Media Watch (21/7-2013) –
“Setiap orang yang terinfeksi IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing
nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam,
dll.-pen.) dan HIV/AIDS dilarang melakukan hubungan seksual dengan orang lain
atau pasangannya kecuali bila pasangannya diberitahu tentang status infeksi
menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS dan secara sukarela menerima resiko
tersebut.”
Pernyataan ini adalah bunyi Pasal
10 ayat 2 huruf a di Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyuwangi No 6 Tahun
2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan IMS dan HIV/AIDS di Kabupaten
Banyuwangi yang disahkan tanggal 14 Agustus 2007.
Pasal itu menunjukkan yang
merancang dan mengesahkan perda ini tidak memahami IMS secara benar.
Selama penyakit IMS belum
diobati, maka tidak boleh melakukan hubungan seksual karena akan terjadi
penularan.
Tapi, IMS bisa disembuhkan dalam
waktu yang singkat sehingga setelah sembuh hubungan seksual tanpa kondom pun
bisa dilakukan karena tidak ada lagi risiko penularan.
Berbeda dengan HIV/AIDS yang
tidak bisa disembuhkan sehingga sepanjang umur virus HIV akan terus ada di
dalam darah sehingga setiap hubungan seksual laki-laki harus memakai kondom
agar tidak terjadi penularan.
Kerancuan juga terjadi di Pasal 7
ayat 1 disebutkan: Prosedur diagnosis IMS dan HIV/AIDS dilakukan sukarela
dengan cara memberikan informasi yang benar bagi yang bersangkutan disertai
konseling.
Orang-orang yang tertular IMS
otomatis akan berobat sendiri karena sakit dengan gejala-gejala yang kasat
mata, seperti penis mengeluarkan nanah, dll. Mereka tidak perlu mendapatkan
konseling untuk persetujuan karena mereka sendiri yang minta diobati.
Berbeda dengan HIV/AIDS yang
tidak menimbulkan gejala dan sakit sehingga diperlukan konseling agar
orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV bisa menimbang-nimbang
perilakunya terkait dengan risiko tertular HIV. Tes HIV bisa dilakukan setelah
ada persetujuan dari yang hendak tes setelah mereka memahami HIV/AIDS melalui konseling.
Hal yang sama juga terjadi pada Pasal
10 ayat 1 huruf a yaitu: Setiap orang yang positif terinfeksi IMS dan HIV/AIDS
wajib memeriksakan diri secara rutin ke Klinik VCT, Puskesmas atau rumah sakit
yang ditunjuk.
Pengidap IMS tidak perlu rutin
memeriksakan diri karena sekali berobat pun bisa sembuh asalkan ditangani oleh
dokter ahli. Dan ybs. tidak mengulani perilaku yang berisiko tertular IMS.
Sedangkan pengidap HIV/AIDS perlu
rutin karena terkait dengan perkembangan virus di dalam darah. Mereka harus
memantai CD4 melalui tes khusus. Jika CD4 di bawah 350, maka mereka harus
meminum obat antiretroviral (ARV).
Di Pasal 10 ayat 2 huruf b
disebutkan: Setiap orang yang terinfeksi IMS dan HIV/AIDS dilarang menggunakan
secara bersama-sama alat suntik, alat medis atau alat lain yang patut diketahui
dapat menularkan virus HIV kepada orang lain.
Tidak semua penyakit yang
termasuk IMS ditularkan melalui darah, sehingga pasal ini tidak akurat.
Perda ini sama sekali tidak
memberikan cara-cara yang konkret dan sistematis untuk mencegah penularan HIV
dan menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Perda ini mengutamakan hak dan
perlindungan pengidap HIV/AIDS. Ini adalah langkah di hilir. Artinya, Pemkab
Banyuwangi menunggu ada dulu pendudukya yang tertular HIV/AIDS baru kemudian
dilindungi.
Yang diperlukan adalah
penanggulangan di hulu untuk mengurangi jumlah insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Di Pasal 10 ayat 3 disebutkan:
Pencegahan dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS didasari oleh nilai luhur
kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat hidup sebagai manusia.
Pasal ini jargon moral sebagai
retorika politis yang ada di awang-awang karena tidak jelas maknanya.
HIV/AIDS adalah fakta medis yakni
bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara
penularan dan pencegahannya pun dapat diketahui secara medis.
Celakanya, biar pun HIV/AIDS
fakta medis tapi langkah atau cara pencegahan dan penanggulangan yang
ditawarkan dalam perda ini ada pada ranah moral sehingga memunculkan
pasal-pasal yang normatif.
Itu artinya insiden infeksi HIV
baru, terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan
pekerja seks komersial (PSK) akan terus terjadi.
Laki-laki yang tertular HIV yang
tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat yang
kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS”.***
-
AIDS Watch Indonesia/Syaiful W.
Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.