Opini (23/6-2013) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar
pertemuan dengan ratusan pemimpin perusahaan swasta di Medan, Sumatera Utara
(24/6-2013). Materi yang dibahas
pada pertemuan tsb. adalah seputar pencegahan dan pemberantasan gratifikasi
seks dan suap melalui fasilitas hiburan (TRIBUNnews.com 23/6-2013).
Terlepas dari apakah gratifikasi seks dan
suap fasilitas hiburan berupa cewek yang diberikan pihak swasta ke
penyelenggara negara merupakan korupsi atau tidak, tapi dari aspek epidemi
HIV/AIDS gratifikasi seks merupakan salah satu faktor pendorong penyebaran
HIV/AIDS di kalangan pejabat atau penyelenggara negara.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia sampai
Desember 2012 mencapai 143.889 yang terdiri atas 98.390 HIV dan 45.499
AIDS dengan 8.235
kematian. Yang
perlu diingat adalah angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di
masyarakat karena banyak orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak
terdeteksi.
Ada anggapan bahwa cewek atau
perempuan yang berisiko menularkan HIV/AIDS hanyalah cewek atau perempuan yang
bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di lokasi pelacuran dan di
tempat-tempat hiburan malam, termasuk ‘panti pijat plus-plus’.
Anggapan itu merupakan mitos
(anggapan yang salah) karena risiko tertular HIV/AIDS pada cewek atau perempuan
bukan karena dia seorang PSK atau perempuan pekerja di tempat hiburan malam dan
panti pijat, tapi karena perilakunya yaitu sering melakukan hubungan seksual
tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti.
Seorang perempuan, dalam hal ini
cewek yang menjadi gratifikasi seks, berisiko tertular HIV karena dia sering
melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang
berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.
Seperti yang ada dalam gambar,
seorang cewek gratifikasi seks pernah melakukan hubungan seksual dengan banyak
laki-laki. Di antara laki-laki tsb. ada juga yang menjadi pelanggan PSK. Ada
pula yang punya pasangan waria. Ada lagi yang juga punya pasangan laki-laki
lain, disebut LSL yaitu lelaki yang suka seks lelaki.
Ada kemungkinan salah satu dari
laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dengan cewek gratifikasi seks
mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan pada cewek gratifikasi seks.
Ketika seorang penyelenggara
negara menerima cewek gratifikasi ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu:
(1) Laki-laki penyelenggara
negara tsb. justru pengidap HIV/AIDS, maka dia menularkan HIV/AIDS kepada cewek
gratifikasi seks.
(2) Laki-laki penyelenggara
negara yang menerima cewek gratifikasi seks yang sudah mengidap HIV/AIDS
berisiko tertular HIV.
Dalam kehidupan sehari-hari
laki-laki penyelenggara negara yang menularkan HIV kepada cewek gratifikasi
seks dan laki-laki penyelenggara negara yang tertular HIV dari cewek gratifikasi seks bisa saja
sebagai suami. Maka, mereka pun akan menularkan HIV kepada istrinya (horizontal).
Jika istri mereka tertular HIV, anak yang dikandung istri pun berisiko pula
tertular HIV (vertikal).
Bisa saja terjadi cewek
gratifikasi seks justru merupakan ‘langganan’ dari pelaku usaha swasta sehingga
petinggi di pihak swasta itu pun bisa mengalami hal yang sama dengan
penyelenggara negara.
Di beberapa daerah kasus HIV/AIDS
mulai terdeteksi pada PNS dan aparat. Ini merupakan konksekuensi logis karena,
(a) ada kemungkinan mereka menerima cewek gratifikasi, atau (b) mereka
mempunyai uang karena mendapat penghasilan yang tetap sehingga bisa membeli
seks secara rutin.
Maka, upaya KPK untuk mengatur
sanksi pidana bagi pemberi dan penerima gratifikasi seks merupakan salah satu
langkah yang berarti dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, terutama
pada kalangan penyelenggara negara.***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful
W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.