Berita “Melawan Setan dengan
Setan“ yang dimuat Majalah “TEMPO” edisi 23 Mei 2004 di rubrik “Kesehatan”
kembali membawa kita ke alam mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Coba saja simak bagian dalam
berita itu yang menyebutkan “Dulu, penularan HIV/AIDS lebih banyak melalui
perilaku seks menyimpang”. Ini jelas menyesatkan dan merupakan mitos karena
penularan HIV/AIDS tidak ada kaitannya secara langsung dengan sifat hubungan
seks (menyimpang, zina, pelacuran, dll.). Lagi pula, apa, sih, yang
disebut sebagia ’seks menyimpang’ itu?
Penularan HIV melalui hubungan
seks (bisa) terjadi jika salah satu dari pasangan itu HIV-positif. Ini fakta
medis. Jadi, apa pun sifat hubungan seksnya, zina, menyimpang, selingkuh,
selir, kumpul kebo, homoseksual, dll. ada kemungkinan terjadi penularan jika
salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan hubungan seks dilakukan tanpa
menggunakan kondom. Sebaliknya, kalau keduanya HIV-negatif apa pun sifat
hubungan seks yang mereka lakukan tidak akan pernah terjadi penularan HIV.
Dalam ikatan pernikahan yang sah pun ada kemungkinan penularan HIV jika salah
satu HIV-positif jika hubungan seks dilakukan tanpa kondom.
Kalau pun belakangan ini data
menunjukkan kasus HIV/AIDS banyak dideteksi di kalangan pengguna narkoba (maaf,
yang tepat narkoba yaitu narkotik dan bahan-bahan berbahaya bukan napza karena
tidak semua zat adiktif termasuk narkotik, seperti kopi dan teh) hal itu
terjadi karena pengguna narkoba diwajibkan menjalani tes HIV ketika hendak
masuk ke pusat rehabilitasi.
Sedangkan orang-orang yang
tertular melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) tidak
terdeteksi sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun) karena tidak ada gejala-gejala
yang khas sebelum masa AIDS. Tapi, perlu diingat biar pun belum mencapai masa
AIDS orang-orang yang HIV-positif sudah bisa menularkan HIV melalui kegiatan
yang berisiko tinggi (melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pasangan yang
berganti-ganti di dalam dan di luar nikah).
Angka yang disebutkan merupakan
jumlah resmi yang dilaporkan Departemen Kesehatan. Perlu diingat angka ini
tidak realistis karena tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Hal ini
terjadi karena tidak ada survailans tes HIV (tes untuk mengetahui perbandingan
antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan dan pada kurun waktu
tertentu) yang sistematis dan konsisten. Malaysia, misalnya, sudah menjalankan
survailans tes HIV secara sistematis, seperti terhadap pasien klinik PMS,
pengguna narkoba suntikan (injecting drug user/IDUs), wanita hamil, polisi,
narapidana, dan pasien TB secara rutin sehingga angkanya pun mendekati angka
yang sebenarnya.
Jika kita mengabaikan penularan
melalui hubungan seks yang tidak aman maka kasus infeksi HIV di kalangan yang
berperilaku berisiko tinggi (laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan
seks tanpa kondom dengan pasangan yang bergnati-ganti di dalam dan di luar
nikah) akan menjadi bom waktu. Soalnya, berbagai survailans tes HIV terhadap
pekerja seks komersial (PSK) menunjukkan ada PSK yang HIV-positif sehingga
laki-laki yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi
tertular HIV. Jika ada yang tertular maka mereka akan menjadi mata rantai
penyebaran HIV secara horizontal.
Jika ‘bom waktu’ itu meledak,
maka bencana pun akan mendera bangsa yang dirundung malang ini. ***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.