20 Juli 2013

Perda AIDS Kabupaten Banyuwangi


Media Watch (21/7-2013) – “Setiap orang yang terinfeksi IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, dll.-pen.) dan HIV/AIDS dilarang melakukan hubungan seksual dengan orang lain atau pasangannya kecuali bila pasangannya diberitahu tentang status infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS dan secara sukarela menerima resiko tersebut.”

Pernyataan ini adalah bunyi Pasal 10 ayat 2 huruf a di Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyuwangi No 6 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan IMS dan HIV/AIDS di Kabupaten Banyuwangi yang disahkan tanggal 14 Agustus 2007.

Pasal itu menunjukkan yang merancang dan mengesahkan perda ini tidak memahami IMS secara benar.

Selama penyakit IMS belum diobati, maka tidak boleh melakukan hubungan seksual karena akan terjadi penularan.

Tapi, IMS bisa disembuhkan dalam waktu yang singkat sehingga setelah sembuh hubungan seksual tanpa kondom pun bisa dilakukan karena tidak ada lagi risiko penularan.

Berbeda dengan HIV/AIDS yang tidak bisa disembuhkan sehingga sepanjang umur virus HIV akan terus ada di dalam darah sehingga setiap hubungan seksual laki-laki harus memakai kondom agar tidak terjadi penularan.

Kerancuan juga terjadi di Pasal 7 ayat 1 disebutkan: Prosedur diagnosis IMS dan HIV/AIDS dilakukan sukarela dengan cara memberikan informasi yang benar bagi yang bersangkutan disertai konseling.

Orang-orang yang tertular IMS otomatis akan berobat sendiri karena sakit dengan gejala-gejala yang kasat mata, seperti penis mengeluarkan nanah, dll. Mereka tidak perlu mendapatkan konseling untuk persetujuan karena mereka sendiri yang minta diobati.

Berbeda dengan HIV/AIDS yang tidak menimbulkan gejala dan sakit sehingga diperlukan konseling agar orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV bisa menimbang-nimbang perilakunya terkait dengan risiko tertular HIV. Tes HIV bisa dilakukan setelah ada persetujuan dari yang hendak tes setelah mereka memahami HIV/AIDS melalui konseling.

Hal yang sama juga terjadi pada Pasal 10 ayat 1 huruf a yaitu: Setiap orang yang positif terinfeksi IMS dan HIV/AIDS wajib memeriksakan diri secara rutin ke Klinik VCT, Puskesmas atau rumah sakit yang ditunjuk.

Pengidap IMS tidak perlu rutin memeriksakan diri karena sekali berobat pun bisa sembuh asalkan ditangani oleh dokter ahli. Dan ybs. tidak mengulani perilaku yang berisiko tertular IMS.

Sedangkan pengidap HIV/AIDS perlu rutin karena terkait dengan perkembangan virus di dalam darah. Mereka harus memantai CD4 melalui tes khusus. Jika CD4 di bawah 350, maka mereka harus meminum obat antiretroviral (ARV).

Di Pasal 10 ayat 2 huruf b disebutkan: Setiap orang yang terinfeksi IMS dan HIV/AIDS dilarang menggunakan secara bersama-sama alat suntik, alat medis atau alat lain yang patut diketahui dapat menularkan virus HIV kepada orang lain.

Tidak semua penyakit yang termasuk IMS ditularkan melalui darah, sehingga pasal ini tidak akurat.

Perda ini sama sekali tidak memberikan cara-cara yang konkret dan sistematis untuk mencegah penularan HIV dan menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Perda ini mengutamakan hak dan perlindungan pengidap HIV/AIDS. Ini adalah langkah di hilir. Artinya, Pemkab Banyuwangi menunggu ada dulu pendudukya yang tertular HIV/AIDS baru kemudian dilindungi.

Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu untuk mengurangi jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Di Pasal 10 ayat 3 disebutkan: Pencegahan dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS didasari oleh nilai luhur kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat hidup sebagai manusia.

Pasal ini jargon moral sebagai retorika politis yang ada di awang-awang karena tidak jelas maknanya.

HIV/AIDS adalah fakta medis yakni bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara penularan dan pencegahannya pun dapat diketahui secara medis.

Celakanya, biar pun HIV/AIDS fakta medis tapi langkah atau cara pencegahan dan penanggulangan yang ditawarkan dalam perda ini ada pada ranah moral sehingga memunculkan pasal-pasal yang normatif.

Itu artinya insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) akan terus terjadi.

Laki-laki yang tertular HIV yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS”.***

-         AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.