Berita “Bendung HIV/AIDS Perda
Pelacuran Diberlakukan” di “Pakuan Raya“, Bogor, edisi 29 Juni 2006
menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak komprehensif.
Pertama, judul berita itu sendiri tidak akurat karena tidak ada
kaitan langsung antara pelacuran dengan penularan HIV. Sebagai virus HIV (bisa)
menular melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, kalau salah astu
atau kedua-kedua dari satu pasangan yang melakukan hubungan seks mengidap HIV
(HIV-positif). Kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi
penularan HIV biar pun mereka melakukan hubungan seks dengan melacur, berzina,
selingkuh, jajan, seks bebas, seks anal, seks oral atau homoseksual.
Kedua, dalam berita disebutkan ” …. membendung penularan virus
HIV/AIDS yang dilakukan Pekerja Seks Komersial (PSK)”. Ini juga tidak akurat
karena yang pertama sekali menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang di
masyarakat bisa sebagai seorang suami, remaja, perjaka atau duda dari semua
lapisan sosial dan ekonomi. Maka, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV adalah
laki-laki bukan PSK. Pernyataan ini juga bias gender karena hanya memojokkan
PSK (baca: perempuan).
Ketiga, biar pun di Tangerang tidak ada pelacur hal ini tidak
menjamin semua penduduk Tangerang `bebas AIDS’ karena bisa saja penduduk
Tangerang tertular di luar Tangerang atau di luar negeri. Kalau ada penduduk
Tangerang yang tertular di luar Tangerang maka dia akan menjadi mata rantai
penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa disadarinya. Bagi yang
beristri akan menularkan HIV kepada istrinya atau perempuan lain yang menjadi
pasangan seksnya atau pekerja seks. Yang tidak beristri akan menularkan HIV
kepada pasangan seksnya atau pekerja seks.
Hal ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas
AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS
(antara 5 – 10 tahun setelah tertular). Nah, pada kurun waktu itulah banyak
orang yang menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa disadari. Di Arab Saudi
tidak ada pelacuran, tapi sudah dilaporkan lebih dari 9.000 kasus dan ada 84
anak yang dirawat di rumah sakit terkait AIDS (kliping berita terlampir).
Keempat, disebutkan pula “Langkah ini penting demi membebaskan
kota Tangerang dari penyebaran virus mematikan HIV/AIDS yang ditularkan melalui
praktek pelacuran”. Pernyataan ini tidak akurat karena penularan HIV tidak
hanya melalui pelacuran. Tidak ada kota, daerah atau negara yang bisa
dibebaskan dari HIV/AIDS hanya dengan menghapuskan pelacuran karena penularan
HIV juga terjadi melalui hubungan seks dalam ikatan pernikahan yang sah, jarum
suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat keseahtan,
transfusi darah, cangkok organ tubuh dan air susu ibu (ASI). HIV/AIDS tidak
mematikan karena kematian orang yang tertular HIV akibat dari penyakit lain
yang disebut infeksi oportunistik.
Upaya Pemkot Tangerang untuk `membersihkan pelacuran’ langkah terpuji, tapi
perlu diingat bahwa `praktek pelacuran’ tidak hanya terjadi di jalan raya atau
di lokalisasi. `Praktek pelacuran’ bisa saja terjadi di hotel berbintang, rumah
mewah, perumahan penduduk, apartemen, taman, dll. Selain itu mengapa hanya
perempuan (PSK) yang menjadi sasaran? Bukankah pelacuran terjadi karena
laki-laki?
Kelima, pemuatan gambar merupakan perbuatan yang melawaan hukum
dan pelanggaran berat terhadap HAM jika tidak ada izin dari yang bersangkutan.
Selain itu apakah sudah ada kepastian hukum berupa vonis hakim tentang
perempuan yang fotonya dimuat? Kalua belum ada tentulah ini pelanggaran kode
etik jurnalistik.
Di kawasan Afrika, Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia penemuan kasus
infeksi HIV baru di kalangan dewasa sudah mulai menunjukkan grafik yang
mendatar sejak akhir tahun 1990-an. Sebaliknya, di kawasan Asia Pasifik justru
kasus baru meningkat bagaikan roket.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Penduduk di kawasan Afrika, Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia sudah
mengetahui cara-cara pencegahan yang akurat dan realistis. Sedangkan di kawasan
Asia Pasifik yang terjadi adalah penyangkalan terhadap cara-cara penularan dan
pencegahan HIV yang realistis serta `debat kusir’ soal kondom.
Kalau Indonesia tidak mengedepankan fakta medis dalam materi KIE
(komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS maka yang muncul hanya
mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Akibatnya, penduduk lalai
melindungi diri sehingga mereka berisiko tinggi tertular HIV. Pada gilirannya
epidemi HIV di Indonesia akan menjadi `bom waktu’ yang kalau meledak akan menjadi beban berat bagi bangsa
ini.
Maka, upaya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV adalah meningkatan
penyuluhan dengan materi KIE yang akurat yang mengedepankan HIV/AIDS sebagai
fakta medis sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi
kedokteran. Salah satu sasarannya adalah meningkatkan kesadaran penduduk
(laki-laki atau perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau
di luar nikah, tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti untuk menjalani
tes HIV secara sukarela.
Dengan mengetahui status HIV maka yang bersangkutan dapat diminta agar
memutus mata rantai penyebaran HIV. Bagi yang beristri diminta agar selalu
memakai kondom jika sanggama. Semakin banyak kasus yang terdeteksi maka makin
banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus.***
Syaiful W. Harahap
LSM (media watch) “InfoKespro“, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.