Tanggapan Berita (13 November 2013) – ” .... penularan virus
HIV/AIDS ini, rentan terjadi pada para pelaku seks bebas dan pengguna narkoba
melalui jarum suntik.” Ini disampaikan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan
Aids (KPA) Jawa Timur, Otto Bambang Wahyudi, dalam berita ”Penderita HIV/AIDS di Jatim terus bertambah, 90
persen parah” di merdeka.com
(12/11-2013).
Ada beberapa hal yang justru merupakan mitos (anggapan yang salah) dalam
pernyataan sekretaris KPA itu, yaitu:
(1) Kalau ’seks bebas’ diartikan sebagai melacur, maka tidak ada kaitan
langsung antara melacur (sifat hubungan seksual) dan penularan HIV, penularan
HIV terjadi karena salah satu dari pasangan yang melakukan hubungan seksual
mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama (kondisi
hubungan seksual).
Seperti yang dilakukan oleh seorang anggota DPRD salah satu kabupaten di
Jawa Timur yaitu melakukan akad nikah (dikenal sebagai nikah mut’ah) dulu
sebelum melakukan hubungan seksual. Ini jelas hubungan seksual yang mereka
lakukan, biar pun dengan PSK, adalah sah dalam ikatan pernikahan.
Tapi, biar hubungan seksual dilakukan dalam ikatan nikah jika salah satu
mengidap HIV/AIDS maka ada risiko penularan kalau laki-laki tidak memakai
kondom setiap kali sanggama.
(2) Penularan HIV melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotika
dan bahan-bahan berbahaya) bisa terjadi jika jarum suntik dipakai secara
bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.
Dalam berita ada pernyataan ”Jumlah penderita HIV/AIDS di Jawa Timur, terus
meningkat.”
Yang paling tepat adalah jumlah orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS
terus bertambah karena pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan
cara kumulatif. Kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga
jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan tidak akan pernah turun atau berkurang
biar pun banyak pengidapnya yang meninggal.
Sampai tahun 2013 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan di Jatim
mencapai 17.775.
Disebutkan oleh Otto: "Kami masih terus melakukan sosialisasi agar
masyarakat mau memeriksakan diri. Tujuannya, dengan banyak ditemukan penderita
HIV, maka akan mudah dilakukan pengobatan, sehingga kemungkinan sembuh bisa
diupayakan."
Yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua orang harus menjalani tes HIV
karena tidak semua orang berperilaku yang berisiko tertular HIV.
Tes HIV adalah penanggulangan di hilir. Artinya, Otto menunggu dulu ada
penduduk Jatim yang tertular HIV baru dilakukan tes HIV. Ini sama saja dengan pembiaran dan penelantaran
terhadap penduduk Jatim.
Disebutkan bahwa “ …. sehingga kemungkinan sembuh bisa diupayakan.”
Ada lagi pernyataan: Padahal HIV/AIDS bisa disembuhkan, asalkan pasien
patuh pada dokter.
Dua pernyataan di atas ngawur karena HIV/AIDS tidak bisa disembuhkan.
Biar pun ada obat antiretroviral (ARV), obat ini hanya bisa menekan laja
perkembangan HIV di dalam darah sehingga pengidap HIV/AIDS tetap bisa hidup
secara alamiah.
Ada pula pernyataan Otto: Saat ini masih ada banyak penderita yang tak mau
mengakui kalau dirinya terjangkit virus berbahaya tersebut.
Pernyataan ini menyesatkan dan mendorong stigma (cap buruk) terhadap Odha
(Orang dengan HIV/AIDS) karena orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap
HIV/AIDS melalui tes HIV yang sesuai dengan standar baku akan tercatat. Mereka
juga tidak mungkin menghilang karena ada kaitannya dengan obat ARV dan
pengobatan lain.
Orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS hanya bisa mendapatkan obat
ARV melalui tempat di mana mereka tercatat. Tentu saja mereka tidak akan
menghapus namanya dari daftar karena risikonya mereka tidak bisa mendapatkan
obat ARV dan fasilitas lain.
Tampaknya, penanggulangan yang dilakukan oleh KPA Jawa Timur hanya sebatas sosialisasi
berkala pada masyarakat terkait bahaya HIV/AIDS.
Bagaimana memastikan orang-orang yang sudah menerima sosalisasi otomatis
akan menghentikan perilakunya yang berisiko tertular HIV?
Tentu saja tidak bisa. Bahkan, Perda AIDS Jawa Timur pun sama sekali tidak
menawarkan program penanggulangan yang konkret (Lihat: Menyibak Kiprah Perda AIDS Jatim - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/menyibak-kiprah-perda-aids-jatim.html).
Program penanggulangan yang efektif, terutama pada laki-laki dewasa, adalah
program ’wajib kondom 100 persen’ yaitu laki-laki dewasa diharuskan memakai
kondom ketika sanggama dengan PSK. Program ini hanya bisa dijalankan dengan baik
jika pelacuran diregulasi dengan melokalisir pelacuran.
Celakanya, Pemprov Jatim sudah menabuh genderang perang terhadap lokasi
pelacuran. Semua daerah di Jatim menutup lokasi pelacuran.
Yang perlu diingat menutup lokasi pelacuran tidak otomatis menghentikan
praktek pelacuran. Nah, praktek pelacuran yang terjadi di sembarang tempat dan
sembarang waktu menjadi media penyebaran HIV/AIDS di Jatim. Ini terjadi karena
pratek pelacuran tidak bisa dijangkau (lagi) dengan regulasi.
Praktek pelacuran yang tidak terjangkau oleh program penanggulangan akan
menjadi lahan subur ’persemaian’ HIV/AIDS.
Di satu sisi laki-laki ’hidung belang’ menularkan HIV/AIDS ke perempuan
pelaku praktek pelacuran, di sisi lain perempuan pelaku praktek pelacuran yang
sudah tertular HIV menularkan HIV kepada laki-laki yang mengencaninya tanpa
kondom.
Di masyarakat laki-laki yang menularkan HIV kepada perempuan pelaku praktek
pelacuran dan laki-laki yang tertular HIV dari perempuan pelaku praktek
pelacuran menjadi mata rantai penyebaran HIV, al. melalui hubungan seksual
tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Insiden infeksi HIV yang terjadi di masyarakat kelak akan menjadi ’bom
waktu’ ledakan AIDS.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.