Oleh Syaiful W. Harahap
Ketika membaca berita berjudul "Awas,
Ancaman HIV/AIDS di Irian Jaya" (Kompas, 29/8-2000), khususnya
tentang pernyataan: "Penyakit ini pertama kali diketahui di Merauke dari
empat nelayan Thailand tahun 1994" saya langsung teringat pada salah satu
sesi di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik di Manila (Oktober 1997).
Ketika itu dr. Hadi M. Abednego, waktu itu Dirjen PPM&PLP Depkes,
diprotes oleh seorang remaja putri Thailand (Kanokwan Tharawan, waktu itu
berusia 17 tahun, staff associate Population Council, South East
Asia-Thailand Office) karena menyebutkan penularan HIV di Merauke terjadi
karena kehadiran nelayan Thailand.
Soalnya, menurut gadis itu, mobilitas penduduk
Merauke juga perlu diperhitungkan. Namun, dr. Abednego tetap pada
pendiriannya karena sub-tipe virus di Merauke E, sub-tipe virus yang ada di
Thailand. Gadis ini tidak puas atas jawaban tadi. Di luar ruangan pun gadis itu
terus marah, "Penduduk dari daerah lain di Indonesia juga, 'kan, datang ke
sana," katanya dengan nada tinggi ketika saya wawancarai. Dia sangat
menyesalkan cara penyajian yang mengait-ngaitkan sebuah bangsa dengan epidemi
HIV karena tidak hanya nelayan Thailand yang mengunjungi Merauke, sebaliknya
penduduk Merauke pun bepergian pula ke luar daerahnya.
Maka, amat wajar pulalah mengapa seorang peserta
kongres dari Kamboja marah besar, pada sesi lain di kongres itu, ketika dia
mengetahui tentara Indonesia yang dikirim sebagai pasukan perdamaian ke
negaranya tidak menjalani tes HIV dahulu, "Jangan-jangan tentara Anda yang
menulari penduduk kami." Ia pun tambah berang karena dalam sesi itu terungkap salah satu tentara
yang dikirim ke sana rupanya HIV-positif.
Lagi pula kalau wartawan yang menulis berita tadi
lebih jeli tentulah perlu kehati-hatian mengaitkan epidemi HIV di Merauke
dengan kehadiran nelayan Thailand karena ada beberapa hal yang terkait dengan
masalah tesebut.
Pertama, penduduk Irian Jaya juga bepergian ke
luar daerah. Kedua, penduduk dari daerah lain di Indonesia pun datang ke Irian
Jaya. Ketiga, berdasarkan data kasus kumulatif yang dikeluarkan Ditjen
PPM&PLP Depkes, ternyata sampai dengan 31 Maret 1995 sudah ada tiga kasus
AIDS di Irian Jaya. Andaikan ada penularan dari nelayan Thailand pada Januari
1994. Apakah dalam kurun waktu 15 bulan infeksi HIV sudah mencapai masa AIDS?
Bahkan, juga berdasarkan data Ditjen PPM&PLP sampai dengan 30 November 1995
dari delapan kasus AIDS di Irian Jaya lima di antaranya meninggal dunia. Ini,
lagi-lagi kita berandai-andai, jika memang ada penularan pada Januari 1994
berarti dalam kurun waktu 23 bulan infeksi HIV sudah membawa orang ke liang
lahat.
Dengan berpatokan pada fakta di atas apakah kita
tetap mengaitkan kehadiran nelayan Thailand di sana? Mengapa kita tidak
memperhitungkan kehadiran penduduk dari daerah lain di sana? Apakah kita
mengabaikan mobilitas penduduk Irian Jaya?
Jika kita tetap mengait-ngaitkan epidemi HIV
dengan nelayan Thailand (yang sudah pulang ke negaranya) akan berdampak buruk
karena penduduk pun akan lengah. Mereka tidak akan melindungi dirinya secara
aktif karena mereka menganggap penularan HIV hanya dari nelayan Thailand.
Celakanya, nelayan Thailand memang tidak ada lagi di sana sehingga penduduk pun
merasa aman, tetapi epidemi HIV sudah ada di sana. Inilah yang tidak mereka
sadari. Kondisi itu tentu dapat memicu penyebaran HIV pada penduduk lokal. Ini
terbukti dari angka-angka laporan kasus kumulatif HIV/AIDS pada tahun-tahun
berikutnya.
Per April 1995 tercatat 65 kasus HIV dan tiga AIDS
(50 kasus HIV terdeteksi pada nelayan Thailand) sehingga 15 kasus pada penduduk
lokal. Pada 30 November 1995 sudah tercatat 38 kasus HIV (angka pada laporan
88, tetapi 50 nelayan Thailand)dan delapan AIDS. Per 30 November 1999 tercatat 128 HIV dan 90 AIDS
serta 79 kematian. Per 30 Juni 2000 tercatat 166 HIV dan 101 AIDS serta 82
kamatian.
Mobilitas penduduk Indonesia selalu
diabaikan dalam masalah HIV. Kita selalu melihat orang luar yang akan
menularkan HIV di Indonesia. Simaklah pernyataan Chris Triwinasis, ketua panitia
Hari AIDS 1 Desember 1999. tentang kasus HIV di Batam (Riau) ini: "Turis
asal Singapura, khususnya yang berperilaku sering mencari wanita penghibur di
Pulau Batam, potensial menularkan maupun tertular HIV ....." (Kompas,
1/12-1999). Ketua panitia tadi membuktikannya dengan peningkatan kasus HIV/AIDS
di Batam. Tetapi, mengapa tidak diperhitungkan penduduk Batam yang pergi ke
luar daerah dan luar negeri serta kedatangan penduduk dari daerah lain?
Pernyataan dr. Krisman
Hutajulu, Kasubdin Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Menular pada Dinas
Kesehatan Irian Jaya tentang HIV/AIDS di Irian Jaya: "dalam jangka waktu
10-20 tahun ke depan, Irian Jaya paling berpeluang diserang virus
HIV/AIDS" jelas tidak akurat karena sebagai virus, HIV tidak bisa menyerang
(penduduk) Irja. Dalam berita itu tidak dijelaskan mengapa dan bagaimana HIV
akan menyerang Irian Jaya. Ini penting agar penduduk bisa melindungi diri. HIV
sendiri sebagai virus tidak menular melalui udara, air dan pergaulan sosial.
Yang bisa terjadi adalah epidemi HIV akan menjadi masalah besar di Irian Jaya
jika upaya-upaya untuk mencegah penularan HIV tidak ditingkatkan.
Kasus Irian Jaya merupakan contoh
nyata bagaimana kita menanggapi epidemi HIV dengan menyalahkan orang lain dan
menyangkal epidemi HIV di komunitas kita hanya karena kita menyebut diri
sebagai bangsa yang berbudaya, beragama, dan lain-lain. Padahal, bangsa mana,
sih, di muka bumi ini, katakanlah bangsa yang prevalensi HIVnya tinggi, yang
tidak berbudaya dan beragama?
Catatan: Nama Irian Jaya dipakai
sesuai dengan berita Kompas. Redaksi.
* Dimuat di Newsletter “HindarAIDS” No. 54, 2
Oktober 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.