Tanggapan Berita (21/6-2013) – ”tabloidjubi.com
Kepala Bidang Pemberantasan Penyakit dan HIV (P2H) Dinkes
Papua, dr Ni Nyoman Sri Antari.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Papua sampai Desember 2012 mencapai 13.276. Angka ini pun tidak menggambarkan kasus yang ril
di masyarakat karena ada pengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi.
Lagi-lagi hal itu merupakan
penyangkalan terkait dengan perilaku atau kegiatan yang berisiko tertular
HIV/AIDS.
Tingkat risiko tertular HIV/AIDS
tidak ada kaitannya dengan kondisi alam dan letak geografis sebuah daerah atau
negara.
Risiko tertular HIV erat
kaitannya dengan perilaku orang per orang di mana pun dia berada, yaitu:
(1) Laki-laki dewasa yang pernah
atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar
nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti.
(2) Perempuan dewasa yang pernah
atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar
nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti.
(3) Laki-laki dewasa yang pernah
atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang
sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Disebutkan dalam berita bahwa angka itu (prevalensi yaitu perbandingan antara penduduk yang mengidap HIV/AIDS dan penduduk yang tidak mengidap HIV/AIDS-pen.) merupakan masalah besar karena sangat didukung oleh keadaan di Papua.
Jika disimak dari tiga kondisi yang mendorong perilaku berisiko di atas,
maka sama sekali tidak ada kaitannya dengan keadaan atau kondisi geografis
Papua dan Papua Barat.
Di negara-negara yang tidak bermasalah dengan kondisi atau keadaan
geografis, seperti negara yang tertutup dan tidak ada industri hiburan malam,
pun banyak kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Arab Saudi, misalnya, sudah
melaporkan lebih dari 16.000 kasus AIDS.
Disebutkan oleh dr Ni Nyoman bahwa ketidaktahuan
informasi yang kurang, sangat kita harapkan sebenarnya kepada masyarakat lebih
luas untuk mencegah, karena kalau tidak akan menjadi bumerang di Papua.
Kalau hanya sekedar informasi tidak akan ada dampaknya secara langsung
terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS jika tidak dilengkapi dengan program
yang konkret.
Di lokasi pelacuran, misalnya, sudah ada penjangkauan yang dilakukan oleh
LSM untuk mengajak laki-laki agar memakai kondom jika melalukan hubungan
seksual dengan PSK.
Tapi, apa yang terjadi?
Laki-laki menolak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan
PSK. Akibatnya, jika laki-laki itu mengidap HIV/AIDS, maka dia menularkan HIV
kepada PSK. Sebaliknya, laki-laki lain yang juga melakukan hubungan seksual
dengan PSK tanpa kondom berisiko pula tertular HIV.
Dr Ni Nyoman berharap semua pihak untuk bersatu, bergandengan tangan bekerja sekeras mungkin agar masalah tersebut bisa ditekan, karena hal ini bukan masalah Dinkes saja, tapi semua pihak, termasuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA).
Pernyataan itu pun mendorong penyangkalan. Yang jelas Dinkeslah yang
membuat program yang konkret agar bisa dijalankan oleh pihak lain.
Celakanya, Dinkes Papua dan Dinkes Papua Barat sama sekali tidak mempunyai
program yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS, terutama pada
laki-laki yang melacur.
Dalam banyak peraturan daerah (Perda) yang diterbitkan di Papua dan Papua
Barat sama sekali tidak ada satu pasal pun yang memberikan cara yang konkret
untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Dalam Perda AIDS Prov Papua, misalnya, lokasi pelacuran pun tidak ada. Yang
ada adalah ’tempat-tempat berisiko terjadi penularan HIV’. Ini jelas tidak
konkret dan merupakan kemunafikan (Lihat: Perda AIDS Prov
Papua: Tidak Ada Lokalisasi Pelacuran (di Papua)- http://www.aidsindonesia.com/2012/08/dalam-perda-aids-prov-papua-tidak-ada.html).
Masih menurut dr Ni Nyoman, Dinas Kesehatan terbatas dalam penanggulangan
HIV/AIDS karena keterbatasn dana.
Merancang program penanggulangan yang konkret dan sistematis tidak
memerlukan dana yang besar. Yang diperlukan adalah mekanisme yang sistematis
untuk menjalankan dan memantau program.
Persoalannya adalah Dinkes Papua tidak mempunyai program yang konkret untuk
menurunkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki yang melacur.
Tanpa program yang konkret dan sistematis, terutama di lokasi pelacuran,
maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada
’ledakan AIDS’ di masyarakat Papua dan Papua Barat.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.