Tanggapan Berita (1/6-2013) – Walikota Jayapura, Papua, Benhur
Tommy Mano, meminta kepada para pramuria dan pramupijat untuk memeriksakan
kesehatannya di PKR Kotaraja secara periodik. Ini ada dalam berita
“Kembali Ditemukan Penderita HIV/AIDS di Kota Jayapura” di tabloidjubi.com
(28/5-2013).
Pada rentang waktu antara seorang
pramuria atau pramupijat tertular IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing
nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, herpes
genitalis, dll.) atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus dan pemeriksaan (tes)
sudah terjadi insiden infeksi IMS atau HIV/AIDS baru atau dua-duanya sekaligus
(Lihat Gambar 1).
Andaikan pemeriksaan kesehatan
rutin setiap tiga bulan. Maka, dalam kurun waktu tiga bulan saja seorang
pramuria/pramusaji bisa menularkan IMS
atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus kepada 960 laki-laki (1
pramuria/pramupijat x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan).
Jumlah laki-laki yang berisiko
tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus kian banyak jika pramuria
atau pramupijat yang beroperasi di Kota Jayapura banyak.
Pada gilirannya laki-laki yang
tertular tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus dari
pramuria/pramupijat akan menularkan tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya
sekaligus kepada istrinya. Jika istrinya tertular, maka ada pula risiko
penularan ke bayi yang dikandungnya.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota
Jayapura, Papua, semapai 31 Desember 2012 mencapai 2.783. Tentu saja angka ini
tidak menggambarkan jumlah yang kasus yang sebenarnya di masyarakat karena
penyebaran HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang
terdeteksi (2.783) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas
permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai
bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Kepada Benhur, penanggung jawab
Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR), dr. Hesti Purikasari, mengemukakan bawah
mulai tahun 2010 sampai tahun 2012
terlihat angka HIV/AIDS terus merangkak naik
Kalau pernyataan ini disampaikan
oleh dr Hesti, maka sangat disayangkan karena pernyataan ini terkesan karena
tidak memahami cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan
dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu
seterusnya sehingga angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah berkurang
atau turun biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal.
Yang perlu disimak adalah
insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki yang melacur tanpa kondom
dengan pekerja seks komersial (PSK), pramuria atau pramupijat.
Disebutkan dari 468 pekerja
berisiko tinggi tertular HIV yaitu PSK, pramuria, pramupijat dan anak jalanan
di Kota Jayapura sampai April 2013 terdeteksi lima yang mengidap HIV/AIDS.
Itu artinya paling tidak ada lima laki-laki penduduk Kota Jayapura yang
menularkan HIV/AIDS ke pekerja berisiko. Kalau mereka mempunyai istri sehingga
ada risiko penularan HIV ke istri yang seterusnya istri pun berisiko pula
menularkan HIV ke janin yang dikandungnya.
Di sisi lain ada pula ratusan bahkan ribuan laki-laki penduduk Kota
Jayapura yang berisiko tertular HIV/AIDS dari lima pekerja berisiko tinggi tadi
(Lihat Gambar 2).
” …. target pemkot di tahun 2015 nanti, kita berharap akan zero penularan baru.” Ini pernyataan Benhur.
Celakanya, dalam berita tidak ada penjelasan tentang langkah konkret yang
dilakukan Benhur untuk mencapai target.
Kalau hanya melalui pemeriksaan kesehatan rutin, itu artinya membiarkan
penduduk Kota Jayapura tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus
baru diperiksa.
Yang diperlukan adalah program penanggulangan yang konkret dan sistematis
di hulu agar insiden infeksi HIV baru bisa diturunkan.
Zero penularan baru IMS atau HIV/AIDS adalah hal yang mustahil.
Pertama, tidak bisa dijamin tidak ada lagi laki-laki dewasa penduduk Kota Jayapura
yang melakukan perilaku berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS di Kota Jayapura
atau di luar Kota Jayapura.
Kedua, tidak bisa dijamin tidak ada lagi perempuan dewasa penduduk Kota Jayapura
yang melakukan perilaku berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS.
Ketiga, penduduk Kota Jayapura yang mengidap IMS dan HIV/AIDS yang tidak
terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV/AIDS.
Maka, yang diperlukan adalah langkah yang konkret yaitu program berupa
intervensi untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan
seksual dengan PSK/pramuria/pramupijat (Lihat Gambar 3).
Selain itu diperlukan pula program yang sistematis untuk mendeteksi
perempuan hamil yang mengidap HIV/AIDS. Ini diperlukan untuk menjalankan
program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Celakanya, Pemkot Jayapura tidak mempunya program yang konkret dan
sistematis untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Jika tidak ada program yang konkret berupa intervensi melalui regulasi,
maka selama itu pula penyebaran IMS dan
HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota Jayapura yang pada akhirnya akan bermuara
pada ‘ledakan AIDS’.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.