Oleh Syaiful
W. Harahap
* Dimuat di Harian
”BERNAS”, Yogyakarta, Rubrik ”Wacana”, 29 November 2003
”BELUM
Dijumpai Kasus AIDS Di Bantul”. Ini judul berita di Harian Bernas edisi 14
September 2003. Kesimpulan ini tidak berlaku umum untuk wilayah Kabupaten
Bantul, DI Yogyakarta, karena tidak semua penduduk dites. Yang dilakukan hanya
survailans pada kalangan tertentu.
Melalui Hari
AIDS Sedunia 1 Desember 2003 masyarakat diajak agar tidak melakukan
stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan,
membeda-bedakan) terhadap orang_orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan
memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan
perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Dalam berita
itu dikutip pernyataan pejabat setempat yang mengatakan “Sejauh pengamatan
kami di Bantul sama sekali belum ditemukan atau dijumpai penyakit AIDS.”
Kesimpulan ini
sangat naif karena AIDS tidak bisa dilihat dengan mata telanjang karena tidak
ada gejala_gejala klinis yang khas AIDS. Mungkin benar tidak ada kasus AIDS
yaitu orang HIV_positif yang sudah mencapai masa AIDS yang ditandai dengan
penyakit_penyakit infeksi oportunistik. Tapi, kalau bicara tentang infeksi HIV
maka tidak bisa dipastikan apakah satu daerah, kota, wilayah atau negara “bebas
HIV/AIDS” karena penularan HIV tidak bisa dibendung dengan batas administratif
atau benteng.
***
SECARA nasional
kasus kumulatif HIV/AIDS sampai 30 September 2003 sudah tercatat 3.924
sedangkan secara global sampai akhir 2001 kasus HIV/AIDS tercatat 41 juta.
Kasus ini terdapat di semua negara. Beberapa tahun yang lalu ada beberapa
provinsi yang tidak melaporkan kasus HIV/AIDS, tapi kenyataannya ada penduduk
dari daerah itu yang HIV_positif di sebuah LSM yang menangani HIV/AIDS di
Jakarta. Hal ini sangat wajar karena di daerah belum ada tes HIV dengan
konseling dan kerahasiaan sehingga mereka memilih Jakarta. Lagi pula di
Jakarta ada beberapa LSM yang mendukung Odha.
Pernyataan aparat
Bantul itu bisa menjadi bumerang yang pada gilirannya menohok diri sendiri.
Soalnya, penularan HIV tidak hanya bisa terjadi di Bantul tapi bisa dialami
penduduk Bantul di luar Bantul karena seseorang berisiko tertular HIV jika yang
bersangkutan melakukan kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV.
Ada pun
kegiatan berisiko terhadap penularan HIV yaitu (1) melakukan hubungan seks
(sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di
luar nikah dengan pasangan yang berganti_ ganti; (2) melakukan hubungan seks
(sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di
luar nikah dengan seseorang yang suka berganti_ganti pasangan, seperti pekerja
seks; (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum
suntik dan semprit secara bersama_sama dengan bergiliran dan bergantian.
Jadi, terkait
dengan epidemi HIV yang menjadi kunci adalah “Apakah ada di antara penduduk
yang melakukan perilaku berisiko?” Jika ada yang menjawaban “ya” maka penduduk
tadi berisiko tertular HIV. Kalau yang bersangkutan tertular HIV dan hal itu
tidak disadarinya karena tidak ada gejala klinis yang khas maka penduduk tadi
menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal.
Jika dia sudah
beristri maka kalau istrinya tertular akan terjadi pula penularan vertikal dari
ibu ke bayi. Bagi yang belum beristri maka orang tersebut akan menularkannya
kepada pasangan seksnya atau kepada pekerja seks.
***
SURVAILANS tes
HIV terhadap pekerja seks, pramuria panti pijat, dll tidak banyak artinya bagi
upaya memutus mata rantai penyebaran HIV karena yang mempunyai potensi besar
untuk menyebarkan HIV justru penduduk yang tidak terjamah survailans, terutama
pelanggan pekerja seks. Survailans sendiri hanyalah “alat” untuk memperoleh
gambaran perbandingan antara yang HIV_negatif dan HIV_positif pada kalangan
tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula. Jadi, hasil survailans tes
pada hari ini akan berbeda dengan hasil survailans besok. Begitu seterusnya.
Ada salah
kaprah tentang survailans. Kalau ada pekerja seks yang terdeteksi melalui
survailans maka ada anggapan persoalan sudah selesai karena, maaf, “biangnya”
sudah diketahui. Anggapan ini salah besar karena yang menjadi persoalan justru
penduduk yang menjadi pelanggan pekerja seks yang terdeteksi HIV_positif tadi.
Kalau ada penduduk yang melakukan kegiatan berisiko dengan pekerja seks tadi
maka sudah ada kemungkinan tertular. Biar pun tidak ada gejala klinis tapi
penduduk tadi sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalui
hubungan seksual yang tidak aman (tidak pakai kondom).
Yang
bersangkutan memang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada
gejala klinis yang khas. Jika pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif tadi
melayani dua laki_laki setiap malam sebelum terdeteksi maka setiap bulan ada 40
laki-laki yang melakukan kegiatan berisiko.
Probabilitas
(kemungkinan) tertular melalui hubungan seksual yang tidak aman memang kecil
(di bawah satu persen), tapi karena sering dilakukan maka kemungkinan tertular
pun besar pula. Monitoring PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubungan
seksual yang tidak aman, seperti GO, sifilis, dll) di Puskesmas dapat menjadi
ajang pemantauan epidemi HIV.
Dengan
konseling yang benar penduduk yang terdeteksi tertular PMS dianjurkan untuk
menjalani tes HIV sukarela dengan konseling. Yang perlu diingat adalah tes HIV
dilakukan setelah yang bersangkutan memberikan informed consent
(pernyataan kesediaan setelah ybs. benar_benar memahami HIV/AIDS) dan tes
dilakukan secara anonim.
Di Malaysia
perempuan hamil dianjurkan untuk menjalani tes HIV. Hal ini sangat bermanfaat
karena kalau seorang perempuan terdeteksi HIV_positif maka penanganan medis
bisa menekan penularan vertikal dari ibu ke bayi. Melalui cara ini dapat pula
diketahui bahwa suami perempuan itu sudah tertular HIV.
Deteksi dini
kasus infeksi HIV, misalnya melalui tes sukarela dengan konseling dan asas
anonimitas, dapat memutus mata rantai penyebaran HIV karena melalui konseling
yang komprehensif ybs dianjurkan agar tidak melakukan kegiatan yang berisiko
tinggi tertular HIV. ***
Syaiful W
Harahap, Direktur Eksekutif LSM InfoKespro (bergerak dalam bidang
selisik media berita HIV/AIDS di media massa nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.