27 Agustus 2013

Jutaan Rupiah Hanya untuk Tes HIV



* Itu yang dialami oleh penduduk Kab Sangihe dan Kab Talaud, Sulut

Seorang pria dengan penyakit yang terkait HIV/AIDS meninggal dunia sebelum sempat menjalani tes HIV. Pria itu dirawat di puskesmas kemudian ke rumah sakit.

Karena ada gejala-gejala terkait AIDS, ”Kita merencanakan membawa pria itu tes HIV ke Manado,” kata Hendro Dededaka, aktivis di GMIST (Gerjela Masehi Injili Sangihe Talaud), di sela-sela ”Pelatihan Dasar Radio & Film: Mengasah Nurani Menumbuhkan Jurnalistik Empatik” yang diselenggarakan YAKOMA di Jakarta (26-31 Agustus 2013).

Hendro memutar otak memikirkan biaya yang harus dikeluarkan dari Tahuna ke Kota Manado karena hanya di kota itulah yang ada tes HIV. Kejadian tahun lalu itu mendorong Hendro lebih giat menjalankan sosialisasi ke semua lapiran masyarakat, terutama umat gereja, dan pendampingan terhadap pengidap HIV/AIDS.

Itulah sebabnya Hendro dengan tekun mengikuti pelatihan. Tapi, kerja keras Hendro kelak tidak ada artinya jika di Kab Sangihe dan Kab Talaud tidak ada tempat tes HIV.

Bayangkan ongkos dari pelabuan Tahuna ke Kota Manado dengan kapal laut Rp 135.000 sekali jalan. Ini belum termasuk ongkos dari rumah yang mau tes HIV ke pelabuhan Tahuna.

Sesampainya di Manado tentu perlu penginapan. Sewa losmen paling murah Rp 150.000/malam. Jika dihitung-hitung ongkos Tahuna-Manado pp, penginapan, makan dan minum diperlukan lebih dari satu juta rupiah.

Biaya yang lebih besar diperlukan penduduk Kab Talaud jika ingin tes HIV ke Manado karena ibu kota Talaud, Melonguane, lebih ke utara lagi dari kota Tahuna.

Laki-laki yang meninggal itu meninggalkan istri dan anak sehingga mereka pun perlu menjalani tes HIV agar bisa dilakukan pendampingan terhadap mereka. Tapi, jika harus ke Manado tentulah mustahil bagi Hendro membawa keluarga itu karena membutuhkan dana yang besar.

Banyak laki-laki dewasa di Sangihe dan Talaud yang menunjukkan penyakit dengan gejala-gejala terkait HIV/AIDS. “Paling tidak ada 30-an,” kata Hendro mengingat-ingat yang pernah dia dampingi. Tapi, lagi-lagi Hendro tidak bisa berbuat banyak karena tidak ada sarana untuk tes HIV.

Laki-laki dari Sangihe dan Talaud banyak yang bekerja di Papua dan Papua Barat. Seperti diketahui di Tanah Papua prevalensi HIV/AIDS tinggi dan pelacuran ada di semua kota.

Celakanya, program penjangkauan yaitu ‘kewajiban memakai kondom’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) tidak dijalankan dengan regulasi yang komprehensif.

Akibatnya, banyak laki-laki yang tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.

Ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu:

(1) Laki-laki penduduk asli Tanah Papua dan pendatang ada yang mengidap HIV/AIDS sehingga mereka menularkan HIV kepada PSK. Selanjutnya, laki-laki penduduk asli Tanah Papua dan pendatang yang sanggama tanpa kondom dengan PSK berisiko tertular HIV/AIDS.

(2) PSK yang ‘praktek’ di Tanah Papua sudah mengidap HIV/AIDS ketika mereka tiba di sana. Maka, laki-laki penduduk asli Tanah Papua dan pendatang yang sanggama tanpa kondom dengan PSK berisiko tertular HIV/AIDS.

Kondisi itulah yang tidak dipahami oleh laki-laki penduduk asli Tanah Papua dan pendatang, termasuk laki-laki perantau dari Sangihe dan Talaud.

Tentu saja hal itu jadi tantangan untuk Hendro dkk. yang sedang mengikuti pelatihan di Jakarta yaitu membuat materi siaran radio dan film dokumenter untuk memasyarakatkan cara-cara pencegahan HIV/AIDS yang konkret.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.