Catatan Kecil dari Workshop PMP
AIDS (Bagian I)
Oleh Syaiful W. Harahap
Catatan: Pusat Media dan
Pelatihan AIDS (PMP AIDS)-LP3Y Yogyakarta dan The Ford Foundation
menyelenggarakan workshop penulisan jurnalisme empati masalah HIV/AIDS
untuk wartawan media cetak 16 angkatan (dua kali di Denpasar, sekali di Bandung
dan Makassar), radio (7, sekali di Cianjur, Jabar) dan televisi (2). Setiap
angkatan diikuti 20 wartawan dari seluruh Indonesia (satu wartawan media cetak
dari Kuala Lumpur, Malaysia). Tulisan ini berdasarkan pengalaman sebagai
peserta, narasumber dan fasilitator workshop untuk wartawan media cetak.
Bagian pertama tanggapan wartawan terhadap kondom. Redaksi.
"Ini pelecehan." Itulah
kesimpulan wartawan peserta workshop angkatan XII/Mei 2000 tentang
pemberian kondom kepada mereka. Busyet. Pemberian kondom itu sendiri dilakukan
karena di hari-hari pertama workshop wartawan selalu mempersoalkan
anjuran penggunaan kondom dalam konteks seks aman (safer sex). Mereka mengatakan anjuran itu akan
mendorong perzinaan.
Nah, dalam kaitan itulah kondom dibagikan. Apakah benar setelah memegang
kondom mereka langsung berzina?
Hal ini sebenarnya bermakna dengan peristiwa pemerkosaan yang dilakukan
seorang pemuda terhadap seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri di
Bogor beberapa tahun yang lalu. Alasan pemuda itu: dia terangsang karena
menonton film porno di bioskop. Dari aspek psikologis pun hal ini tidak
sepenuhnya benar. Kalau memang film itu benar-benar mendorong orang untuk
(langsung) melakukan hubungan seks, seharusnya semua laki-laki yang menonton
film itu pun ikut-ikutan memerkosa.
Hal yang sama berlaku untuk kondom. Hasrat
seseorang yang memiliki atau tidak memiliki kondom untuk melakukan hubungan
seks di luar nikah tetap tergantung kepada pribadi masing-masing. Nun di
pedesaan yang jauh dari kondom pun tetap saja terjadi hubungan seks di luar
nikah: pramarital, selingkuh maupun dengan pekerja seks.
Pemasyarakatan kondom pun analog dengan oralit. Dalam kasus muntaber, oralit
menjadi penolong utama dan pertama. Dengan memberikan oralit penderita muntaber
sudah dapat tertolong nyawanya. Konsekuensinya, oralit harus murah harganya
agar terjangkau semua lapisan masyarakat dan mudah pula diperoleh sehingga
tidak perlu dengan resep dokter dan tidak harus dibeli di apotek.
Hal yang sama terjadi pada epidemi PMS (penyakit-penyakit yang ditularkan
melalui hubungan seks yang tidak aman), seperti virus hepatitis B, HIV, GO,
sifilis dan lain-lain. Seperti diketahui beberapa penelitian menunjukkan PMS
sudah masuk ke populasi. Artinya, infeksi PMS sudah terdapat pada kalangan
berisiko rendah, seperti ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak. Ini menunjukkan
ada yang membawa PMS kepada mereka karena mereka sendiri tidak melakukan
perilaku-perilaku yang berisiko terinfeksi PMS. Kalau yang terinfeksi itu seorang istri,
tentulah dia tertular dari suaminya. Pada gilirannya anak yang akan
dilahirkannya pun dapat pula terinfeksi, baik ketika dalam kandungan, saat
persalinan, maupun dari ASI.
Untuk memutus mata rantai penyebaran PMS inilah diperlukan kondom. Setiap
orang berhak untuk menentukan cara hidupnya, termasuk melakukan
perilaku-perilaku yang berisiko, tetapi di sisi lain dia wajib menjaga hak
orang lain agar tidak tertular penyakit. Konsep pemasyarakatan kondom pun
berkaitan pula dengan filosofi harm reduction (pengurangan kerugian).
Paling tidak kondom dapat menghindarkan seseorang tertular penyakit akibat
perilaku yang berisiko. Di pihak lain dia pun sudah menjaga orang lain agar
tidak menjadi rentetan korbannya.
Sebagai alat, kondom netral. Sama seperti belati. Kalau dipakai mengupas
mangga tentu bermanfaat. Tetapi, belati pun bisa mencelakakan orang lain.
Semuanya tergantung kepada yang memegang belati itu. Lagi pula kalau wartawan
sudah melihat kondom dari sisi yang negatif, seperti melihat belati sebagai
alat untuk menikam orang lain, tentulah mereka sudah membuat penilaian yang
tidak fair. Lebih parah lagi tidak sedikit wartawan yang menyebut-nyebut
kondom berpori, tetapi tidak pernah melihat dan memegangnya secara langsung.
Soal kondom berpori itu pulalah yang muncul pada workshop angkatan
XI/November 1999. Mereka mengutip pernyataan yang menyebutkan kondom berpori
sehingga bisa ditembus virus. Kalau wartawan mau sedikit memutar otak tentu
pendapat itu tidak masuk akal karena kondom terbuat dari karet lateks yang sama
sekali tidak mempunyai pori-pori. Hal ini dapat dibuktikan dengan cara yang
amat sederhana yaitu dengan meniup atau memasukkan air ke dalam kondom. Kalau
kondom berpori tentu saja balon kondom akan kempes atau air menetes, tetapi
dalam berbagai penelitian ternyata kondom dapat diisi dengan udara dan air
sampai menggelembung.
Dari sisi teknologi kedokteran pun tesis itu pupus karena sebagai virus HIV
tidak bisa keluar dari larutan (darah, cairan sperma dan vagina). HIV hidup
pada sel-sel darah, cairan sperma dan vagina. Maka, kalau kondom efektif
menampung maka virus (HIV dan hepatitis B) dan bakteri (sifilis) pun tidak akan
keluar dari kondom.
Yang lebih tidak masuk akal pun tetap diyakini wartawan: Cara sodomi
meskipun menggunakan kondom yang lebih tebal 10 inci, ternyata bocor juga.
(Republika, 1/12-1998). Dengan tebal 10 inci (25,4cm) kondom tidak akan
bisa ditembus peluru pistol. Andaikan diameter lobang kondom 2,5cm maka
diameter kondom 53,3cm. Apakah mungkin benda padat berdiameter 53,3cm bisa
masuk ke dubur? Eh, biar pun sudah diajak tukar pikiran tetap saja ada wartawan
peserta angkatan XI yang tetap menyetujui pernyataan yang tidak didukung dengan
bukti ilmiah itu.
Mana mungkin seorang wartawan menulis berita yang objektif jika dia sendiri
sudah menilai kondom dari sisi yang negatif. Setiap orang boleh-boleh saja
tidak setuju memakai kondom, tetapi dalam masalah penulisan berita tentulah
wartawan tidak boleh menggelapkan fakta. Artinya, jika mereka tetap mengutip
pernyataan pakar yang tidak objektif tentulah mereka sudah menggelapkan fakta.
Lagi pula hasil berbagai survei dan penelitian menunjukkan lelaki enggan
memakai kondom, terutama dalam berhubungan seks dengan pasangan yang
berganti-ganti, dengan berbagai alasan, seperti mengurangi kenikmatan, repot,
dan lain-lain. Jadi, dari aspek ini saja pendapat yang mengatakan kondom
mendorong orang untuk berzina, bahkan ada yang menyebutkannya sebagai
legalisasi zina, sudah gugur karena lebih banyak yang tidak memakai kondom
tetapi tetap melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti.
Produksi kondom sendiri sudah menerapkan standar mutu seperti yang
ditetapkan ISO (International Organization for Standardization).
Ini menunjukkan kualitas kondom sudah terjamin, sehingga yang perlu
diperhatikan adalah cara penyimpanan dan pemakaiannya.***
*Dimuat di Newsletter “ HindarAIDS” No. 48, 3 Juli
2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.