“Ah, ini bukan bayi, tapi
penyakit!” Itulah kata-kata yang diucapkan oleh dokter di sebuah Puskesmas (di
Kab Karawang, Jabar-pen.) sambil meraba-raba perut Cici (bukan
nama sebenarnya), ketika itu berumur 23 tahun, seorang wanita
HIV-positif di sebuah desa di Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
“Rasanya ingin mati saja,” kata
Cici(1) kepada “Mutiara” Rabu (28/5-1997) di rumahnya sambil
membayangkan peristiwa yang dialaminya ketika ia hamil depalan bulan, Juni
1996. Cici sendiri datang ke Puskesmas di kampungnya itu karena janin yang
dikandungnya bergerak-gerak.
Rupanya sampai sekarang sejak ia
pulang dari Riau (Oktober 1993) Cici tetap dirundung malang (Cici sudah meninggal tahun 2000,
meninggalkan seorang putri yang juga HIV-positif). Dalam suatu tes tanpa asas
konfidensialitas (nama yang yang mengikuti tes tidak dirahasiakan dan tanpa
prosedur konseling pra dan pasca tes) di kalangan wanita berisiko tinggi di
wilayah Kepulauan Riau, Cici dan dua wanita lain yang juga asal Kabupaten
Karawang dinyatakan positif mengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus),
virus penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome, suatu sindrom
penurunan kekebalan tubuh sehingga mudah diserang berbagai macam penyakit).
Diramaikan Media Massa
Berita hasil tes HIV Cici dan
pemulangannya dari Riau ke kampung halamannya pun meramaikan halaman
surat-surat kabar nasional dan televisi swasta nasional yang bersumber dari
seroang dokter kepala sebuah Puskesmas di Kabupaten Karawang berdasarkan radiogram
yang dikirimkan Dinas Kesehatan Riau.
Berita-berita itu dinilai Cici
tidak objektif, karena menurut Cici, ia tidak pernah diwawancarai wartawan. Di
samping itu ketika media cetak yang memuat berita tersebut beredar dan tatkala
televisi menyiarkan beritanya, ia masih di Riau. Makanya, ketika Mutiara
mewawancarainya (April 1994) ia pun mengeluh atas pemberitaan tentang dirinya (“Mutiara”,
No 709/Mei 1994). Berita itu membuat penduduk di sekitar rumahnya mencibir dan
melihatnya sebagai sumber malapetaka.
Judul berita-berita itu sendiri
amat menohok karena menyebutnya sebagai penderita AIDS. Padahal, saat itu Cici
baru pada tahap seropositif, artinya baru terinfeksi HIV, belum sampai pada
tahap AIDS sehingga tidak ada tanda-tanda khusus pada dirinya.
Tapi, karena pengetahuan
masyarakat dan aparat pemda setempat yang amat dangkal tentang HIV/AIDS dan
pemberitaan yang tidak objektif itu, penduduk pun tetap melihatnya sebagai
sumber bencana sehingga penduduk memilih untuk tidak bersahabat dengannya. Soalnya,
karena informasi tentang HIV/AIDS yang tidak objektif membuat banyak orang
ketakutan.
Padahal, virus AIDS hanya bisa
tertular melalui hubungan seksual (homoseksual dan heteroseksual) yang tidak
aman, melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, dan melalui pemakaian
alat-alat suntik bersama yang sudah terkontaminasi HIV, serta ibu yang positif
HIV kepada bayi yang dikandungnya. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan untuk
mengucilkan Cici.
Dimusuhi
Cici sendiri bersedia pulang dari
Riau, setelah dinyatakan positif HIV, karena ia ingin melihat anaknya yang
ditinggalkannya sejak ia diajak seorang wanita dari Cikampek ke Riau dengan
janji dipekerjakan di restoran dengan upah Rp 400.000 sebulan. Ketika itu
(1992) Cici terpaksa mengikuti ajakan wanita itu karena ia mengaku amat bingung
mencari nafkah utnuk anaknya, yang ketika itu berumur tiga tahun, setelah
bercerai. Waktu itu ia dan anaknya tinggal bersama ibunya, yang juga janda,
serta kakek dan neneknya yang berumur 60-an tahun.
Cici hanya bisa mengurut dada
menghadapi perlakuan penduduk dan aparat pemerintah, mulai dari tingkat desa
sampai provinsi. Bahkan ketika ia sampai di kampugnya petugas dari Dinas
Kesehatan setempat memaksanya, dengan bantuan tenaga Muspika setempat, untuk
memeriksakan darah di Puskesmas. Semula Cici menolak karena ia hanya mau
diperiksa di “Citpo” (maksudnya RSCM-Red.), tapi karena ptugas yang mengambil
darahnya ketika itu mengaku dari “Cipto” Cici pun bersedia diambil darahnya.
Namun, pengambilan darah itu jelas melanggar hak asasi manusia (HAM) karena
mengabaikan asas konfidensialitas. Seharusnya ada konseling prates dan yang
mengetahuinya hanya dokter atau konselornya dan Cici sendiri. Tapi, yang
terjadi justru orang sekampung mengetahui persoalan yang dihadapi Cici ketika
digiring ke Puskesmas.
“Seharusnya ‘kan tidak boleh
disebarluaskan,” kata Cici tentang kondisi kesehatannya. Memang, secara etis
dan hukum catatan medis (medical record) seseorang tidak boleh
disebarluaskan. Namun, perlakuan yang dialami Cici justru sangat tidak etis
karena aparat pemerintah dan pihak Puskesmas setempat sudah menciptakan suatu
kondisi yang memojokkan Cici. Kalau aparat dan Puskesmas lebih arif, tentulah
Cici tidak akan menghadapi masalah sosial dalam pergaulannya sehari-hari karena
hubungan sosial bukan merupakan media penularan HIV.
Dinikahi WN Singapura
Di Riau sendiri, seperti
diakuinya, ia sudah menjalin cinta dengan seorang lelaki Cina, 50-an tahun,
warga negara Singapura. Makanya, ketika ia dipulangkan, lelaki itu tetap
memburunya. Pada tahun 1994-1995 Cici empat kali diboyong lelaki itu ke
Singapura dengan pesawat terbang dari Bandara Soekarno-Hatta. Saat itulah,
menurut pengakuan Cici, mereka menikah. “Kami menikah di KUA (Kantor Urusan
Agama-Red.) di Jakarta,” katanya sambil menyuapi putrinya yang lahir persis
pada acara pembukaan Olimpiade Atlanta 1996.
Setelah diperiksa di Puskesmas
ketika ia hamil delapan bulan itu
rupanya dokter itu masih penasaran karena di catatan mereka, tampaknya,
nama Cici tercantum sebagai “kasus”. Makanya, dokter itu pun membawa Cici ke
rumahnya dan menginterogasinya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dokter itu,
seperti dikemukakan Cici, mengarah ke perilaku seksualnya. Cici sendiri mengaku
jengkel menerima perlakuan-perlakuan itu karena kehamilannya itu bisa
dipertanggungjawabkannya, “Bayi ini ada ayahnya,” kata Cici sambil
mengelus-elus perutnya yang buncit ketika itu. Makanya, Cici amat kecewa dan
marah ketika perutnya mual-mual dan ingin muntah setelah memakan obat dari
Puskesmas tatkala ia hamil.
Pihak Puskesmas setempat akhirnya
membawanya ke RSCM. Setelah diperiksa Cici dibawa ke Yayasan Pelita Ilmu (YPI),
sebuah LSM yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta. Selama
menunggu persalinan, Cici tinggal di sanggar YPI dan ditangani dokter-dokter
yang memang pakar HIV/AIDS, seperti dr. Zubairi Djoerban, DSPD, dan dr.
Samsuridjal Djauzi, DSPD. Persalinan Cici sendiri ditangani dr. Siti Dhyanti
Wishnuwardhani, spesialis obstetri dan ginekologi di FK UI/RSCM.
Setelah tujuh hari dirawat di
RSCM Cici pulang bersama bayinya yang sudah dinamai oleh dokter Siti. Pihak YPI
sendiri terus menangani Cici dan putrinya yang sudah positif HIV. Sayang,
sampai sekarang Cici tidak melihat HIV sebagai ancaman terhadap dirinya karena,
“Saya tidak pernah sakit,” katanya. Begitu pula dengan putrinya yang kini
hampir berumur satu tahun dan sudah mulai bisa berjalan. Berat badannya 9,8 kg dan, “Tidak pernah sakit,”
ujar Cici dengan bangga. Setiap pagi anaknya menghabiskan semangkok bubur nasi
dengan hati ayam.
Pergelutan
Kondisi ini lagi-lagi terbentuk karena format penulisan berita yang sering
tidak komprehensif. Bagi banyak orang, sakit berarti ada keluhan, sedangkan HIV
bahkan AIDS sebelum tahap full-blown (sudah menampakkan gejala-gejala
khas penurunan kekebalan tubuh) hampir tidak menunjukkan gejala penyakit. AIDS
sendiri bukanlah penyakit, tapi merupakan istilah yang disepakati untuk
menyebutkan kondisi penurunan kekebalan tubuh karena diserang HIV, sehingga
yang mematikan penderita AIDS adalah infeksi-infeksi oportunistik, terutama
diare dan TBC.
Berkat uang yang diberikan suaminya yang datang setiap lima bulan menemui
Cici dan putrinya, wanita itu pun bisa membeli sebidang tanah dan membangun
sebuah rumah permanen di dekat rumah ibunya. Sedangkan rumahnya yang semula
dibangunnya yang didiami kakek dan neneknya, juga di desa yang sama, sudah
dijualnya. “Ya, dari uang yang saya kumpul-kumpullah,” katanya dengan logat
Riau tentang biaya pembangunan rumah
barunya itu.
Kini, kehidupan sehari-hari Cici dilaluinya dengan pergelutan menghadapi
virus di tubuhnya sambil membesarkan putrinya, yang juga positif terinfeksi HIV.
M/Syaiful W. Harahap
*****
* Naskah ini dimuat di Tabloid ”Mutiara” No. 868, Tahun XXX, 10-16
Juni 1997 merupakan pemenang pertama lomba “Penulisan HIV/AIDS” yang
diselenggarakan oleh PMP AIDS-LP3Y dan Ford Foundation priode 1997.
Pemenang berhak atas hadiah meliput Kongres AIDS Internasional Asia dan Pasifik
di Manila (ICAAP), Filipina, 22-27 Oktober 1997. Dewan juri terdiri atas Dr.
Hudoyo Hupudio, MPH, Ketua Yayasan Mitra Indonesia Jakarta, Irwan Julianto,
MPH, wartawan senior Harian ”KOMPAS”, dan Ashadi Siregar, Direktur LP3Y
Yogyakarta dan Penanggung Jawab PMP AIDS.***
(1).
Cici sudah meninggal tahun 2000, meninggalkan seorang putri yang juga
HIV-positif yang diasuh ibunya. Belakangan diketahui anaknya tidak tertular HIV
(Lihat: Duka Derita Seorang Perempuan Pengidap HIV/AIDS di
Karawang, Jawa Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/duka-derita-seorang-perempuan-pengidap.html).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.