Tanggapan Berita (8/6-2013) – ”Penderita HIV/AIDS ternyata tidak
hanya didominasi oleh orang-orang yang beresiko tinggi (Resti) tertular seperti
Penjaja Seks Komersial (PSK), dan petugas medis saja. Faktanya saat ini Ibu
Rumah Tangga (IRT) adalah kalangan yang paling banyak menderita HIV/AIDS.”
Pernyataan di atas merupakan lead pada berita ”33 IRT Terjangkit HIV/AIDS” di bantenposnews.com (7/6-2013)
tentang kasus HIV/AIDS di Kota Cilegon, Prov Banten.
Ada bebeapa fakta yang luput dari
perhatian terkait dengan pernyataan pada lead berita di atas, yaitu:
(1) Yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS
bukan kelompok atau kalangan, tapi orang per orang. Artinya, seseorang berisiko
tinggi tertular HIV melalui hubungan seksual jika dilakukan dengan orang yang
berganti-ganti (di dalam dan di luar nikah) dengan kondisi suami atau laki-laki
tidak memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual atau dengan orang yang
sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK dan waria, dalam kondisi laki-laki
tidak memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual.
(2) Yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK
justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami.
Selanjutnya ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK yang sudah mengidap
HIV/AIDS. Laki-laki ini pun dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang
suami. Maka, laki-laki yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK dan laki-laki yang
tertular HIV/AIDS dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di
masyarakat, al. dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu
rumah tangga.
(3) Jika banyak ibu rumah tangga yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu artinya banyak suami yang tertular HIV/AIDS.
Jika seorang laki-laki mempunyai istri lebih dari satu, maka kian banyak
perempuan yang berisiko tertular HIV yang pada gilirannya meningkatkan jumlah
anak-anak yang lahir dengan HIV/AIDS.
(4) Terkait dengan jumlah PSK yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS erat kaitannya dengan mobilitas mereka yang selalu
berpindah-pindah dalam hitungan bulan. Kondisi ini bisa membuat PSK yang
beroperasi di Kota Cilegon silih berganti. Selain itu tidak ada penjangkauan
sehingga tidak ada PSK yang menjalani tes HIV di Klinik VCT.
Disebutkan dalam berita: “ .... dari tahun ke tahun kasus HIV/AIDS di Kota
Cilegon terus terjadi peningkatan. Hingga April 2013 ini penyakit yang belum
ditemukan obatnya tersebut mencapai 392 kasus dan sudah menewaskan 65 orang.”
Laporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya,
kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya. Maka, laporan kasus HIV/AIDS
akant terus bertambah atau meningkat dan tidak akan pernah turun atau berkurang
biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal.
Ada tiga ‘pintu masuk’ HIV/AIDS ke Kota
Cilegon yaitu:
(a) Melalui laki-laki dan perempuan yang
tertular HIV di Kota Cilegon (Lihat Gambar 1). Pemkot Cilegon bisa melakukan
intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan
seksual dengan PSK. Tapi, ini mustahil karena pratek pelacuran tidak
dilokalisir. Intervensi lain adalah program mengganti narkoba suntik dengan metadhon.
Selain itu bisa juga intervensi terhadap perempuan hamil yaitu menjalankan
program pencegahan HIV dari-ib-ke-bayi yang dikandungnya. Tapi, harus ada
regulasi yang mengikat agar semua perempuan hamil menjalani tes HIV.
(b) Melalui laki-laki dan perempuan yang
tertular HIV di luar Kota Cilegon (Lihat Gambar 2). Dalam konsidi ini
intervensi yang bisa dilakukan hanya terhadap perempuan hamil yaitu menjalankan
program pencegahan HIV dari-ib-ke-bayi yang dikandungnya. Tapi, harus ada
regulasi yang mengikat agar semua perempuan hamil menjalani tes HIV.
(c) Melalui laki-laki dan perempuan yang
tertular HIV di luar negeri (Lihat Gambar 3). Intervensi sulit dilakukan karena
lintas negara.
Narasumber dan wartawan yang menulis
berita ini tidak membawa data 65 kematian terkait HIV/AIDS ke realitas sosial
sehingga masyarakat tidak mendapatkan informasi yang komprehensif dari berita
ini.
Kematian seorang pengidap HIV/AIDS terjadi
pada masa AIDS yaitu setelah tertular antara 5-15 tahun yang disebabkan oleh
penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.
Nah, dalam kurun waktu 5-15 tahun seorang
pengidap HIV/AIDS sudah menularkan HIV kepada orang lain. Kalua dia seorang
suami maka dia sudah menularkan HIV ke istrinya. Kalau ada di antara yang
meninggal itu PSK, maka sudah puluhan ribu laki-laki yang berisiko tertular
HIV, yaitu laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK
pengidap HIV/AIDS.
Dikabarkan bahwa ada 27 PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Dengan jumlah ini saja sudah setiap malam ada
81 (27 PSK x 3 laki-laki) laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS jika
mereka tidak memakai kondom ketika hubungan seksual dengan PSK.
Menurut Kepala Dinkes Kota Cilegon, dr Ariadna, besarnya kasus HIV/AIDS di kalangan
ibu rumah tangga (33) bisa disebabkan dari suami yang berperilaku seks tidak
sehat.
Dr Ariadna lagi-lagi menyebutkan hubungan seksual berisiko yaitu hubungan
seksual tanpa kondom dengan PSK sebagai ’seks tidak sehat’. Ini jargon moral
yang justru berupa mitos (anggapan yang salah) yang pada gilirannya
membingungkan masyarakat.
Celakanya, biar dr Ariadna sudah mengetahui penyebaran HIV/AIDS kepada
ibu-ibu rumah tangga dari suami yang melacur tanpa kondon, tapi Pemkot Cilegon,
dalam hal ini Dinkes Kota Cilegon dan KPA Kota Cilegon, tidak mempunyai program
yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui
pelacuran.
Ya, kita maklum kalau dr Ariadna kemudian mengatakan: Tidak ada pelacuran
di Kota Cilegon!
Dr Ariadna benar adanya. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah pelacuran
yang dilokalisir yang ditangani oleh dinas sosial.
Sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu
yang melibatkan PSK langsung (PSK di lokasi dan lokalisasi pelacuran, dan
jalanan) serta PSK tidak langsung yaitu
PSK yang praktek melalui panggilan di penginapan, losmen, hotel melati dan
hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam (cewek bar, cewek disko,
cewek kafe, cewek pub, dll.),anak sekolah, mahasiswi, cewek SPG, dan ibu-ibu
rumah tangga.
Disebutkan dalam berita bahwa penanggulangan terhadap kasus HIV/AIDS,
dikatakan Ariadna bukan hanya tanggung jawab Dinas kesehatan semata.
Yang jelas tanggung jawab ada pada Pemkot Cilegon dalam hal ini Dinkes Kota
Cilegon, al. menjalankan program yang konkret yang bisa didukung oleh
masyarakat. Celakanya, Pemkot Cilegon tidak mempunyai program yang konkret
untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui praktek
pelacuran.
Sedangkan Ketua Sekertariat Komisi Pemeberantasan HIV/AIDS (KPA) Kota
Cilegon, Renitha S Tarbin, mengatakan bahwa kenaikan jumlah kasus HIV/AIDS
tersebut merupakan sebuah fenomena yang harus segera ditanggulangi.
Caranaya? Menurut Renitha, pihaknya melalui KPA Kota Cilegon terus
menggiatkan sosialisasi di berbagai tempat.
Sosialiasi sudah dilakukan sejak awal epidemi tahun 1987, tapi hasilnya nol
besar karena berbagai faktor, al. informasi yang disampaikan tidak komprehensif
karena dibumbui dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos. Contohnya, dr
Ariadna sendiri menyebutkan ‘hubungan seksual berisiko’ sebagai ‘hubungan
seksual tidak sehat’. Ini menyesatkan karena semua hubungan seksual adalah
sehat sebagai penyaluran dorongan hasrat seks.
Yang diperlukan adalah program yang konkret yaitu intervensi terhadap
laki-laki yang melacur yaitu mewajibkan mereka memakai kondom. Celakanya, dalam
Perda AIDS Prov Banten pun tidak ada pasal yang konkret tentang cara
penanggulangan HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Provinsi Banten - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-provinsi-banten.html).
Selama Pemkot Cilegon tidak menjalankan program yang konkret, maka selama
itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada
‘ledakan AIDS’.***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W.
Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.