Oleh Syaiful W. Harahap
Kemajuan teknologi informasi (IT)
juga sudah merambah ke arena diskusi dan debat. Kini, diskusi tidak harus
dilakukan berhadap-hadapan di meja, tapi sudah berlangsung melalui internet
dengan memanfaatkan fasilitas E-mail.
Salah satu arena diskusi melalui
E-mail telah dikembangkan oleh AIDS-INA melalui mailing list,
yang lebih populer dengan sebutan ‘milis’. Para peserta diskusi, jika ingin
ikut harus mendaftarkan diri, bebas menyampaikan pendapat, ide atau gagasannya
seputar masalah HIV/AIDS/PMS atau menanggapi persoalan yang dilontarkan di
milis itu.
Agaknya, yang banyak terjadi
justru tanggapan terhadap suatu masalah. Tiga bulan terakhir ini, misalnya, isu
yang banyak ditanggapi peserta diskusi adalah masalah Lokalisasi Pelacuran Kramat
Tunggak, Jakarta Utara. Isu ini bermula dari peluncuran buku tentang Kramat
Tunggak.
Salah satu aspek yang mendapat
tanggapan ramai adalah soal dampak positif dan negatif lokalisasi. Rupanya,
dalam makalah Depkes yang dibacakan pada peluncuran buku tadi dinilai banyak
kalangan terdapat kontradiksi yang mereka sebut sebagai missed opportunity.
Di satu pihak disebutkan bahwa
lokalisasi dapat meningkatkan upaya-upaya promotif, kuratif dan rehabilitatif.
Tapi, di pihak lain disebutkan pula justru angka kejadian PMS lebih tinggi pada
pekerja seks di lokalisasi daripada di luar lokalisasi. Inilah yang banyak
ditanggapi. Peserta milis melihatnya dari berbagai sisi.
Misalnya, ada yang melihat angka
di lokalisasi karena memang di sana surveilansnya berjalan lancar dan rutin,
sedangkan di luar lokalisasi tidak ada surveilans yang rutin. Selain ada pula
data yang dikemukakan berdasarkan penelitian di Surabaya yang menunjukkan angka
PMS di kalangan pekerja seks di lokalisasi tidak jauh berbeda dengan pekerja
seks di luar lokalisasi (Pattern of STD in female sex workers in Surabaya).
Masalah lokalisasi kian meruncing karena berbagai pihak melihatnya dari
berbagai sisi dan aspek pula. Ditilik dari kesehatan masyarakat, lokalisasi
dapat menjadi salah satu bagian dalam upaya untuk mempromosikan pencegahan PMS
dan HIV, pengobatan dan rehabilitasi. Tapi, di pihak lain ada yang melihat
lokalisasi sebagai penyebar PMS.
Ini semua terjadi karena sebagian kita menggunakan moral pribadi sebagai
ukuran. Persoalannya, di negara-negara yang secara de facto dan de
jure tidak terdapat (lokalisasi) pelacuran, tetap saja banyak terjadi PMS
dan HIV/AIDS (lihat laporan UNAIDS Juni 1998).
Masalah lokalisasi kian runyam karena dikait-kaitkan dengan moral dan
agama. Padahal, seharusnya hal itu tidak perlu terjadi karena di luar
lokalisasi pun terjadi hubungan seksual di luar nikah, seperti perselingkuhan,
PIL, WIL, dan lain-lain.
Karena prostitusi tidak mungkin untuk dihapuskan maka lebih baik kalau
ditangani dari sisi kesehatan masyarakat. Persoalannya, tidak jelas pihak mana
yang paling berkompeten menangani lokalisasi. Selama ini lokalisasi berada di
tangan Depsos. Padahal, lokalisasi jelas lebih berat ke aspek kesehatan
masyarakat sehingga menjadi bagian dari pekerjaan Depkes.
Kelihatannya pemerintah melihat lokalisasi dari aspek sosial karena
pelacuran berkaitan dengan patologi sosial. Padahal, dampak prostitusi yang
lebih parah justru pada aspek kesehatan, seperti penyebaran penyakit-penyakit
menular seksual, HIV dan hepatitis B. Depsos sendiri menangani lokalisasi dan
pekerja seks berkaitan dengan upaya rehabilitasi (sosial), sedangkan aspek
kesehatan masyarakatnya nyaris luput.
Karena lokalisasi juga berkaitan dengan masalah perkotaan ada pula yang
mengusulkan agar dibentuk semacam forum kesehatan kota yang dikaitkan dengan
model kota sehat. Soalnya, kalangan LSM sudah sering mengajukan usulan mengenai
penanganan prostitusi dan lokalisasi di perkotaan, tapi "Ibarat menggarami
laut." Akibatnya, banyak yang kecewa dan tidak peduli lagi. Jika ini yang
terjadi tentu amat berbahaya karena epidemi HIV/AIDS dan penyebaran PMS sudah
masuk ke populasi, dan lokalisasi merupakan salah satu mata rantainya.
Debat lokalisasi ini pun akhirnya ditanggapi oleh Menkes, dr. FA
Moeloek, yang dalam E-mail-nya ke milis AIDS-INA mengajak kalangan yang peduli
untuk membicarakan masalah tersebut. Namun, debat soal lokalisasi seakan
tenggelam dan tidak ada kata sepakat yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk
menangani lokalisasi.
Ada pula yang mempersoalkan sampul buku Perempuan-perempuan Kramat Tunggak
yang memakai foto dua perempuan yang matanya ditutup. Cara ini jelas
mengingatkan kita kepada pelaku kriminalitas. Biar pun kedua perempuan itu
sudah setuju fotonya untuk dijadikan sampul buku, tetapi dampak sosialnya tentu
akan sangat besar. Bayangkan, jika suatu saat orang tua, keluarga atau pun
anak-anak kedua perempuan itu kelak melihat sampul buku itu, tentu hal ini akan
menimbulkan persoalan bagi mereka. Mereka pun tahu kalau anak atau ibunya
ternyata dulu perempuan di Kramat Tunggak (baca: pekerja seks). Ini tentu
menyangkut tanggung jawab moral karena menyangkut etika pemuatan foto yang bisa
dikaitkan dengan latar belakang (kehidupan) yang dianggap sebagai perilaku yang
menyimpang dari norma-norma sosial dan agama.
Alangkah baiknya kalau ada kelanjutan gagasan pembentukan forum kesehatan
kota dan pembicaraan dengan Menkes juga dirilis di milis AIDS-INA agar
informasinya menyebar.
Milis ini seharusnya dapat dijadikan sebagai forum untuk menjembatani
berbagai pihak dengan berbagai kalangan untuk memecahkan suatu persoalan
bersama. Sayang, debat soal lokalisasi di milis ini tidak ditanggapi oleh
Depsos.***
Catatan: Naskah ini dimuat di Newsletter ”HindarAIDS” No. 29,
20 September 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.