01 Oktober 2013

Papua: Tidak Semua Orang Harus Menjalani Tes HIV


Oleh Syaiful W. Harahap
LSM ”InfoKespro” Jakarta

Jakarta (28 Agustus 2009) - Beberapa waktu yang lalu muncul wacana yaitu melakukan tes HIV dari rumah ke rumah di Papua. Anjuran ini kelihatan sederhana. Tapi, perlu diingat banyak aspek yang terkait dengan wacana itu. Bahkan, wacana itu sudah menimbulkan stigma (cap buruk) kepada penduduk Papua. Laporan terakhir menyebutkan sudah terdeteksi 3.434 kasus HIV/AIDS di Tanah Papua. Angka ini besar. Tapi, angka itu tidak menggambarkan perilaku penduduk Papua secara umum.

Angka itu tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya karena epidemi HIV terkait dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya. Tapi, bukan berarti kasus yang tidak terdeteksi harus dicari dengan cara melakukan tes HIV dari rumah ke rumah.

Usulan  itu mengesankan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS. Sikap itu hanyalah reaksi yang berlebihan karena panik melihat penyebaran HIV/AIDS. Cara-cara yang dianjurkan pun tidak lagi bernalar.  Hal ini terjadi karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, seks pranikah, jajan, selingkuh, waria, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu adau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-dua HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun hubungan seks mereka lakukan dengan berzina, melacur, jajan, selingkuh, dan homoseksual.

Seseorang dianjurkan memakai kondom ketika melakukan hubungan seks kalau dia melakukan hubungan seks yang berisiko tinggi tertular HIV, yaitu: (a) hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar nikah, (b) hubungan seks dengan seseroang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di dalam atau di luar nikah.

Kelatahan memasyarakatkan kondom tanpa acuan yang jelas yang terjadi di negeri ini bermula dari kabar bahwa Thailand berhasil menekan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui program “100 Persen Kondom” di lokalisasi pelacuran. Program itu tidak bisa dilakukan di Indonesia karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang resmi. Belakangan muncul aksi ‘membasmi’ semua tempat yang dianggap terkait dengan pelacuran. Ada anggapan dengan ‘membasmi’ tempat-tempat maksiat maka HIV/AIDS pun hilang. Ini salah besar karena praktek pelacuran terjadi setiap saat di sembarang tempat.

Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan pelacuran. Mengaitkan pelacuran dengan penularan HIV merupakan salah satu mitos yang menyesatkan masyarakat. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi, di dalam atau di luar nikah, kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks.

Lalu, bagaimana dengan tes HIV? Jika disimak dari aspek epidemi maka tidak ada keharusan bagi setiap orang untuk mejalani tes HIV karena tidak semua orang melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Maka, amat gegabah dan tidak bernalar kalau mewajibkan setiap orang atau sekelompok orang untuk menjalani tes HIV.

Soalnya, dalam tes HIV yang dicari dengan reagent ELISA adalah antibodi HIV. Antibodi ini baru bisa terdeteksi setelah HIV berada di dalam darah minimal tiga bulan. Jika tes dilakukan sebelum tiga bulan sejak tertular (disebut masa jendela) maka hasil tes bisa positif palsu (terdeteksi positif tapi dalam darahnya tidak ada antibodi HIV) atau negatif palsu (terdeteksi negative tapi dalam darahnya sudah ada antibody HIV). Untuk memperoleh hasil tentulah tes HIV harus diulang minimal setiap tiga bulan. Soalnya, tiap detik bisa terjadi perubahan status HIV seseorang, terutama orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV.

Tes HIV pada masa jendela bisa menimbulkan dampak yang buruk karena orang-orang yang terdeteksi positif (palsu) mengalama stigmatisasi dan diskriminasi padahal dalam darahnya tidak ada HIV. Sebaliknya, orang-orang yang terdeteksi negative (palsu) tapi dalam darahnya ada HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa disadari melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah serta homoseksual, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh, dan (d) air susu ibu/ASI.

Lalu, siapa saja, sih, yang dianjurkan untuk menjalani tes HIV secara sukarela?

Mereka adalah orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang dianjurkan untuk menjalani tes HIV adalah yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu:

(1) laki-laki dan perempuan yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah serta homoseksual dengan pasangan yang berganti-ganti,

(2) laki-laki dan perempuan yang pernah melakukan hubungan tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan,

(3) laki-laki dan perempuan yang pernah menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV,

(4) laki-laki dan perempuan yang pernah memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian, dan

(5) laki-laki dan perempuan yang pernah menerima cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV.

Hanya mereka itulah yang dianjurkan untuk menjalani tes HIV. Makin banyak penduduk yang terdeteksi HIV-positif maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV diputus sehingga kasus infeksi baru HIV bisa ditekan secara nyata.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.