03 Juli 2013

Di Temanggung, Jawa Tengah, Seorang Bocah Pengidap HIV/AIDS Ditolak Masuk TK


Tanggapan Berita (4/7-2013) – "Mirza tidak boleh melanjutkan ke TK Karena diketahui bahwa Mirza dan Ratih (bukan nama sebenarnya), ibunya ODHA. Dosakah Mirza, karena AIDS adalah hadiah dari ibunya. Sedangkan Ratih ibunya menerima AIDS sebagai mahar cinta suaminya." Ini pernyataan Bambang Setiadi, seorang pendamping ODHA (Orang dengan HIV/AIDS), terkait dengan penolakan sebuah taman kanak-kanak (TK) di Kab Temanggung, Jateng, terhadap seorang anak pengidap HIV/AIDS (Idap HIV/AIDS, Mirza Tak Diterima Daftar Sekolah, suaramerdeka.com, 3 Juli 2013).

Sebagai pendamping Odha tentulah pernyataan Bambang ini tidak etis.

(1) Tidak ada kaitan dosa dengan penularan HIV. Tidak ada aturan kalau pendosa boleh-boleh saja tertular HIV. Penularan HIV tidak terjadi karena status dosa seseorang.

(2) HIV/AIDS pada anak-anak bukan hadiah dari ibu yang melahirkan mereka. Bisa jadi ibu mereka juga tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS. Celakanya, pemerintah tidak mempunyai program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.

(3) Suami Ratih, ibu Mirza, juga tidak sengaja menularkan HIV sehingga penyebutan HIV/AIDS sebagai mahar dari suami tidak etis. Banyak laki-laki yang perilakunya berisiko tertular HIV juga tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Lagi-lagi pemerintah tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah:

(a) Mengapa status HIV Ratih bisa diketahui masyarakat?

(b) Bagaimana status HIV Ratih bisa bocor?

Ini merupakan bukti bahwa fakta privat tidak diharga di Indonesia. Bukan hanya HIV/AIDS, semua jenis penyakit, kecuali terkait dengan wabah, adalah rahasia yang hanya bisa dibeberkan oleh yang bersangkutan atau perintah hakim melalui sidang pengadilan. Dokter dan perawat wajib merahasiakan catatan medis pasien.

Dikabarkan bahwa Mirza, bocah asal Kec Parakan, KabTemanggung, Jateng, itu selain sudah menderita karena mengidap HIV/AIDS, dia juga ditolak mendaftar sekolah di sebuah taman kanak-kanak (TK).

Rupanya,  orang tua calon siswa resah karena mengetahui ada calon siswa pengidap HIV/AIDS. Mereka pun menekan pihak sekolah agar tidak menerima Mirza. Pihak sekolah sendiri khawatir tidak dapat siswa kalau Mirza diterima, maka pihak sekolah memilih menolak Mirza. 

Orang-orang tua murid tidak bisa semerta disalahkan karena bisa jadi selama ini mereka tidak mendapatkan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS.

Sejak awal epidemi materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibumbui dengan moral sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang dan memunculkan mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, mengaitkan-ngaitkan HIV/AIDS dengan perilaku menyimpang. Akibatnya, terjadi penolakan dalam bentuk stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) di masyarakat.

Bahkan, dalam brosur ”ABAT” (Aku Bangga Aku Tahu) yang dibangga-banggakan pemerintah ternyata tidak ada informasi yang eksplisit tentang cara mencegah penularan HIV/AIDS. Bahkan, ”ABAT” justru mendorong stigma dan diskirminasi (Lihat: “ABAT” (Aku Bangga Aku Tahu) yang Tidak Memberikan Cara Pencegahan yang Eksplisit - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/abat-aku-bangga-aku-tahu-yang-tidak.html).

Dikabarkan sosialisasi yang diberikan tidak bisa membendung keresahan wali murid yang takut anaknya tertular HIV dari Mirza.

Pertanyaannya adalah: Seperti apa bentuk sosialisasi yang diberikan?

Kalau hanya dengan ceramah tentulah sosialisasi itu tidak akan berhasil. Diperlukan cara-cara yang komprehensif dengan langkah partisipatif agar orang-orang tua calon siswa TK itu mengetahui sikap mereka itu salah.

Pemkab Temanggung sendiri sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) bulan September 2012. Lalu, apa yang dikerjakan Pemkab Temanggung untuk menghadapi masyarakat yang menolak siswa pengidap HIV/AIDS?

Kalau sosialisasi HIV/AIDS dilakukan secara partisipatif, misalnya dengan ’menantang’ orang-orang tua yang perilakunya berisiko tertular HIV untuk menjalani tes HIV tentulah akan ada pandangan lain di kalangan orang tua murid.

Kasus penolakan Mirza ini lagi-lagi membuktikan sosialisasi HIV/AIDS tidak sampai ke semua lapisan masyarakat.

Lalu, apa, sih, yang (sudah) dikerjakan jajaran pemerintah dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) provinsi dan kabupaten terkait dengan upaya pemahaman HIV/AIDS pada seluruh lapisan masyarakat?

Jawabannya tentu saja bisa berkaca kepada Mirza.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.