Oleh Syaiful W. Harahap
LSM ”InfoKespro” Jakarta
Jakarta (28 Agustus 2009) - Beberapa waktu yang lalu muncul wacana yaitu melakukan tes HIV dari rumah
ke rumah di Papua. Anjuran ini kelihatan sederhana. Tapi, perlu diingat banyak
aspek yang terkait dengan wacana itu. Bahkan, wacana itu sudah menimbulkan
stigma (cap buruk) kepada penduduk Papua. Laporan terakhir menyebutkan sudah
terdeteksi 3.434 kasus HIV/AIDS di Tanah Papua. Angka ini besar. Tapi, angka
itu tidak menggambarkan perilaku penduduk Papua secara umum.
Angka itu tidak menggambarkan kasus yang
sebenarnya karena epidemi HIV terkait dengan fenomena gunung es. Kasus yang
terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya. Tapi, bukan berarti
kasus yang tidak terdeteksi harus dicari dengan cara melakukan tes HIV dari
rumah ke rumah.
Usulan itu mengesankan pemahaman
yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS. Sikap itu hanyalah reaksi yang berlebihan
karena panik melihat penyebaran HIV/AIDS. Cara-cara yang dianjurkan pun tidak
lagi bernalar. Hal ini terjadi karena selama ini materi KIE (komunikasi,
informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan
agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan
HIV dengan zina, pelacuran, seks pranikah, jajan, selingkuh, waria, dan
homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar
nikah (bisa) terjadi kalau salah satu adau kedua-dua pasangan itu HIV-positif
dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya,
kalau dua-dua HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun
hubungan seks mereka lakukan dengan berzina, melacur, jajan, selingkuh, dan
homoseksual.
Seseorang dianjurkan memakai kondom
ketika melakukan hubungan seks kalau dia melakukan hubungan seks yang berisiko
tinggi tertular HIV, yaitu: (a) hubungan seks dengan pasangan yang
berganti-ganti di dalam atau di luar nikah, (b) hubungan seks dengan seseroang
yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di dalam atau di luar nikah.
Kelatahan memasyarakatkan kondom tanpa
acuan yang jelas yang terjadi di negeri ini bermula dari kabar bahwa Thailand
berhasil menekan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui program “100
Persen Kondom” di lokalisasi pelacuran. Program itu tidak bisa dilakukan di
Indonesia karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang resmi. Belakangan muncul
aksi ‘membasmi’ semua tempat yang dianggap terkait dengan pelacuran. Ada anggapan dengan ‘membasmi’ tempat-tempat maksiat maka HIV/AIDS pun
hilang. Ini salah besar karena praktek pelacuran terjadi setiap saat di
sembarang tempat.
Tidak ada kaitan langsung antara
penularan HIV dengan pelacuran. Mengaitkan pelacuran dengan penularan HIV
merupakan salah satu mitos yang menyesatkan masyarakat. Penularan HIV melalui
hubungan seks bisa terjadi, di dalam atau di luar nikah, kalau salah satu atau
kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap
kali melakukan hubungan seks.
Lalu, bagaimana dengan tes HIV? Jika
disimak dari aspek epidemi maka tidak ada keharusan bagi setiap orang untuk
mejalani tes HIV karena tidak semua orang melakukan perilaku berisiko tinggi
tertular HIV. Maka, amat gegabah dan tidak bernalar kalau mewajibkan setiap
orang atau sekelompok orang untuk menjalani tes HIV.
Soalnya, dalam tes HIV yang dicari
dengan reagent ELISA adalah antibodi HIV. Antibodi ini baru bisa
terdeteksi setelah HIV berada di dalam darah minimal tiga bulan. Jika tes
dilakukan sebelum tiga bulan sejak tertular (disebut masa jendela) maka hasil
tes bisa positif palsu (terdeteksi positif tapi dalam darahnya tidak ada
antibodi HIV) atau negatif palsu (terdeteksi negative tapi dalam darahnya sudah
ada antibody HIV). Untuk memperoleh hasil tentulah tes HIV harus diulang
minimal setiap tiga bulan. Soalnya, tiap detik bisa terjadi perubahan status
HIV seseorang, terutama orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular
HIV.
Tes HIV pada masa jendela bisa
menimbulkan dampak yang buruk karena orang-orang yang terdeteksi positif
(palsu) mengalama stigmatisasi dan diskriminasi padahal dalam darahnya tidak
ada HIV. Sebaliknya, orang-orang yang terdeteksi negative (palsu) tapi dalam
darahnya ada HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal
antar penduduk tanpa disadari melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam
atau di luar nikah serta homoseksual, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik,
jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok
organ tubuh, dan (d) air susu ibu/ASI.
Lalu, siapa saja, sih, yang
dianjurkan untuk menjalani tes HIV secara sukarela?
Mereka adalah orang-orang (laki-laki
dan perempuan) yang dianjurkan untuk menjalani tes HIV adalah yang pernah
melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu:
(1) laki-laki dan perempuan yang pernah
melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah serta
homoseksual dengan pasangan yang berganti-ganti,
(2) laki-laki dan perempuan yang pernah
melakukan hubungan tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang
yang sering berganti-ganti pasangan,
(3) laki-laki dan perempuan yang pernah
menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV,
(4) laki-laki dan perempuan yang pernah
memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan
alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian, dan
(5) laki-laki dan perempuan yang pernah
menerima cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV.
Hanya mereka itulah yang dianjurkan
untuk menjalani tes HIV. Makin banyak penduduk yang terdeteksi HIV-positif maka
kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV diputus sehingga kasus infeksi baru
HIV bisa ditekan secara nyata.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.