03 September 2013

Catatan Sosial Menggugat (rencana) tes HIV (massal) terhadap pelajar di Sulut






Oleh Syaiful W. Harahap*

Catatan: Naskah ini dimuat di Harian “Swara Kita” Manado di halaman 1 edisi Senin, 2 September 2013.

Pelajar Sulawesi Utara Bakal Dites HIV/AIDS”. Ini adalah judul berita di salah satu media Ibukota (30/8-2013).

Judul berita tsb. sangat provokatif dan sensasional, tapi sekaligus juga naif.

Pertama, jika semua pelajar di Sulut menjadi tes  HIV, maka langkah itu sudah menyamaratakan perilaku semua pelajar.

Kedua, tidak semua orang, dalam hal ini pelajar, di Sulut harus menjalani tes HIV karena tidak semua pelajar melakukan perilaku berisiko tertular HIV, al. Melakukan hubungan seksual dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) baik PSK langsung (mangkal di tempat-tempat pelacuran) dan PSK tidak langsung (cewek pub, cewek disko, ’ABG’, ’mahasiswi’, cewek pemijat, dll.).

Intervensi Perilaku

Ketiga, terkait dengan jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada pelajar tidak dirinci berdasarkan faktor risiko atau kemungkinan cara penularan. Soalnya, banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).

Lagi pula tes HIV bukan vaksin sehingga biar pun sudah menjalani tes HIV dan hasilnya negatif itu bukan jaminan bahwa pelajar yang sudah tes HIV tidak akan pernah lagi tertular HIV. Bisa saja mereka melakukan perilaku berisiko setelah tes HIV.

Dalam berita disebutkan bahwa Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Utara, Harold Monareh, tes HIV terhadap pelajar untuk mengantisipasi peningkatan jumlah pengidap HIV/AIDS, terutama di kalangan anak muda.

Jika ditilik dari pernyataan Manoreh tsb., maka itu menunjukkan Manoreh tidak memahami HIV/AIDS secara benar.

Tes HIV adalah untuk mendeteksi orang-orang yang sudah tertular HIV. Maka, tes HIV bagi pelajar akan menambah jumlah pelajar yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Sulut sampai Oktober 2012 disebutkan 1.603. Dari jumlah ini ada 33 mengidap HIV/AIDS sejak remaja.

Maka, patut dipertanyakan:

(1) Apakah 33 remaja itu tertular HIV di masa remaja?

(2) Apakah 33 remaja itu tertular HIV dari ibu yang mengandung mereka (penularan vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya)?

Jawaban dari dua pertanyaan di atas akan menguji apakah langkah yang akan dilakukan Dinas Pendidikan Sulut itu masuk akal atau tidak.

Celakanya, berdasarkan kasus HIV/AIDS pada remaja itu dikatakan bahwa “ .... pemerintah akan melakukan tes darah. Uji darah itu rencananya dilakukan ke remaja usia sekolah. Bahkan, hal ini akan menjadi rencana prioritas dari Dinas Pendidikan.“

Kalau saja Kadis Pendidikan Sulut memahami epidemi HIV secara akurat, maka yang perlu dilakukan adalah intervensi yaitu program yang konkret tentang cara-cara melindungi diri agar tidak tertular HIV. Ini dilakukan agar tidak ada pelajar yang tertular HIV (Lihat Gambar).

Intervensi adalah memberikan pemahaman kepada pelajar tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat sehingga mereka bisa melindungi diri agar tidak tertular HIV.

Apakah selama ini Dinas Pendidikan Sulut memberikan informasi tentang cara-cara pencegahan yang akurat kepada pelajar?

Kalau jawabannya tidak, maka jika ada pelajar yang tertular HIV/AIDS itu merupakan kesalahan dinas pendidikan karena pelajar tidak dibekali dengan pengetahuan tentang cara-cara mencegah HIV.

Tes HIV Guru

Tes HIV kepada pelajar bisa berdampak buruk karena jika tes HIV dengan reagent ELISA pada masa jendela, maka hasil tes bisa positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes reaktif) atau negatif palsu (HIV adaa di dalam darah tapi tidak terdeteksi sehingga hasil tes nonreaktif).

Di sisi lain pelajar yang tidak terdeteksi mengidap HIV atau lolos dari tes HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV dan kelak akan sampai pada masa AIDS. Ini akan jadi beban bagi Pemprov Sulut karena di masa AIDS mereka akan memerlukan pengobatan dan bisa jadi harus dirawat di rumah sakit.

Dikabarkan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara, Maxi Rondonuwu, dikabarkan justru mendukung rencana tes HIV terhadap pelajar karena diperlukan untuk mengetahui penyebaran HIV/AIDS di tingkatan remaja bisa terdeteksi.

Tes HIV terhadap pelajar merupakan tindakan diskriminasi karena fakta menunjukkan di Sulut penyebaran HIV justru dilakukan oleh laki-laki dewasa dengan bukti kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga.

Diskriminasi adalah perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).

Agar tes HIV tidak diskriminatif, maka sasaran tes HIV masalah bukan hanya pelajar tapi laki-laki dewasa. Bisa dilakukan terhadap pengawai negeri sipil/PNS, karyaan perusahaan swasta, tentara, polisi, nelayan, sopir angkutan umum, mahasiswa, dll.

Agar tes HIV adil, selain pelajar guru-guru dan pegawai di lingkunan Dinas Pendidikan provinsi, kabupaten dan kota di Sulut juga wajib ikut tes HIV karena disebutkan bahwa tes HIV akan dilakukan di semua sekolah di Sulut (*Syaiful W. Harahap adalah Koresponden Khusus Kesehatan Harian ”Swara Kita” di Jakarta).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.