Catatan: Naskah ini ditulis tahun
2002 yang menggambarkan kondisi tahun 2002. Naskah ini diharapkan bisa
dijadikan sebagai perbandingan terkait dengan pandangan terhadap HIV/AIDS.
Redaksi.
Oleh Syaiful W. Harahap*
Jakarta, 29/3-2002. Agaknya, walaupun informasi yang objektif dan akurat seputar HIV/AIDS sudah banjir tetapi kalangan LSM dan pakar medis di Surabaya masih ketinggalan kereta. Itulah yang tercermin pada berita “Ketika Masyarakat Mulai Peduli” di Harian "Jawa Pos" (29 Maret 2002).
Dalam konteks HIV/AIDS seseorang dapat melindungi dirinya secara aktif agar tidak tertular HIV yaitu dengan menghindarkan diri melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi media penularan HIV yaitu (1) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), homoseks (laki-laki dengan laki-laki), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang HIV-positif di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (2) menerima transfusi darah yang tercemar HIV, dan (3) memakai jarum suntik dan semprit yang tercemar HIV.
Persoalannya adalah kita tidak bisa mengetahui apakah seseorang HIV-positif atau HIV-negatif karena tidak ada gejala-gejala fisik yang khas. Untuk itulah seseorang dianjurkan agar menghindarkan diri dari perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Perilaku berisiko tinggi yaitu (1) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki dengan perempan), homoseks (laki-laki dengan laki-laki), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki dengan perempan), homoseks (laki-laki dengan laki-laki), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.
Berbeda dengan epidemi TB, kita tidak dapat secara aktif melindungi diri. Misalnya, jika ada penumpang pesawat terbang yang TB-nya sedang aktif maka akan terjadi penularan terhadap penumpang lain. Begitu pula dengan flu, hepatitis A, diare, dll. Maka, jika bertolak dari pernyataan “Deklarasi Masyarakat Peduli AIDS” maka semua penduduk yang mengidap penyakit harus dibeberkan identitasnya agar diketahui orang lain sehingga merek apun dapat pula menjaga diri.
“Salah satu bukti ketidakadilan itu, berupa tes darah dengan sistem identitas tak dikenal yang sampai saat ini masih dilakukan. Akibatnya, masyarakat tidak bisa mengetahui, siapa di antara mereka yang mengidap virus HIV/AIDS.” Pernyataan ini pun jelas tidak akurat karena semua hasil tes laboratorium bersifat rahasia. Bukan hanya hasil tes HIV tetapi semua hasil tes rahasia. Buktinya, hasil tes dari laboratorium selalu dimasukkan ke dalam amplop tertutup dan ditujukan langsung kepada dokter yang memberikan pengantar tes ke laboratorium.
Hasil tes laboratorium bersifat rahasia karena terkait dengan banyak aspek, terutama stigmatisasi dan diskriminasi. Jika ini terjadi hanya karena pembeberan hasil tes tentulah hal itu sudah merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Jangkan hasil tes HIV, hasil tes hepatitis atau sifilis pun akan menimbulkan dampak. Jadi, lagi-lagi kalau mau konsisten dan konsekuen maka semua hasil tes laboratorium semua jenis penyakit pun harus dibeberkan kepada masyarakat.
Dalam tes HIV ada kemungkinan positif palsu dan negatif palsu. Jadi, kalau ada pekerja seks, waria, dll. yang diidentifikasi HIV-positif melalui tes surveilans HIV maka hasil itu tidak bisa dijadikan patokan karena bisa positif palsu. Untuk memastikan hasil tes tersebut contoh darah yang sama harus dikonfirmasi dengan tes lain, seperti Western blot.
“ …. selama ini penanganan HIV/AIDS terkesan tidak adil. Lantaran lebih condong melindungi mereka yang mengidap HIV/AIDS”. Pernyataan ini pun ngawur karena yang terjadi adalah pemberdayaan terhadap Orang dengan HIV/AIDS (Odha) karena mereka mengalami stigmatisasi dan diskriminasi.
Pada bagian lain disebutkan pula "Kita tidak bisa seperti ini selamanya. Apalagi, metode surveilans (pengamatan dengan disertai tindakan untuk mencegah peningkatan atau mempertahankan jumlah pengidap HIV/AIDS, Red.) yang selama ini kita anggap paling tepat untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini ternyata tidak efektif. Bukannya turun atau tetap, jumlah pengidap dari tahun ke tahun terus meningkat." Pernyataan ini pun jelas tidak akurat karena surveilans adalah salah satu cara untuk mengetahui prevalensi penyakit tertentu pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu pula. Prevalensi dipakai sebagai patokan untuk langkah-langkah yang terkait dengan pencegahan, pengobatan, dll.
“Tak hanya hak pengidap HIV/AIDS yang perlu dilindungi, hak orang sehat pun perlu diperhatikan.” Apa hak orang sehat? Menghujat, menstigma atau mendiskriminasi Odha? “Itu sebabnya, lewat forum Masyarakat Peduli AIDS, Sustini mendesak agar segera diambil langkah untuk melindungi mereka yang sehat ini.” Setiap orang dapat melindungi dirinya secara aktif yaitu dengan menghindarkan diri dari perilaku berisiko. Ini fakta. Lalu, bagaimana sikap forum ini terhadap risiko orang sehat tertular flu atau TB? Kalau ingin konsekuen dan konsisten setiap orang berhak pula agar tidak tertular penyakit menular bahkan penyakit yang diturunkan secara genetika.
“Kini, pengidap HIV/AIDS yang kedapatan menularkan penyakitnya kepada orang lain dituntut dengan ancaman penjara puluhan tahun. Kemudian, para napi yang hendak masuk penjara diwajibkan mengikuti tes darah. Begitu pula perempuan yang hendak melahirkan bayinya.” Di mana pun perbuatan yang melawan hukum jelas bisa dituntut. Begitu pula dengan di Indonesia. Dalam kaitan ini ada fakta yang hilang: Bagaimana bisa dibuktikan seseorang menularkan HIV kepada orang lain? Yang dipersoalkan adalah penularan HIV melalui kekerasan seks, seperti perkosaan. Artinya, jika seseorang mengalami kekerasan seks dan kemudian terbukti dia tertular HIV maka pelakunya dapat dijerat dengan hukum kalau memang pelaku kekerasan seks itu HIV-positif.
Biar pun napi diwajibkan tes darah tetapi tes HIV dilakukan dengan standar
prosedur operasi yang baku yaitu setelah menerima konseling sebelum tes dan
yang bersangkutan menyatakan kesediaannya secara tertulis (informed consent)
yang menunjukkan yang bersangkutan sudah memahami semua hal yang terkait dengan
HIV/AIDS. Apakah hal ini dilakukan di LP kita? Wallohuaklam.
Sedangkan tes HIV terhadap wanita hamil dimaksudkan untuk menyelamatkan anaknya agar tidak tertular HIV ketika persalinan. Di Malaysia pun wanita hamil menjadi sasaran surveilans rutin. Surveilans di kalangan wanita hamil ini pun dapat memberikan gambaran epidemi HIV di populasi pada kalangan yang berisiko rendah. Angka-angka itu memberikan gambaran prevalensi di kalangan laki-laki beristri.
"Bahkan di New York, para dokter harus melaporkan nama pengidap HIV/AIDS yang ditanganinya kepada pemerintah. Selanjutnya, pemerintah yang melakukan intervensi." Busyet. Jauh amat ke NY. Di Indonesia pun ada aturan ini. Tetapi, banyak dokter dan rumah sakit yang enggan melaporkannya karena berbagai alasan. Hal inilah yang membuat angka kasus kumulatif HIV/AIDS sangat kecil.
Jika dibandingkan dengan Malaysia angka kasus kumulatif kita seakan-akan tidak realistis. Sampai penghujung tahun 1999 saja di Malaysia sudah dilaporkan 31.126 kasus HIV/AIDS ke Departemen Kesehatan yang terdiri atas 25.796 HIV, 3.003 AIDS dan 2.327 meninggal. Bandingkan dengan Indonesia yang sampai 31 Desember 2001 angkanya baru mencapai 2.575 yang terdiri atas 1.904 HIV dan 671 AIDS (jumlah kasus ini sudah termasuk orang asing yang dites positif di Indonesia, seperti nelayan, dll.).
"Bila perlu mendesak perubahan ketentuan perundang-undangan yang kontraproduktif dengan upaya penanggulangan dan pencegahan penyakit ini.” Untuk mencegah penularan HIV tidak diperlukan UU karena dapat dilakukan dengan cara-cara yang sangat realistis yaitu dengan menghindarkan diri dari perilaku berisiko tinggi tertular HIV.***
* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.