14 Juli 2013

Asuransi Mengabaikan Odha


Oleh Syaiful W. Harahap*

Sudah jatuh ditimpa tangga pula.
Itulah yang (akan) dihadapi Odha di Indonesia dalam dunia perasuransian nasional. Banyak perusahaan asuransi jiwa yang menolak pembayaran klaim tertanggung yang meninggal karena AIDS. Di samping itu perusahaan asuransi pun tidak bersedia membayar klaim pengobatan penyakit-penyakit menular seksual (PMS).

Pengusaha asuransi menolak klaim AIDS dan PMS karena mereka menilai penyakit itu akibat ulah (perilaku) pemegang polis. Inilah yang dinilai banyak kalangan tidak fair, karena, "Kecelakaan lalu lintas juga terjadi karena perilaku," kata Irwanto, PhD, psikolog di PKPM (Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat) Unika Atma Jaya Jakarta. Irwanto benar, tapi asuransi rupanya sudah terlanjur mengaitkan penularan HIV dan PMS dengan moral, sedangkan kelalaian mengemudi di jalan raya tidak dikaitkan dengan perilaku yang juga bersifat moral. Selain itu banyak pula penyakit yang juga terjadi karena perilaku, seperti diabetes, penyakit jantung, kanker, dan lain-lain tapi tetap ditanggung asuransi.

Alangkah naifnya kalau perusahaan asuransi mengaitkan HIV/AIDS dan PMS dengan moral. Soalnya, menurut dr Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI, virus hepatitis B pun menular melalui hubungan seksual persis seperti HIV. Tapi, beberapa perusahaan asuransi tetap membayar klaim pengobatan penyakit yang berkaitan dengan hepatitis B, tapi monolak klaim HIV/AIDS dan PMS. Kalangan manajer puncak dan CEO (chief executive officer) perusahaan dengan suka rela menjalani tes hepatitis B. Dengan senang hati pula mereka menerima hasil tes dan perusahaan pun membayar biaya pengobatannya.

Memang, perusahaan asuransi komersial bebas menetapkan pengecualian dalam polisnya, antara lain karena preexisting conditions yaitu suatu kondisi yang diderita tertanggung sebelum polis berlaku, seperti cacat bawaan sejak lahir dan penyakit-penyakit menahun. Sedangkan HIV dan ARC (AIDS Related Complex) jelas bukan kategori preexisting conditions. Ada pula penolakan HIV/AIDS karena menilai biaya pengobatannya besar. Padahal, biaya pengobatan kanker dan cuci darah juga besar. Maka, bagi calon pemegang polis perlu memperhatikan dan membaca polis agar jelas kondisi yang dikecualikan.
 
Ada pula asuransi yang menilai obat-obatan yang dipakai Odha tidak tergolong obat karena tidak menyembuhkan. Alasan ini dibantah dr Adi Sasongko dari Yayasan Kusuma Buana (YKB) Jakarta, sebuah LSM yang bergerak di bidang HIV/AIDS, "Parasetamol (penurun panas-red.) juga bukan obat karena hanya menghilangkan gejala (symptom)," katanya. Tapi, asuransi, seperti PT Askes, tetap membayar klaim parasetamol dan menolak klaim HIV/AIDS.

Padahal, AZT merupakan obat karena dapat menurunkan risiko penularan dari seorang ibu yang HIV+ kepada janin yang dikandungnya. Kalau tanpa AZT penularan antara 20-40% tapi dengan AZT risiko penularan di bawah 10%.

Begitu pula dengan obat-obat antiretroviral dikategorikan sebagai obat kausal karena dapat menghambat laju HIV.

Soal penyakit kelamin pun, sebenarnya, dapat diperdebatkan karena ada kesan penyakit kelamin merupakan penyakit di alat kelamin yang tertular melalui hubungan seksual. Padahal, AIDS jelas bukan penyakit (pada alat) kelamin dan virus penyebabnya (HIV) pun tidak hanya menular melalui hubungan seksual. Begitu pula dengan herpes yang bisa tertular melalui kontak kulit dengan bagian yang terkena herpes.

"Kami tidak membayar klaim AIDS karena itu penyakit kelamin," kata seorang manajer sebuah asuransi terkenal, tapi mereka tetap membayar klaim hepatitis B yang digolongkan sebagai PMS. Kalau asuransi melihat HIV/AIDS sebagai penyakit pada (alat) kelamin tentu salah besar karena AIDS sendiri merupakan kumpulan gejala penyakit yang terjadi karena sistem kekebalan tubuh sudah dirusak HIV.

Jika industri asuransi melihat PMS sebagai akibat perilaku yang amoral tentu sangat tidak fair karena ada infeksi saluran reproduksi yang tidak hanya terjangkit melalui hubungan seksual. Pengalaman dr Ardin Sani, dokter di klinik PKBI Ujungpandang, Sulsel, misalnya, menunjukkan ada wanita yang menderita infeksi saluran reproduksi sejak masih gadis.Infeksi terjadi karena semasa gadis wanita itu tidak membersihkan diri dengan baik.

Alangkah gegabahnya perusahaan asuransi kalau menolak klaim pengobatan wanita ini dengan alasan penyakit itu terkait dengan moral. Tentu tidak etis kalau menolak klaim PMS suami atau isteri yang terinfeksi dari isteri atau suaminya dalam ikatan perkawinan yang sah karena hal itu terjadi bukan karena perilaku (amoral) mereka.

Jika asuransi mengecualikan HIV/AIDS dan PMS tentu akan mempengaruhi industri asuransi karena perkiraan WHO setiap tahun ada 340 juta kasus baru PMS dan perkiraan UNAIDS setiap hari 16.000 penduduk dunia terinfeksi HIV. Jadi, sudah saatnya bagi industri asuransi menghitung premi untuk HIV/AIDS dan PMS tanpa harus mengait-ngaitkannya dengan moral karena tidak selamanya HIV dan PMS tertular melalui perilaku yang amoral.

Di Thailand pemerintah melarang asuransi menolak klaim HIV/AIDS. Industri asuransi di sana pun ternyata sudah menghitung risiko HIV/AIDS dalam premi asuransi jiwa dan kesehatan. Sedangkan di Indonesia persoalan masih berkutat di seputar moral, pada waktu yang sama penyebaran HIV dan PMS terus terjadi. Sampai Maret 1999 kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 846.

Lagi pula bagaimana jadinya kalau seorang karyawan yang tertular PMS tidak diobati tentu akan sangat membahayakan keselamatan dirinya dan mengganggu aktivitas kerjanya.

Untunglah masih ada asuransi yang fair. "Kami tidak melihat penyebab kamatiannya," kata Tiwuk Siswadi, SE, Marketing Manager PT Asuransi Jiwa Bumiputera John Hancock. Jadi, biar pun meninggal karena AIDS klaimnya tetap dibayar asalkan sudah melewati batas masa tunggu (grace period) selama dua tahun. Jangankan karena AIDS yang meninggal karena bunuh diri pun klaimnya tetap dibayar John Hancock. Yang tidak dibayar mati karena hukuman mati, terbunuh dalam tindak kriminal dan kejahatan yang disengaja.

Dalam asuransi yang bersifat social insurance scheme dan asuransi kesehatan yang dijalankan pemerintah, menurut Drs Safri Ayat, Direktur Akademi Asuransi Trisakti (Akastri) Jakarta, sebaiknya tidak ada pengecualian. Hal ini bisa dilakukan karena asuransi itu tidak profit oriented, sehingga fungsi sosialnya yang dikedepankan.

Jadi, sudah saatnya dievaluasi kepesertaan otomatis dan wajib masuk asuransi jika ada pengecualian yang tidak objektif, yaitu penolakan klaim PMS dan HIV/AIDS.

* Dimuat di NewsletterWartaAIDS”, Nomor 43, 3 Mei 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.