* Kasus kumulatf HIV/AIDS di Kota Jayapura sampai
31 Desember tahun 2012 mencapai 2.666 dengan 140 kematian. Sedangkan kasus kumulatif
di Prov Papua dilaporkan 13.276 (Sumber: Dinkes
Prov Papua).
Tanggapan Berita (8 November 2013) – ”Wakil Wali Kota Jayapura,
Nuralam, berpendapat laju penyebaran atau pun pertumbuhan penyakit HIV/AIDS di
daerah tersebut sangat menghawatirkan, karena dalam data yang diperoleh dari
KPA setempat, ibu kota Provinsi Papua itu berada di peringkat ke-dua setelah
Kabupaten Mimika.” Ini lead pada berita ”Penyebaran HIV/AIDS di Jayapura Dinilai Mengkhawatirkan” (republika.co.id, 7 November
2013).
Pertanyaan yang sangat mendasar terhadap pernyataan di atas adalah:
(1) Mengapa laju penyebaran HIV/AIDS di Kota Jayapura mengkhawatirkan?
(2) Siapa yang ‘menyebarkan’ HIV/AIDS diKota Jayapura?
(3) Bagaimana cara ‘penyebaran’ HIV/AIDS di Kota Jayapura?
(4) Bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS terdeteksi di Kota Jayapura?
(5) Apakah semua data kasus HIV/AIDS yang tercatat di Kota Jayapura semua
terdeteksi pada penduduk Kota Jayapura?
Kalau wartawan menulis berita dengan perspektif jawaban dari lima
pertanyaan di atas, maka yang mengkhawatirkan bukan penyebaran dan pertambahan
kasus HIV/AIDS. Yang mengkhawatirkan adalah fakta bahwa ada penduduk
Kota Jayapura, terutama laki-laki dewasa, yang menjadi mata rantai penyebaran
HIV secara horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah.
(1) Laju penyebaran HIV/AIDS di
Kota Jayapura terus terjadi melalui mata rantai laki-laki dewasa yaitu mereka
yang tertular HIV di Kota Jayapura, di luar Kota Jayapura atau di luar negeri.
Mereka adalah: (a) laki-laki dewasa yang perilakunya berisiko tertular HIV/AIDS
yaitu pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan
di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti, dan (b) laki-laki dewasa
yang perilakunya berisiko tertular HIV/AIDS yaitu pernah atau sering melakukan
hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti
pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) yang mangkal di lokasi pelacuran
atau di jalanan, cewek bar, cewek kafe, cewek pub, cewek pemijat di panti pijat
plus-plus, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, dll.
Jika Pemkot Jayapura tidak
mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki dewasa pada perilaku (b), maka insiden infeksi HIV baru akan terus
terjadi dan laki-laki yang tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV
di masyarakat.
(2) Yang menyebarkan HIV/AIDS di
Kota Jayapura terutama laki-laki dewasa dengan perilaku (a) dan (b) di atas.
(3) Penyebaran HIV/AIDS di Kota Jayapura al. melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalan dan di luar nikah. Laki-laki yang perilakunya berisiko (a)
dan/atau (b) menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di
masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
(4) Kemungkinan besar kasus HIV/AIDS yang ada di Kota Jayapura terdeteksi
ketika berobat di rumah sakit. Itu artinya mereka sudah lama tertular HIV
sehingga rentang waktu antara tertular dan terdeteksi tanpa mereka sadari
mereka sudah menularkan HIV ke orang lain, al. suami ke istri.
(5) Karena fasilitas untuk tes HIV dan pengobatan yang baik ada di Kota
Jayapura, maka ada kemungkinan kasus yang terdeteksi di Kota Jayapura bukan
penduduk Kota Jayapura.
Dalam berita Nuralam mengatakan: "Sebagai Ketua KPA kota dimana-mana
saya selalu bicara masalah bahaya HIV/AIDS karena angka korbannya dari waktu ke
waktu bertambah. Data dari KPA, jumlah yang sudah terjangkit di kota ini kurang
lebih 7.000 orang dan yang datang memeriksakan diri lebih banyak yang sudah stadium
tinggi."
Yang diperlukan bukan bicara tapi langkah konkret yaitu menjalankan program
untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan
seksual dengan PSK. Program yang konkret terbukti perlu karena, seperti
dikatakan Nuralam ” .... yang penyebabnya 99 persen karena hubungan seks.”
Celakanya, yang dilakukan Pemkot Jayapura adalah ” .... pihaknya terus
intens memberikan pelayanan terhadap orang dengan HIV/AIDS.”
Menangani orang dengan HIV/AIDS adalah langkah di hilir. Artinya, Pemkot
Jayapura menunggu ada dulu penduduknya yang tertular HIV baru ditangani. Ini
sama saja dengan pembiaran.
Yang diperlukan adalah program yang konkret berupa regulasi untuk
menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan
PSK.
Jika tidak ada program yang konkret, terutama regulasi yang sistematis dan
terukur, yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan
seksual dengan PSK, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Celakanya, Perda
AIDS No 16 Tahun 2011 sama sekali tidak memberikan langkah-langkah yang
konkret, sistematis dan terukur untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: AIDS dan
’Tempat-tempat Risiko Tinggi’ di Kota Jayapura, Papua - http://www.aidsindonesia.com/2013/11/aids-dan-tempat-tempat-risiko-tinggi-di.html].
Pada gilirannya laki-laki yang baru tertular HIV/AIDS akan menjadi mata
rantai penyebaran HIV yang berpotensi sebagai ’bom waktu’ yang pada akhirnya
akan terjadi ’ledakan AIDS’.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.