13 Juli 2013

Perda AIDS Prov Sumatera Barat (2)


* Bagian II

Di Pasal 14 ayat c disebutkan: Tindakan preventif oleh Pemerintah Daerah melalui institusi kesehatan yang dimiliki adalah penyediaan sarana dan prasarana untuk layanan untuk pencegahan dari ibu hamil yang positif HIV kepada janin yang dikandungnya.

Persoalannya adalah dalam perda tidak ada mekanisme yang realistis dan sistematis untuk mendeteksi HIV pada ibu-ibu hamil. Itu artinya layanan ini hanya diberikan kepada ibu hamil yang ‘kebetulan’ terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Ketika informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, al. melalui hubungan seksual, tapi Perda ini tetap saja memakai jargon-jargon moral yang berujung pada mitos (anggapan yang salah) sebagai cara-cara preventif untuk mencegah HIV/AIDS.

Lihat di Pasal 15: Tindakan preventif oleh masyarakat dan individu meliputi:

a. tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah;

b. hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah;

c. menggunakan alat pencegah penularan bagi pasangan yang sah dengan HIV positif;

d. berkomitmen untuk menciptakan keluarga yang harmonis, penuh cinta dan kasih sayang;

e. memfungsikan keluarga secara optimal sebagai sarana untuk menciptakan generasi bangsa yang berkualitas dan berakhlak baik.


Pasal 15 ayat a sama sekali tidak menukik ke cara-cara pencegahan yang ril karena tidak ada kaitan antara penularan HIV melalui hubungan seksual dengan hubungan seksual sebelum menikah. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama) bukan karena sifat hubungan seksual (belum menikah, zina, melacur, selingkuh, ’seks bebas’, ’jajan’, dll.).

Pasal 15 ayat b mengabaikan fakta yaitu kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Mereka terular HIV melalui hubungan seksual yang sah di dalam ikatan pernikahan.

Pasal 15 ayat c justru mendorong penyebaran HIV karena tidak ada kewajiban bagi pasangan yang tidak sah untuk memakai alat pencegahan.

Alat pencegah agar tidak tertular HIV melalui hubungan seksual adalah kondom, tapi dalam perda ini tidak disebutkan bahwa alat pencegah adalah kondom. Penyebutan alat pencegah tidak menunjukkan fakta tentang nama atau bentuk alat pencegah terkait dengan HIV/AIDS.

Pasal 15 ayat d dan e ada di ranah ilusi karena hal itu sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV.

Banyak daerah, termasuk di Sumbar, tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran yang dibentuk melalui regulasi. Maka, itu dikesankan tidak ada kegiatan pelacuran.

Tapi, dalam Perda ini justru sebaliknya: ada (praktek) pelacuran.

Lihat saja di Pasal 16: Tindakan preventif oleh sektor terkait meliputi:

a. berpartisipasi dalam pengembangan informasi dan publikasi tentang bahaya HIV-AIDS dan IMS;

b. memasang media yang berisi informasi tentang faktor-faktor penyebab tertularnya seseorang oleh virus HIV hingga menjadi penderita AIDS pada lingkungan masing-masing sektor terkait;

c. memeriksakan kesehatan karyawannya secara berkala bagi penanggungjawab tempat yang diduga berpotensi terjadinya penularan HIV;

d. memasukkan materi ajar tentang penanggulangan HIV-AIDS dan IMS dalam kurikulum pendidikan.

Kalau di tempat yang disebut ‘sektor terkait’ tsb. tidak ada kegiatan yang memungkinkan terjadi penularan HIV, maka pasal 16 tidak perlu ada dalam perda ini.

Pengertian ril ‘sektor terkait’ dalam Perda ini kian kabur jika disimak Pasal 1 ayat 19: Sektor terkait adalah satuan kerja perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Daerah dan lembaga-lembaga lain yang merupakan mitra kerja Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dalam menanggulangi HIV dan AIDS di Provinsi Sumatera Barat. 

Maka, pasal ini pun membuka tabir bahwa di mitra kerja Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi terjadi kegiatan yang memungkinkan terjadi penularan HIV.

Karena tidak ada gambaran jelas terjadilah tebak-tebakan: ‘sektor terkait’ adalah tempat-tempat hiburan (malam). Lagi-lagi membuka tabir: di tempat-tempat hiburan malam terjadi hubungan seksual yang tidak aman (hubungan seksual dilakukan dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan tanpa kondom) sehingga ada risiko penularan HIV.

“Kecurigaan” bahwa di tempat-tempat hiburan ada praktek pelacuran dikuatkan pula melalui Pasal 16 ayat c: Tindakan preventif oleh sektor terkait meliputi  memeriksakan kesehatan karyawannya secara berkala bagi penanggungjawab tempat yang diduga berpotensi terjadinya penularan HIV.

Ada pernyataan ‘tempat yang diduga berpotensi terjadinya penularan HIV’ yang mengacu ke praktek pelacuran.

Cara-cara di atas merupakan salah satu bentuk penyangkalan terkait dengan praktek pelacuran yang ada di ‘sektor terkait’.

Peran serta masyarakat diatur pada Pasal 30 ayat (1): 

Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV-AIDS dengan cara:

a. berperilaku hidup sehat dan bertanggung jawab dalam keluarga;

b. peningkatan keimanan dan ketaqwaan dalam beragama dan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV;

Risiko tertular HIV tidak terkait langsung dengan ’perilaku hidup sehat’ karena yang bisa melakukan perilaku berisiko justru orang yang sehat. Yang perlu dilakukan oleh orang per orang adalah tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV, al. tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.

Di Pasal 31 ayat 4 disebutkan: Setiap orang yang berisiko tinggi terhadap penularan IMS wajib memeriksakan kesehatannya secara rutin.

Siapa yang dimaksud dengan ’orang yang berisiko tinggi terhadap penularan IMS’?

Kalau disimak dari keterangan di Pasal 1 ayat ayat 21 dan 22 gambarannya adalah PSK, waria, gay dll., maka pasal 31 ayat 4 mengabaikan perilaku-perilaku yang tidak terkait langsung dengan PSK, waria, gay,dll., yaitu: laki-laki dan perempuan dewasa pelaku kawin-cerai, laki-laki yang melacur melalui nikah mut’ah, laki-laki yang melacur dengan PSK tidak langsung (seperti cewek panggilan, cewek kafe, cewek pub, mahasiswi, ABG, dll.), laki-laki yang menjalani kawin-kontrak, laki-laki yang menerima cewek gratifikasi seks.

Dengan model perda seperti Perda AIDS Prov Sumbar ini tidak ada yang harapan untuk menanggulangi penyebaran HIV secara sistematis di Sumbar. Maka, penyebaran HIV pun kelak akan sampai pada masanya yaitu ’ledakan AIDS’. (Habis)***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.