20 Juni 2013

Lokalisasi Pelacuran di Kota Bitung, Sulut: untuk Menanggulangi HIV/AIDS

Tanggapan Berita (21/6-2013) – ”Setiap tahunnya pengidap HIV/AIDS kota Bitung makin bertambah dan menjadi populasi terbanyak di Sulawesi Utara. Berdasarkan data yang dirangkum Dinas Kesehatan kota Bitung, jumlah Orang dengan HIV/Aids (ODHA) hingga Mei 2013 telah mencapai 264 orang.” Ini lead pada berita ”Dewan: Lokalisasi di Bitung untuk Cegah HIV/AIDS dan Tambah PAD” di www.portalkbr.com (30/5-2013).

Pernyataan dalam lead berita di atas menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun atau berkurang.

Yang menjadi persoalan besar adalah jumlah kasus baru yang terus terdeteksi serta insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Disebutkan bahwa Dinkes Kota Bitung dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bitung mengaku masih banyak pengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi.

Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi, terutama pada laki-laki dewasa, menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah.

Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga menunjukkan penyebaran HIV yang dilakukan oleh laki-laki dewasa.

Celakanya, Pemkot Bitung tidak mempunyai program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat.

Disebutkan pula bahwa pratek PSK yang sebagian besar  terselubung memudahkan penularan HIV/AIDS.

Jika dianalogikan dari pernyataan di atas, maka di Kota Bitung adalah pelacuran terbuka yang ‘legal’.

Yang perlu diingat adalah:

(1) Penyebaran HIV/AIDS pada pelacuran tidak terkait dengan sifat pelacuran tsb., yaitu terbuka, tertutup, legal atau ilegal, tapi apakah di pelacuran tsb. ada program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret dan sistematis atau tidak.

(2) Penularan HIV terhadap PSK pada praktek pelacuran dilakukan oleh laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK, dalam kehidupan seharĂ­-hari bisa sebagai seorang suami, baik penduduk Kota Bitung maupun pendatang.

(3) Penularan HIV dari PSK pengidap HIV/AIDS ke laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom pun terjadi pada praktek pelacuran. Laki-laki dewasa yang tertular HIV dari PSK dalam kehidupan seharĂ­-hari bisa sebagai seorang suami, baik penduduk Kota Bitung maupun pendatang.

Maka, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Celakanya, Pemkot Bitung tidak mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Memang, program tsb. tidak akan bisa berjalan jika pelacuran tidak dilokalisir. Maka, amatlah beralasan kalau kemudian Wakil Ketua DPRD Kota Bitung, Maurits Mantiri ,mengatakan lokalisasi sudah sangat mendesak untuk diadakan di “Kota Cakalang” (Bitung-pen.). 

Menurut Mantiri, sebagai kota pelabuhan harus ada lokalisasi pelacuran untuk mengantisipasi penyebaran HIV/AIDS.

Persoalannya adalah biar pun ada lokalisasi pelacuran, tapi kalau tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melacur dengan PSK di lokalisasi maka lokalisasi pelacuran pun tidak ada manfaatnya dalam menanggulangi HIV/AIDS.

Sedangkan Kabid Penanggulangan Penyakit Menular Dinkes Kota Bitung, Elisabet Sompotan,  mengatakan bahwa pihaknya sering melakukan sosialisasi dan pembagian kondom kepada PSK di Tenda Biru dan Lorong Popaya.

Sosialisasi dan pembagian kondom bukan program yang konkret karena tidak sistematis. Pengalaman Thailand menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melacur adalah dengan program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran. Selain itu ada pula langkah konkret untuk memantau pemakaian kondom.

Tanpa program yang konkret, maka insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melacur di Kota Bitung akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.