orang lain dari bencana yaitu penyebaran PMS dan HIV.

Dalam kaitan ini yang membuat seseorang celaka yakni terinfeksi PMS dan HIV justru lebih tidak bermoral.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.