SEORANG pria, sebut saja Macan,
mengaku minimal seminggu sekali "jajan" ke kawasan Taman Lawang,
Menteng, Jakarta Pusat. "Ya,
sekadar 'cuci busi'," kata laki-laki 35 tahun warga Senen, Jakarta Pusat
itu. Maksudnya, dia menggunakan jasa waria (wanita pria) untuk melakukan seks
oral.
Menurut Macan, yang memiliki istri dan dua orang anak, kedatangannya ke
tempat berkumpulnya waria sekadar melampiaskan nafsu berahi. Tak ada perasaan suka atau cinta. Dia
bahkan melakukannya setelah berhubungan dengan istri, namun tak merasa puas dan
tuntas. Untuk itu, Macan
merasa harus mencari cara lain untuk memuaskan diri. "Kalau berhubungan dengan banci, saya tak ada
guilty feeling," demikian pembenarannya. "Jika dengan wanita lain
atau pelacur, saya merasa mengkhianati cintanya," tambah si Macan, lulusan
sebuah perguruan tinggi di Jakarta.
Alasan lelaki berhubungan seks dengan waria untuk menghindari perasaan
bersalah disadari sepenuhnya oleh pihak waria. "Para lelaki teman
kencan kami itu mengaku bisa mendapat perhatian dan pelayanan yang tak didapat
dari istrinya atau pasangannya," kata Lenny Sugiharto, 49 tahun, waria
aktivis jaringan gay dan waria Indonesia,
Rabu pekan lalu.
Bahkan, menurut Lenny-ini nama
sebenarnya-banyak pria beristri atau bujang yang akhirnya tinggal bersama
waria. "Mungkin awalnya variasi, tapi lama-lama jadi ketagihan," kata
koordinator pertemuan waria nasional pertama yang berlangsung pekan ini di
Tapos, Jawa Barat itu. Ulah laki-laki berhubungan seks dengan waria sebagai
selingan biasa menjadi salah satu perbincangan hangat di antara para waria bila
berkumpul.
Kecenderungan seperti itu menjadi
kesimpulan penelitian Dede Oetomo, sosiolog asal Universitas Airlangga, Surabaya. Penelitian yang
dilakukan tahun lalu itu menyatakan adanya kecenderungan pria beristri atau
punya pasangan (heteroseksual) lebih memilih waria untuk memuaskan nafsu
berahi. "Mereka bukan gay (homoseks), tetapi memilih transgender dibanding
pekerja seksual komersial," ujar Dede.
Penelitian yang berjudul "The Dynamics and Context of Male to Male Sex
in Indonesia" itu dilakukan berdasar wawancara Dede dan tim dari Gaya
Nusantara Foundation dengan responden pria bukan gay di tiga kota-Surabaya,
Batam, dan Manado.
Mereka menyatakan berbagai alasan dalam memilih berhubungan seks dengan waria,
mulai dari alasan agama, variasi seks, ekonomi, tanggung jawab, sampai tak
adanya rasa bersalah. Intinya, para
pria itu menganggap berhubungan seks dengan waria tidak tergolong selingkuh.
Sayang, penelitian yang dibiayai sebuah lembaga donor dari Amerika Serikat
itu tidak dipublikasikan. "Tak jelas alasannya," ujar Dede, penerima
Felipa de Souza Award, sebuah anugerah dari Cile untuk perjuangan hak kaum gay
dan lesbian. Dede menduga sang donor khawatir dengan temuan yang diperoleh tim
peneliti-penelitian ini sempat dibahas dalam pertemuan pada Hari Transeksual
Internasional di Thailand, November lalu.
Masih menurut penelitian, perilaku "cuci busi" lebih banyak
dilakukan masyarakat kelas bawah, seperti tukang ojek, buruh pabrik, salesman,
pengemudi becak atau taksi. Namun religiusitas juga tidak menjadi jaminan
seorang lelaki tidak melakukan hubungan seks dengan waria-paling tidak, ada
beberapa responden penelitian yang mengaku religius tapi tetap melakukan hal
itu. "Bahkan di Manado ada pula pelayan rohani yang melakukan perbuatan
itu, tentu dengan alasan agama yang mereka anut," katanya.
Beberapa laki-laki dalam penelitian itu menyatakan berhubungan badan dengan
istri adalah tugas dalam perkawinan dan keluarga. Sedangkan berhubungan dengan
waria merupakan kesenangan. Beberapa responden beragama Kristen dan Islam
menyatakan penetrasi vaginal hanya boleh dilakukan dalam perkawinan. Karena
itu, menurut responden, dibandingkan bersetubuh dengan pelacur perempuan,
berhubungan seks dengan waria bukanlah perbuatan yang dilarang agama.
Namun tidak semua waria bisa menerima perlakuan pria yang hanya menempatkan
mereka sebagai obyek pelampiasan nafsu berahi. Olive, 30 tahun, termasuk waria yang percaya pada
satu pasangan saja. Mantan ratu waria ini mengaku bahagia bila diperlakukan
seperti perempuan, dan satu-satunya. "Aku lebih menggunakan perasaan dalam
hubungan dengan laki-laki, enggak bisa sembarangan," ujar Ollen-demikian
dia biasa dipanggil-yang mengaku kini sedang jomblo karena baru putus dari
pacarnya.
Bagi Olive, pria yang melihat waria seperti dirinya hanya sebagai obyek
pelampiasan nafsu berahi sama juga seperti pria yang hanya ingin
mengeksploitasi wanita. Jadi, bila lelaki tidak menghargai waria, dia juga
pasti tidak menghargai wanita. "Kami ini ingin dianggap sebagai partner, subyek, bukan sekadar
obyek," ujarnya.
Namun Olive tak menutup kemungkinan kawan-kawan sejenisnya, yang hanya
karena terdesak kondisi ekono-mi, mau menjadikan dirinya sebagai obyek
pelampiasan seks semata. "Memang
sih ada, seperti teman-teman yang menjajakan diri di Taman Lawang dan
jalan-jalan umum lain," katanya.
Berdasarkan catatan Yayasan Srikandi Sejati, sebuah lembaga yang mengurusi
masalah waria, jumlah waria di Indonesia saat ini mencapai enam juta. Empat
puluh persen berprofesi sebagai pengamen jalanan, sebagian yang lain menjual
diri sebagai pemuas berahi. Namun entah berapa banyak yang setia pada satu
pasangan seperti Olive.
Boleh jadi, pembenaran para pria yang menyatakan berhubungan seks dengan
waria lebih sedikit mudaratnya ketimbang selingkuh dengan perempuan atau
berhubungan seks dengan pelacur bisa diterima di kalangan kaum Adam. Namun
jangan sampai keterusan atau malah kecanduan. Sebab, menurut psikiater dari
Universitas Indonesia, Irmansyah, bila hal itu terjadi, artinya sudah menjadi
sesuatu yang patologis alias penyakit. "Jika cara itu menjadi satu-satunya
jalan keluar pemenuhan hasrat seksual, artinya ada gangguan kejiwaan,"
ujarnya.
Peringatan tidak hanya datang dari Irmansyah. Pendapat serupa juga
dikemukakan Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Info Kesehatan
Reproduksi, Syaiful W. Harahap. Menurut Syaiful, pembenaran para pria yang
menyatakan berhubungan seks dengan waria itu bukan selingkuh itu berbahaya.
Ancamannya tidak hanya terhadap segi kejiwaan, tetapi juga kesehatan. Pria
beristri yang berhubungan seks dengan kelompok berisiko seperti waria bisa
menularkan virus yang melumpuhkan daya tahan tubuh, HIV, ke dalam rumah tangga.
"Mana mau, pria yang suka jajan dengan waria ketika berhubungan dengan
istri di rumah menggunakan kondom, misalnya," ujar Syaiful.
Apalagi bila menyimak pendapat Lenny tadi, bahwa banyak pria beristri atau
bujang yang akhirnya tinggal bersama waria. Hubungan pria dengan waria menjadi
bukan sekadar variasi seks, tapi adiksi.
Ahmad Taufik
[Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/01/19/PRK/mbm.20090119.PRK129268.id.html
- 19 Januari 2009].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.