Oleh Syaiful W. Harahap
Catatan: Naskah ini dimuat di Newsletter “HindarAIDS“ No. 6, 5 Oktober 1998
Penyebaran informasi seputar masalah HIV/AIDS mulai menyentuh semua aspek
media massa. Kali ini Stasiun Televisi “RCTI“, akan menayangkan tiga
belas episode Kupu-kupu Ungu sinetron bertema HIV/AIDS mulai tanggal 6
Oktober 1998 pukul 21.30 WIB, selanjutnya akan ditayangkan tiap hari Selasa
pada jam yang sama. Sinetron yang mengangkat aspek-aspek seputar HIV/AIDS didukung
oleh Ford Foundation dan Departemen Kesehatan RI.
Sinetron pertama yang menampilkan tema HIV/AIDS ditayangkan ”TVRI”
(1994) melalui serial Onah dan Impiannya. Nano Riantiarno, penulis
skenarionanya, merasa kurang puas dan terus mengembangkannya sampai akhirnya
mencul Kupu-kupu Ungu. Skenario serial ini ditulis Nano setelah ia
mempelajari seluk-beluk HIV/AIDS pada pakar HIV/AIDS nasional selama lebih dari
dua tahun.
Sinetron ini bertolak dari pengalaman dr. Halimah (Nurul Arifin)
yang merawat seorang Odha yang tertular karena transfusi darah untuk
hemofilianya dan akhirnya meninggal dunia. Halimah kemudian mendirikan Klinik
Hematologi "Hati Putih" untuk Odha. Halimah bertemu dengan Nirwan
Hudoyo (Gito Gilas), wartawan yang tertarik kepada masalah HIV/AIDS.
Upaya Halimah untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap HIV/AIDS
disampaikannya melalui Nirwan.
Mendramatisasi persoalan seputar HIV/AIDS yang dimaksudkan sebagai salah
satu cara agar penonton tertarik sehingga informasi yang disampaikan tepat
sasaran justru bisa sebaliknya. Soalnya, dari beberapa adegan yang
dipertunjukkan pada preview sinetron ini di hadapan wartawan (Kamis,
17/9) jelas tidak menggambarkan persoalan nyata (realitas) yang dihadapi Odha.
Sebagai wartawan yang menggeluti masalah HIV/AIDS saya belum penah
menemukan kasus pengeroyokan Odha atau pelemparan rumah Odha dengan batu,
seperti yang digambarkan pada sinetron itu. Yang sering terjadi hanyalah
sebatas sikap yang tidak bersahabat yang ditunjukkan masyarakat, termasuk aparat
pemerintah, dengan cibiran dan menjauhi Odha dan keluarganya, yang lebih
bersifat psikologis daripada fisik.
Nano sendiri mengatakan sinetron ini bukan kisah nyata, tapi juga bukan
kisah fiktif. Materi untuk skenario sinetron ini diperolehnya dari cerita yang
disampaikan banyak orang kepadanya tentang Odha. Saya mengkhawatirkan sikap
terhadap Odha yang digambarkan dengan cara unjuk kekuatan, melempari rumah dan
mengeroyok Odha, justru akan mendorong orang untuk melakukan hal yang sama jika
mereka mendapatkan tetangganya benar-benar seorang Odha. Soalnya, mitos yang
berkembang membuat masyarakat bersikap tidak objektif terhadap Odha. Misalnya,
HIV disebut penyakit kalangan orang yang berperilaku menyimpang, menular
melalui pergaulan sosial, dan lain-lain.
Tulisan ini hanya berdasarkan cuplikan tiga episode dan tanya jawab
wartawan dengan pendukung sinetron sehingga tidaklah mungkin menulis resensi
yang komprehensif. Untuk mendapatkan pandangan pemirsa terhadap sinetron itu
HindarAIDS sendiri akan menyebarkan angket kepada pemirsa “RCTI”.
Mengatasi dugaan atau tudingan masyarakat kepada seseorang, misalnya,
terhadap mantan pekerja seks, sebagai Odha hanya dengan menunjukkan hasil tes
negatif tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Soalnya, bagaimana kalau wanita
tadi benar-benar positif: apa yang akan terjadi? Inilah yang seharusnya
diantisipasi sehingga sinetron ini dapat menggiring penonton untuk bersikap
objektif dan realitis terhadap Odha.
Saya khawatir peranan dr. Halimah tidak objektif karena Nurul Arifin
sendiri mengaku shock waktu pertama kali bertemu dengan Odha. Saya
tahu persis, Odha yang ditemui Nurul itu belum menunjukkan gejala stadium AIDS,
seperti yang banyak digambarkan media massa, sehingga tidak ada alasan bagi
seseorang untuk shock karena secara fisik tidak ada perbedaan antara
Odha itu dengan Nurul Arifin.
Akan jauh lebih bermanfaat kalau
yang dipersoalkan masalah yang berkaitan dengan persoalan yang akan ditemui
Odha. Misalnya, pernikahan antar Odha atau penanganan mayat Odha yang selama
ini sering menjadi masalah. Pernikahan Odha di Ujungpandang, misalnya, sampai
sekarang tidak habis-habisnya menjadi pembicaraan. Bahkan, belakangan pasangan
itu pun tidak bisa mendapatkan rumah karena tidak ada penduduk yang mau
mengontrakkan rumahnya kepada pasangan Odha itu.
Pada salah satu adegan yang
menunjukkan seorang Odha mencoba memotong urat nadi di tangannya menyebutkan
bahwa ia wanita yang setia ketika rumahnya dilempari penduduk. Dalam kaitan ini
akan muncul lagi mitos (anggapan yang keliru) yang mengarahkan penonton kepada
sikap bahwa HIV tertular karena tidak setia. Padahal, penularan HIV terjadi
karena kondisi hubungan seksual bukan sifatnya. Artinya, kalau keduanya
negatif, atau mereka menerapkan seks aman dengan memakai kondom, tentu tidak
akan terjadi penularan biar pun hubungan seksual itu dilakukan di luar nikah.
Sayang, tidak disebutkan rujukan
untuk peranan wartawan karena selama ini banyak kalangan yang menilai
berita-berita seputar HIV/AIDS di media massa tidak objektif dan sering
menyudutkan Odha yang pada gilirannya justru menghambat sosialisasi pencegahan
penyebaran HIV. Ford Foundation sendiri mendanai program pelatihan ‘jurnalisme
empati’, kepada wartawan media cetak dan elektronik yang dilaksanakan oleh
PMP-AIDS LP3Y Yogyakarta. Melalui jurnalisme empati ini diharapkan wartawan
juga sekaligus berperan sebagai pendamping Odha dan ikut meningkatkan
kepedulian masyarakat.
Resensi yang komprehensif kelak
akan menghasilkan sinetron yang benar-benar bisa meningkatkan kepedulian masyarakat
terhadap HIV/AIDS termasuk sikap yang positif terhadap Odha. Judul serial ini
sendiri sudah membawa penonton ke arah yang tidak objektif karena selama ini
kata kupu-kupu sangat erat kaitannya dengan kupu-kupu malam
(pekerja seks) sehingga bisa jadi ada kesan HIV/AIDS hanya berkaitan dengan
kupu-kupu malam.
Jika hal ini terjadi tentu akan
menguatkan mitos lagi yang melihat HIV hanya tertular dan menular di kalangan
pekerja seks dan pelanggannya sehingga orang lain yang merasa dirinya tidak
termasuk ke dalam kelompok perilaku itu akan mengabaikan penyebaran HIV.
Padahal, berbagai penelitian menunjukkan HIV sudah masuk ke komunitas di luar
kelompok berperilaku yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV, seperti ibu
rumah tangga dan anak-anak.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.