[Pemerhati berita HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro”
Jakarta]
Jakarta (22 Juli 2009) - Sebuah tulisan berjudul “Kritik Isalam terhadap
Strategi Penanggulangan HIV-ADS Berbasis Paradigma Sekuler-Liberal dan Solusi
Islam dalam Menangani Kompleksitas Problematika HIV-AIDS”, Faizatul
Rosyidah, Pusat Studi Intelektual Muslimah (PSIM) Unair Surabaya,
(http://www.scribd.com/doc/17476485/Kritik-Islam-Terhadap-Strategi-Penanggulangan-HivAids-Berbasis-Paradigma-Sekulerliberal-Dan-Solusi-Islam-Dalam-Menangani-Kompleksitas- Problematika-H) menunjukkan pemahaman penulisnya,
Faizatul Rosyidah, terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis yang sangat rendah. Tulisan ini pun mengumbar mitos
(anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS dan moral.
Sebagai seorang intelektual Faizatul Rosyidah menyebutkan: Sungguh suatu
kebodohan yang menyesatkan, menyatakan bahwa “Masalah HIV hanyalah masalah
medis semata yang tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas.” Kutipan ini
dikutip Faizatul Rosyidah dari ‘Surat Pembaca’ di Harian “Radar Jember”
(11/12-2006) yang saya kirim sebagai tanggapan terhadap sebuah berita HIV/AIDS
di koran tersebut.
Faizatul Rosyidah menyimpulkan bahwa HIV/AIDS “ …. berasal dari kalangan
berperilaku seks bebas dan menyimpang” berdasarkan penemuan kasus awal yang
terdeteksi di kalangan gay. Padahal, pada rentang waktu yang sama juga
terdeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan pekerja seks di bagian lain di Amerika
Serikat. Bahkan, setelah WHO menetapkan HIV sebagai penyebab AIDS dan mengakui
tes HIV di Norwegia ditemukan contoh darah dari tahun 1959 yang terkontaminasi
HIV.
Dalam tulisannya Faizatul Rosyidah sama sekali tidak memberikan defenisi
tentang ‘seks bebas’. ‘Seks bebas’ disebutkan 27 kali dalam tulisan tersebut.
Istilah ini merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak
terdapat dalam kosa kata Bahasa Inggris.
Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai zina maka sama sekali tidak ada kaitan
langsung antara zina dengan penularan HIV. Sebagai virus, HIV menular melalui
hubungan seks di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau kedua-dua
pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali
melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif
maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan tanpa
kondom dengan cara zina, melacur, ’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh, ’kumpul
kebo’, dan homoseksual. Ini fakta medis.
Perilaku ’seks bebas dan menyimpang’ adalah tataran normatif yang dilihat
dari sudut pandang norma, moral, dan agama. Secara perspektif dalam hubungan
seks sebagai kegiatan biologis tidak ada penyimpangan (hubungan) seks. Sebagai
virus, HIV menular melalui hubungan seks bukan karena sifat hubungan seks
(melacur, zina, ’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh, ’kumpul kebo’, seks oral dan
seks anal, serta homoseksual) tapi karena kondisi hubungan seks (salah
satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom).
Secara global kasus HIV paling banyak terdeteksi dengan faktor risiko
(penularan) melalui hubungan seks, tapi tidak semuanya melalui hubungan seks di
luar nikah atau zina yang dalam bahasa Faizatul Rosyidah disebutkan sebagai
’seks bebas dan menyimpang’. Jika ’seks bebas’ dalam pemahaman Faizatul
Rosyidah juga termasuk melacur maka ada fakta yang digelapkan. HIV di kalangan
pelacur (baca: pekerja seks) justru ditularkan oleh laki-laki yang dalam
kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang heteroseksual atau biseksual yang
menjadi suami, duda, atau perjaka. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai
penyebaran HIV secara horizontal antar manusia.
Disebutkan pula ”Seks bebas sebagai sumber penularan pertama dan utama
HV/AIDS, juga terbukti di Indonesia. Kasus AIDS pertama ditemukan di Denpasar,
Bali yang merupakan surga bagi penikmat seks bebas.” Ini tidak akurat
karena wisatawan Belanda yang meninggal di Bali (1987) karena penyakit terkait
AIDS justru tidak tertular di Bali karena kematian pada orang-orang yang
tertular HIV secara statistik terjadi pada rentang waktu antara 5-15 tahun
setelah tertular. Wisatawan tadi sudah tertular antara tahun 1972 dan tahun
1982 jauh sebelum dia piknik ke Bali.
Selanjut disebutkan pula ”Selanjutnya, Indonesia dikategorikan sebagai
negara dengan epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi pada kelompok perilaku seks
bebas. Hingga sekarang kondisi ini terus berlangsung.” Kalalu yang dimaksud
Faizatul Rosyidah ’kelompok perilaku seks bebas’ adalah pekerja seks maka
konsentrasi di kalangan ini besar karena survailans tes HIV (tes HIV pada
kalangan tertentu dan pada waktu tertentu untuk mendapatkan angka prevalensi
yaitu perbandingan antara yang HIV-negatif dan HIV-positif) hanya dilakukan
terhadap pekerja seks.
Sedangkan laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks luput dari
target survailans tes HIV. Belakangan setelah ada donor yang mendanai
klinik-klinik tes dengan konseling (dikenal sebagai Klinik VCT) mulai
terdeteksi kasus-kasus HIV di berbagai kalangan di semua lapisan masyarakat.
Celakanya, banyak yang terdeteksi setelah masa AIDS sehingga pada rentang waktu
sejak tertular sampai terdeteksi mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain
tanpa mereka sadari. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya atau
pasangan seksnya yang lain (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada
risiko penularan HIV kepada bayinya kelak (vertikal).
Ada lagi pernyataan ”Demikianlah, seks bebas jelas telah menjadi sumber
pertama dan utama penularan HIV/AIDS. Hal ini penting diperhatikan, karena
akhir-akhir ini banyak diopinikan bahwa penularan HIV/AIDS yang tertinggi
adalah akibat penggunaan jarum suntik tidak steril di kalangan pengguna jarum
suntik atau IDU (intravena drug user). Opini ini jelas telah mengabaikan
bahaya penularan akibat perilaku seks bebas, termasuk perilaku seks bebas pada
IDU akibat loss kontrol.” Hubungan seks, sekali lagi hubungan seks bukan ’seks
bebas’ karena tidak semua hubungan seks terkait penularan HIV dilakukan sebagai
zina, tetap merupakan faktor risiko utama dalam penularan HIV.
Terkait dengan kasus HIV/AIDS yang banyak terdeteksi di kalangan pengguna
narkoba, juga selalu disebutkan pada usia produktif atau remaja, terjadi karena
pengguna narkoba suntik yang akan menjalani rehabilitasi diwajibkan tes HIV.
Sebaliknya, tidak ada mekanisme yang bisa ’memaksa’ orang-orang yang tertular
melalui hubungan seks untuk menjalani tes HIV. Inilah kelak yang akan menjadi
bencana karena kasus HIV di luar kalangan ’pelaku seks bebas dan menyimpang’
(meminjam istilah Faizatul Rosyidah) akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di
masa yang akan datang.
Di beberapa negara sudah diterapkan skrining untuk ’menjaring’ kasus HIV di
masyarakat melalui skrining rutin, sentinel dan khusus. Di Malaysia, misalnya,
ada skrining rutin terhadap pasien IMS, pengguna narkoba, wanita hamil, pokisi,
narapidana, darah donor, dan pasien TB. Maka tidak mengherankan kalau kemudian
kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia mendekat angka ril di masyarakat.
Dengan penduduk 25 juga sudah dilaporkan lebih dari 40.000 kasus HIV/AIDS.
Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 230 juta baru melaporkan kasus
23.632 kasus HIV/AIDS.
Kondisi epidemi HIV/AIDS di Indonesia kian runyam karena materi KIE
(komunikasi, informasi, edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma,
moral, dan agama. Akibatnya, masyarakat tidak memahami cara-cara penularan dan
pencegahan HIV yang akurat. Inilah awal bencana karena banyak orang kemudian
yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala
tau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS.
Disebutkan pula ”Kondomisasi (100% kondom) sebagai salah satu butir dari
strategi nasional tersebut yang telah ditetapkan sejak tahun 1994 hingga
sekarang.” Ini menyesatkan karena dalam berbagai program penanggulangan HIV di
Indonesia tidak ada program ’kondomisasi’. Yang dilakukan adalah sosialisasi
kondom (upaya pembelajaran kepada masyarakat) sebagai alat untuk mencegah
penularan IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan
melalui hubungan seks, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) serta
HIV.
Terkait dengan ’100% kondom’ ini mengacu ke program di Thailand yang dikabarkan
berhasil menekan laju insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa yaitu
kewajiban memakai kondom pada hubungan seks berisiko tertular HIV. Hubungan
seks berisiko adalah hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah
yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang
sering berganti-ganti pasangan. Program ’100 persen kondom’ di Thailand
dilakukan di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
Namun, program ’wajib kondom 100 persen’ Thailand hanyalah ekor dari
rangkaian program penanggulangan yang komprehensif. Nah, Indonesia justru
mengekor ke ekor program. Inilah yang terjadi pada 30 peraturan daerah (perda)
penanggulangan HIV/AIDS di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Akibatnya,
terjadi pemahaman yang salah dan penolakan terhadap sosialisasi kondom sebagai
alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks berisiko.
Ada lagi pernyataan ”Namun kenyataannya kondomisasi ini tidak terbukti
mampu mencegah penyebaran HIV/AIDS. Di saat budaya kebebasan seks tumbuh subur,
ketaqwaan yang kian tipis (bahkan mungkin tidak ada), kultur yang kian
individualistis, kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang kian
menghimpit masyarakat dan maraknya industri prostitusi, kondomisasi jelas akan
membuat masyarakat semakin berani melakukan perzinahan apalagi dengan adanya
rasa aman semu yang ditanamkan dengan menggunakan kondom.” Walaupun sosialisasi
kondom gencar tapi banyak orang, di semua negara, yang enggan memakai kondom
pada hubungan seks berisiko dengan berbagai macam alasan. Selain itu kualitas
kondom, cara pemakaian dan konsistensi pemakaian juga menjadi faktor yang
mempengaruhi penyebaran HIV melalui hubungan seks yang berisiko.
Perihal kondom pun di Indonesia terjadi penyesatan karena ada informasi
yang tidak akurat. Dalam tulisan Faizatul Rosyidah juga ada pernyataan: ” ….
ternyata kondom sendiri terbukti tidak mampu mencegah transmisi HIV. Hal ini
karena kondom terbuat dari bahan dasar latex (karet), yakni senyawa hidrokarbon
dengan polimerisasi yang berarti mempunyai serat dan berpori-pori. Dengan
menggunakan mikroskop elektron, terlihat tiap pori berukuran 70 mikron, 26
yaitu 700 kali lebih besar dari ukuran HIV-1, yang hanya berdiameter 0,1
mikron.” Justru kondom yang terbuat dari lateks tidak mempunyai pori-pori.
Kondom yang berpori adalah kondom yang terbuat dari usus binatang yang tidak
ada di Indonesia. Sebagai virus, HIV tidak bisa melepaskan diri dari cairan
tempatnya hidup.
Ini juga pernyataan Faizatul Rosyidah ”Di AS, kampanye kondomisasi yang
dilaksanakan sejak tahun 1982 bahkan terbukti menjadi bumerang. Hal ini dikutip
oleh Hawari, D (2006) dari pernyataan H. Jaffe (1995), dari Pusat Pengendalian
Penyakit Amerika Serikat (US: CDC: United State Center of Diseases Control).
Evaluasi yang dilakukan pada tahun 1995 amat mengejutkan, karena ternyata
kematian akibat penyakit AIDS menjadi peringkat no 1 di AS, bukan lagi penyakit
jantung dan kanker. Selain itu, kondom memang dirancang hanya untuk mencegah
kehamilan, itupun dengan tingkat kegagalan mencapai 20%. Selain kondom untuk
pria, saat ini di Indonesia juga dipopulerkan kondom perempuan.” Biar pun
sosialiasi kondom gencar tapi tingkat pemakaian pada hubungan seks berisiko
tetap tidak bisa dikontrol karena terpulang kepada pilihan setiap orang: pakai
atau tidak pakai. Tidak pula dijelaskan apa penyebab kegagalan kondom sebagai
pencegah kehamilan.
Ini pernyataan Faizatul Rosyidah ”Sehingga, tidak heran setelah program
kondomisasi dijalankan kasus HIV/AIDS justru semakin meningkat pesat. Dengan demikian,
kondomisasi sama saja dengan penghancuran terselubung umat manusia.”
Peningkatan angka kasus HIV/AIDS yang terdeteksi terjadi karena kasus HIV/AIDS
direkapitulasi secara kumulatif. Kasus lama ditambah kasus baru begitu
seterusnya sehingga kasus HIV/AIDS akan terus bertambah atau meningkat.
Faizatul Rosyidah ‘menawarkan’ strategi jitu Islam menghadapi HIV/AIDS
melalui preventif dan kuratif. Solusi Islam sebagai preventif disebutkan al.
menghindarikan pacaran, perzinaan, seks menyimpang dan khamar. Kalau ditilik
dari aspek medis maka hal ini tidak ada kaitannya secara langsung dengan
penularan HIV. Lagi pula semua agama melarang hal-hal tersebut baik secara
eksplisit maupun implisit.
Sedangkan solusi kuratif secara Islam yang ditawarkan Faizatul Rosyidah
terhadap orang-orang yang terkena virus HIV/AIDS, adalah:
1. Orang yang tertular HIV/AIDS karena berzina maka jika dia sudah menikah
dihukum rajam. Sedangkan yang belum menikah dicambuk 100 kali dan selanjutnya
dikarantina.
2. Orang yang tertular HIV/AIDS karena Homoseks maka dihukum mati.
3. Orang yang tertular HIV/AIDS karena memakai Narkoba maka dicambuk
selanjutnya dikarantina.
4. Orang yang tertular HIV/AIDS karena efek spiral (tertular secara tidak
langsung) misalnya karena transfusi darah, tertular dari suaminya dan
sebagainya, maka orang tersebut dikarantina.
5. Penderita HIV/AIDS yang tidak karena melakukan maksiat dengan sangsi
hukuman mati, maka tugas negara adalah mengkarantina mereka.
Faizatul Rosyidah menyebutkan bahwa ”Karantina dalam arti memastikan tidak
terbuka peluang untuk terjadinya penularan harus dilakukan, terutama kepada
pasien terinfeksi fase AIDS. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang
artinya: “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menularkan kepada
yang sehat” (HR Bukhori). “Apabila kamu mendengar ada wabah di suatu
negeri, maka janganlah kamu memasukinya danapabila wabah itu berjangkit
sedangkan kamu berada dalam negeri itu, janganlah kamu keluar melarikan diri” (HR.
Ahmad, Bukhori,Muslim dan Nasa’i dari Abdurrahman bin ‘Auf).”
Lagi-lagi pemahaman Faizatul Rosyidah terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis
sangat rendah. Ini merupakan gambaran karena selama ini HIV/AIDS selalu dilihat
dari aspek norma, moral, dan agama sehingga menggelapkan mata (hati) terhadap
fakta medis tentang HIV/AIDS.
Pertama, HIV bukan wabah karena tidak menular secara massal
melalui udara, air dan pergaulan sosial. Penularan HIV hanya melalui cara-cara
yang sangat spesifik. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam
cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak
ada HIV), cairan vagian (perempuan) dan air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan
HIV melalui darah terjadi jika darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh
melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tattoo, jarum tindik, jarum
akupunktur, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh. Sedangkan penularan
HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi kalau air mani atau cairan vagina
masuk ke dalam tubuh melalui luka-luka mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan
mikroskop) pada hubungan seks, seks penetrasi, oral atau anal, di dalam atau di
luar nikah yang tidak memakai kondom. Penularan HIV melalui ASI terjadi jika
ASI yang mengandung HIV masuk ke tubuh melalui proses menyusui.
Kedua, perihal karantina yang disebutkan Faizatul Rosyidah
”Mengkarantina agar penyakit tersebut tidak menyebar luas ….”. Biar pun
orang-orang yang sudah terdeteksi HIV-positif dikarantina perlu diingat bahwa
di masyarakat jauh lebih banyak orang (laki-laki dan perempuan) yang sudah
tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Orang-orang inilah yang menjadi mata rantai
penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat. Sejauh ini orang-orang yang
terdeteksi HIV melalui tes HIV yang baku (dengan konseling sebelum dan sesudah
tes, informed consent, anonimitas dan konfidensial) selalu menyatakan
tidak akan menularkan HIV kepada orang lain.
Ada pula pernyataan ”Karena HIV-AIDS adalah penyakit yang tidak bisa
disembuhkan hingga saat ini …” Bukan hanya HIV/AIDS yang tidak bisa disembuhkan.
Ada beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan seperti darah tinggi,
diabetes, thalasemia, dll. Ada pula penyakit yang tidak ada obatnya, seperti
demam berdarah. Sampai sekarang belum ada obat yang bisa membunuh virus di
dalam tubuh manusia. Selain itu penemuan obat dan vaksin beberapa penyakit memerlukan waktu
puluhan sampai ratusan tahun. Sedangkan HIV baru disahkan oleh WHO tahun 1986.
Kritik yang disebut Faizatul Rosyidah dalam tulisannya sebagai ‘kritik
Islam’ terhadadap penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia lebih tepat disebut
sebagai ‘kritik Faizatul Rosyidah’ sebagai pribadi. Mengatasnamakan Islam tapi
tidak proporsional dan menyesatkan tentulah merugikan Islam sebagai agama.***
Menurut saya hiv aids adalah penyakit yang penanganannya harus melibatkan banyak pihak. Kalangan medis, pemerintah, dunia pendidikan, LSM dll.
BalasHapusMemberantas penyakit hiv aids bukan sekedar menyembuhkan penderita hiv aids dari sisi medis semata. Tapi lebih kompleks dari itu. Kita tidak akan tuntas memberantas penyakit ini jika hanya melihatnya dari satu perspektif saja.