27 Juli 2013

Di Pacitan, Jatim, HIV/AIDS Disebut ’Penyakit Kutukan’?


Tanggapan Berita (28/7-2013) – “HIV/AIDS tulari 15 warga Pacitan hanya dalam tempo enam bulan.” Ini judul berita di lensaindonesia.com (23/7- 2013).

Judul ini menyesatkan karena tidak bisa diketahui secara pasti kapan seseorang tertular HIV, kecuali melalui transfusi darah.

Tidak jelas metode atau cara apa yang dilakukan otoritas di Kab Pacitan, Jatim, untuk memastikan 15 warga Pacitan tsb. tertular HIV pada rentang waktu enam bulan.

Kalau saja wartawan yang menulis berita ini memahami HIV/AIDS dengan benar, maka yang terjadi adalah dalam kurun waktu enam bulan ada 15 penduduk Pacitan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV.

Pernyataan yang menyesatkan masih ada dalam berita ini yaitu: Dalam waktu enam bulan, terhitung sejak Januari-Juni tahun ini telah ada 15 warga yang terjangkit penyakit mematikan tersebut.

‘Penyakit mematikan’ juga tidak akurat karena belum ada kasus kematian pada pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi di masa AIDS, secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.

Dilaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Pacitan dari tahun 2005 sampai 2013 tercatat 75 dengan 42 kematian. Angka ini tentu saja tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi atau dilaporkan (75) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar). 

Disebutkan dalam berita bahwa penularan penyakit yang disebut `penyakit kutukan` ini seperti fenomena gunung es. Dimana ketika ditemukan satu orang terjangkit, maka 1.000 orang disekitarnya berpotensi tertular.

Pernyataan ’penyakit kutukan’ mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap pengidap HIV/AIDS.

Alangkah gegabahnya wartawan yang menulis berita ini karena menyebut HIV/AIDS sebagai penyakit kutukan (biar pun ada tanda petik) sehingga menghakimi dan menghukum pengidap HIV/AIDS yang tertular melalui transfusi darah, istri-istri yang tertular dari suaminya, bayi yang terterula dari ibunya.

Disebutkan pula ”Dimana ketika ditemukan satu orang terjangkit, maka 1.000 orang disekitarnya berpotensi tertular.”

Pernyataan di atas ngawur bin ngaco karena HIV tida menular melalui udara, air dan pergaulan sehari-hari. Tidak ada rumus yang bisa menghitung kasus HIV/AIDS jika ada satu kasus terdeteksi.
Disebutkan bahwa Dinkes Kab Pacitan menggandeng kaum perempuan melalui PKK Kab Pacitan.

Untuk apa?

Dengan sosialisasi para ibu-ibu lebih memahami bahaya sekaligus menghindari penularan penyakit yang satu itu.

Hal itu kan sama sama dengan menggantang asap. Biar pun ada fakta bahwa ada ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya, tidak berarti kalau ibu-ibu sudah menerima sosialisasi lalu bisa meminta suami untuk tidak melacur atau harus memakai kondom ketika sanggama.

Tidak semua suami yang menularkan HIV kepada istirnya tertular di luar kota.

Apakah di Kab Pacitan tidak ada praktek pelacuran?

Tentu saja ada. Yang tidak ada adalah pelacuran yang dilokalisir.

Maka, yang perlu dilakukan Pemkab Pacitan adalah menjalankan program berupa intervensi melalui regulasi untuk memaksa laki-laki memakai kondom jika sanggama dengan pekerja seks komersial (PSK).

Tanpa prograng yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Kab Pacitan akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.