* Kasus-kasus HIV/AIDS
yang tidak terdeteksi akan jadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS
Opini (20/8-2013) – Tidak
sedikit penguasa daerah yang membusungkan dada kalau daerahnya tidak masuk
dalam daftar yang memuat laporan kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan
Kemenkes.
Tapi,
sekarang daerah justru melaporkan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di daerahnya
karena terkait dengan dana penanggulangan.
Di
awal-awal epidemi ada kesan bahwa jika tidak ada kasus yang dilaporkan atau
jumlah kasus yang dilaporkan kecil, maka daerah itu ‘bersih’ dari HIV/AIDS.
Tapi,
setelah banyak kegiatan terkait HIV/AIDS, seperti penyuluhan, penjangkaua dan
penyediaan tempat tes HIV, dikenal sebagai Klinik VCT, kasus demi kasus baru
pun mulai terdeteksi.
Satu
hal yang dilupakan oleh kepala-kepala daerah adalah bahwa angka kasus HIV/AIDS yang
sedikit atau kecil merupakan ‘kebanggaan semu’ karena kasus itu tidak
menggambarkan jumlah penduduk yang mengidap HIV/AIDS.
Belakangan ini justru banyak daerah yang kelabakan ketika angka kasus HIV/AIDS di daerahnya tiba-tiba melonjak.
Reaksi yang muncul pun sering tidak bernalar.
Mulai dari
usulan karantina, isolasi, pelacakan, merancang peraturan yang menghabiskan
ratusan juta rupiah uang rakyat, studi banding, seminar, pelatihan, dll.
Padahal,
dari aspek epidemiologi penemuan kasus (baru) HIV/AIDS merupakan titik awal
dari upaya memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS.
Kasus yang terdeteksi hanyalah sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya di
masyarakat. Dalam epidemi HIV/AIDS dikenal istilah fenomena gunung es. Puncak
gunung es yang dapat dilihat di permukaan laut sangat kecil (ini menggambarkan
angka yang terdeteksi) tapi bagian yang tidak muncul ke permukaan jauh lebih
besar (ini menggambarkan kasus yang tidak terdeteksi). Tidak ada rumus yang
bisa menentukan jumlah kasus yang tidak terdeteksi (Lihat Gambar).
Mata Rantai
Mata Rantai
Kasus AIDS di kalangan pengguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) suntikan merupakan mata rantai penyebaran HIV antar penduduk secara horizontal melalui hubungan seks (dengan pacar, istri, suami, selingkuhan, dan pekerja seks). Jika pengguna narkoba terdeteksi pada tahap AIDS berarti mereka sudah tertular HIV antara 5-15 tahun sebelumnya. Nah, tanpa mereka sadari pada rentang waktu antara 5-15 tahun sebelum mereka terdeteksi HIV-positif mereka sudah menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat.
Yang beristri akan menulari istrinya melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam nikah. Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Selain itu mereka pun akan menjadi mata
rantai penularan HIV kepada pengguna narkoba lain. Andaikan seorang pengguna
narkoba yang HIV-positif memakai narkoba dengan jarum suntik secara bergantian
dengan lima temannya maka ada risiko penularan kepada lima temannya itu.
Tingkat risiko penularan melalui penggunaan jarum suntik secara bergantian pada
pengguna narkoba mendekati 100 persen.
Kalau ada di antara lima temannya tadi yang tertular maka mereka pun menjadi mata rantai penyebaran HIV pula. Kepada istri, pacar, PSK atau pengguna narkoba lain. Angka ini terus bertambah bagaikan deret ukur.
Penularan HIV terjadi secara diam-diam tanpa disadari karena seseorang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Tapi, mereka sudah bisa menularkan HIV
kepada orang lain melalui: (a) melalui hubungan seksual pada heteroseksual tanpa
kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) cangkok organ
tubuh, (d) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan
alat-alat kesehatan, (e) menyusui dengan ASI, dan (f) homoseksual tanpa kondom.
Inilah yang membuat kasus HIV/AIDS terus bertambah dengan cepat tanpa bisa dikendalikan karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali melalui fisiknya. Banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.
Anjuran Tes HIV
HIV adalah virus yang tergolong retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri di dalam sel-sel darah putih manusia. Sel-sel darah putih yang dijadikan HIV sebagai ‘pabrik’ untuk menggandakan diri rusak. HIV yang baru diproduksi dalam jumlah yang banyak akan mencari sel darah putih lain untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya tanpa menimbulkan gejala pada kesehatan.
Jika sel-sel darah putih sudah banyak yang rusak maka sampai pada tahap AIDS. Seseorang yang tertular HIV yang sudah sampai pada masa AIDS akan mudah sakit karena berbagai penyakit, baik karena kuman, bakteri atau virus mudah masuk. Hal ini terjadi karena sel-sel darah putih yang menjadi ‘bala tentara’ perlindungan tubuh tidak berdaya lagi menghadapi serangan penyakit. Maka, yang membuat Odha (Orang dengan HIV/AIDS) meninggal adalah penyakit-penyakit yang menyerang pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.
Penularan HIV dapat dicegah dengan cara-cara yang sangat masuk akal yaitu menghindari agar darah, air mani, cairan vagina atau ASI yang mengandung HIV tidak masuk ke dalam tubuh.
Persoalannya adalah kita tidak bisa
mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV dari penampilan fisiknya.
Lalu, bagaimana caranya melindungi diri
agar tertularHIV/AIDS?
Cara yang masuk akal adalah menghindari
perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu:
(a) Tidak melakukan hubungan seksual
tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di mana saja dengan pasangan yang
berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-poistif
(b) Tidak melakukan hubungan seks tanpa
kondom, di dalam atau di luar nikah, di mana saja dengan seseorang yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah
satu dari pelanggan mereka HIV-poistif,
(c) Tidak menerima transfusi darah dan
cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV
(d) Ttidak memakai jarum suntik, jarum
tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, pisau cukur dan alat-alat kesehatan
yang sudah dipakai orang lain.
Nah, kalau ada seseorang, laki-laki atau perempuan, yang pernah melakukan perilaku berisiko, di daerah sendiri, di luar daerah, atau di luar negeri, maka dia sudah berisiko tertular HIV.
Biar pun di daerah sendiri tidak ada
lokalisasi atau lokasi pelacuran, tapi bisa saja melakukan perilaku berisiko di
luar daerah. Soalnya, tidak ada satu negara pun di dunia ini bebas
HIV/AIDS.
Maka, kalau ada penduduk di satu daerah
yang tertular HIV maka merekalah yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV
secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual di dalam atau di luar nikah,
antar penduduk tanpa mereka sadari.
Langkah yang tepat bagi orang-orang
yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi adalah menjalani tes HIV secara
sukarela untuk mengetahui status HIV: sudah tertular atau belum tertular.
Bagi orang-orang yang terdeteksi sudah tertular melalui tes HIV, maka mereka diminta untuk memutus mata rantai penyebaran HIV yaitu tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom, tidak mendonorkan darah, tidak memakai jarum suntik bergantian. Mereka pun dapat pula ditangani secara medis sehingga tetap bisa produktif. Misalnya, pemberian obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menekan penggandaan HIV di dalam darah.
Bagi orang-orang yang terdeteksi sudah tertular melalui tes HIV, maka mereka diminta untuk memutus mata rantai penyebaran HIV yaitu tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom, tidak mendonorkan darah, tidak memakai jarum suntik bergantian. Mereka pun dapat pula ditangani secara medis sehingga tetap bisa produktif. Misalnya, pemberian obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menekan penggandaan HIV di dalam darah.
Sedangkan bagi yang tidak tertular
dianjurkan agar menjauhi perilaku berisiko tinggi.
-
AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap
Wah, jujur ini membuat saya takut untuk berpacaran dan menjalin hubungan. Tidak ada jaminan bahwa partner saya 'bersih' dan tidak akan selingkuh. Apalagi tes HIV harus dilakukan setelah 3 bulan kegiatan bersiko. Plus kondom tidak 100% aman. *menghela napas*
BalasHapus