*
Media massa menyebarluaskan istilah narkoba yang ngawur
“Hari
Anti Narkoba Internasional” disingkat HANI. Inilah semboyoan nasional. Coba
bandingkan dengan semboyan yang baku secara internasional yaitu “International
Day Against Drug Abuse and Illicit Trafficking”.
Secara
kasat mata semboyan nasoinal itu salah kaprah karena yang dilawan oleh dunia
adalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
Soalnya,
narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) juga merupakan obat, seperti
morfin yang menjadi obat anestesi, dikenal sebagai obat bius, untuk
menghilangkan rasa sakit pada orang-orang yang menjalani pembedahan (operasi)
di rumah sakit.
Jargon
yang salah kaprah itu dimulai ketika ‘terjemahan’ tema internasional tersebut
disebut sebagai “Hari Anti Madat“ di era rezim Orde Baru.
Penggunaan
istilah madat untuk pengganti narkoba dalam tema internasional itu tidak tepat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan
bahwa madat adalah candu (yang telah dimasak dan siap untuk diisap). Jadi, anti madat
berarti anti (mengisap) candu.
Kalau
yang dilarang hanya madat (mengisap candu), maka tentu saja yang menggunakan
narkoba (serbuk) dengan suntikan, ditelan dan dihirup tidak termasuk madat.
Kata
madat tidak menggambarkan penggunaan semua zat yang termasuk narkoba karena
madat hanya terkait dengan mengisap candu. Selain candu ada daun (ganja) yang
diisap, serbuk (heroin, morfin, putauw, shabu-shabu, dll.) yang dihirup dan
disuntikkan, dan pil (ecstasy, Rhohipnol, dll.) yang ditelan, serta yang tidak
termasuk narkoba berupa cairan (lem, bensin, dll.) yang dihirup.
Badan
Kesehatan Sedunia PBB (WHO) sejak tahun 1980-an sudah mengganti istilah drug
abuse (penyalahgunaan obat) menjadi substance abuse (penyalahgunaan zat) karena
yang disalahgunakan bukan obat tapi zat (narkotika) yang ada dalam obat.
Celakanya,
media massa pun ikut-ikutan pula menyebarluaskan istilah-istilah yang ngawur
bin ngaco seputar narkoba.
“Dunia
Damai Tanpa Narkoba”. Ini jelas ngawur karena tanpa narkoba justru dunia
tidak damai karena banyak pasien yang mati di meja operasi karena tidak kuat
menahan rasa sakit. Jargon yang pas adalah “Dunia Damai Tanpa Penyalahgunaan
Narkoba”.
“Banten Tebas Narkoba”
(Banten Bebas Narkoba). Astaga, bagaimana dokter menangani pasien yang operasi
di rumah sakit? Oh, mungkin Pemprov Banten akan memakai jasa debus, yaitu
kesenian bela diri dari Banten yang mempertunjukan
kemampuan manusia yang luar biasa. Misalnya kebal senjata tajam, kebal air
keras dan lain- lain (id.wikipedia.org).
Coba simak pernyataan tentang
narkoba ini di media massa:
(1) Narkoba adalah narkotika
dan obat-obat berbahaya. Semua obat
berbahaya jika diminum tidak sesuai dengan dosis yang ditentukan oleh dokter.
(2) Narkoba adalah narkotika
dan obat-obat terlarang. Sebagian obat, dikenal sebagai Obat Daftar G,
terlarang jika tidak disertai dengan resep dokter.
(3) Serbuk haram. Tidak ada zat
yang haram menurut hukum Islam di dalam semua jenis narkoba.
(4) Pil setan. Manusia tidak
mengenal pil yang dipakai di kalangan setan begitu pula sebaliknya. Atau memang
wartawan mengetahuinya berdasarkan wawancara.
(5). Serbuk setan. Manusia
tidak mengenal pil yang dipakai di kalangan setan begitu pula sebaliknya. Atau
memang wartawan mengetahuinya berdasarkan wawancara.
(6) Pil haram dan serbuk haram.
Tidak ada zat-zat yang haram (menurut kaidah Islam) di dalam semua jenis
narkoba.
(7) Obat terlarang. Semua obat
daftar G terlarang selama dipakai di luar aturan medis.
(8) Obat berbahaya. Narkoba
tidak merupakan obat yang berbahaya selama dipakai menurut aturan medis,
seperti morfin, obat untuk anestesi (bius), adalah narkotik.
(9) Naza (narkotika, alkohol
dan zat adiktif). Tidak semua zat adiktif,
seperti nikotin (rokok), kafein (teh dan kopi) dan alkohol termasuk dalam
kategori narkotika.
(10) Napza (narkotik, alkohol,
obat psikotropika dan zat adiktif). Tidak semua zat adiktif, seperti nikotin
(rokok), kafein (teh dan kopi) dan alkohol termasuk dalam kategori narkotik.
Psikotropika sudah diatur dalam UU khusus.
Media massa juga kurang waspada
menyebutkan pengidap HIV/AIDS yang terkait dengan narkoba. Risiko tertular
HIV/AIDS melalui narkoba terjadi pada penyalahguna narkoba yang dipakai dengan
jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran. Jika salah satu dari mereka
mengidap HIV/AIDS, maka jarum suntik yang dipakai berganti-ganti itu akan
menjadi media penyebaran HIV/AIDS di antara mereka.
Selain itu tidak bisa
dibuktikan semua penyalahguna narkoba yang HIV-positif memang tertular melalui
jarum suntik. Soalnya, ada di antara mereka atau sudah melakukan hubungan
seksual berisiko, al. tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau
dengan yang sering berganti-ganti pasangan, sebelum dan selama menyalahguna
narkoba. Kecuali yang bersangkutan bisa dibuktikan masih perjaka tulen atau
perawan tingting ketika terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Data yang dikemukakan ke publik
menunjukkan sekitar 4 juta penduduk Indonesia menjadi ’budak’ alias
penyalahguna narkoba. BNN (Badan Narkotika Nasional)memperkirakan tahun 2015
mencapai 5,1 juta penyalahguna yang menghabiskan uang Rp 17,5 triliun untuk
membeli narkoba di pasar gelap.
Jika dirunut ke belakang sejak
tahun 1969 penggunaan narkoba sudah mulai dicatat di Indonesia. Bahkan, ada
cacatan yang menunjukkan sejak awal tahun 1617 di Indonesia sudah dikenal candu
yang dicampur dengan tembakau.
Kebutuhan candu di Indonesia
ketika itu dikabarkan besar karena di akhir abad ke-18 pemerintah kolonial
Belanda mengimpor 87 ton opium dari India.
Narkoba yang disalahgunakan di
Indonesia pada priode 1969-1973 adalah jenis opioid (morfin dan ganja).
Sedangkan pada priode 1974-1979
narkoba yang disalahgunakan di Indonesia adalah morfin, ganja, barbiturat dan
obat-obat tidur.
Sejak tahun 1980 narkoba yang
disalahgunakan di Indonesia adalah ganja, barbirutar, hypnotika, morfin,
heroin, psikotropika. Belakangan mulai muncul ecstasy. Selanjutnya dikenal pula
putauw dan shabu-shabu yang tidak lain adalah kokain dan heroin.
Selain narkoba yang sudah
dikenal luas, sekarang mulai muncul jenis-jenis narkoba baru yang merupakan
turunan dari narkoba yang sudah ada. Dikabarkan BNN dan Kemenkes sudah
mengidentifikasi 251 narkoba jenis baru.
Langkah-langkah
polisional yang repsesif terhadap remaja, al. melakukan tes massal di sekolah
dan perguruan tinggi tidak menghargai perilaku sebagian murid dan mahasiswa
yang melindungi diri dari penyalahgunaan narkoba.
Sebelum
tes massal narkoba, misalnya terhadap murid dan mahasiswa, diperlukan konseling
atau bimbingan untuk mengetahui perilaku mereka terkait dengan penyalahgunaan
narkoba.
Kalau
semua murid dan mahasiswa dipaksa menjalani tes urine secara massal tanpa
konseling, maka mereka pun tidak akan bangga lagi terhadap dirinya sebagai
siswa atau mahasiswa yang tidak menyalahgunakan narkoba.
Yang
paling tidak masuk akal di negeri ini adalah murid dan mahasiswa yang memakai
narkoba dikeluarkan dari sekolah dan kampus, tapi artis-artis penyalahguna narkoba
justru dielu-elukan masyarakat. Ini merupakan sikap masyarakat yang ambiguitas
(bermuka dua alisas munafik).
Bertolak
dari fakta tentang penyalahgunaan narkoba di Indonesia yang sudah melewati
sejarah yang panjang, maka penanganan narkoba tidak hanya dengan jargon-jargon
moral yang normatif yaitu menghilangkan narkoba. Yang perlu dihilangkan adalah
perilaku yang menyalahgunakan narkoba.***
AIDS Watch Indonesia/Syaiful W.
Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.