30 Mei 2013

Mendeteksi HIV/AIDS pada Waria di Kota Sukabumi, Jabar



Tanggapan Berita (31/5-2013) – Jika ada pekerja seks komersial (PSK) dan waria yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS banyak kalangan, seperti permintah daerah, dinas kesehatan, komisi penanggulangan AIDS (KPA) dan aktivis bagaikan ’kebakaran jenggot’.

Celakanya, mereka panik karena ada kasus HIV/AIDS pada PSK dan waria. Ini merupakan reaksi negatif karena pemahaman terhadap epidemi HIV/AIDS berpijak pada moral. Ketika ada PSK dan waria yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dikesankan itu terjadi karena perilaku yang terkait dengan moral.

Padahal, persoalan besar bukan pada PSK dan waria, tapi pada laki-laki heteroseks, dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK dan waria serta laki-laki heteroseks yang tertular HIV/AIDS dari PSK dan waria (Lihat Gambar).

Itulah yang terjadi pada pemeriksaan kesehatan terhadap 18 waria dan gay di Puskesmas Selabatu, Kota Sukabumi (Waria dan Gay Sukabumi Jalani Pemeriksaan HIV/AIDS, republika.co.id, 30/5-2013).

Hasil tes HIV dengan rapid test terhadap 19 waria disebutkan ada enam contoh darah yang reaktif. Tapi, perlu diingat bahwa tes HIV ini bersifat survailans tes HIV yaitu untuk memperoleh angka perbandingan antara waria yang mengidap HIV/AIDS dan yang tidak mengidap HIV/AIDS.

Selain itu perlu pula dipahami bahwa hasil tes HIV itu hanya berlaku saat darah 18 waria itu diambil. Setelah itu hasil survailans tidak berlaku lagi karena ada kemungkinan ada di antara mereka yang tertular HIV. Hasil survailans tes HIV itu juga bisa menghasilkan negatif palsu pada 12 waria karena ada kemungkinan ketika tes HIV mereka pada masa jendela yaitu kondisi tertular di bawah tiga bulan (Lihat Gambar).

Karena tes HIV itu survailans, maka mereka dikonseling lagi dan dianjurkan untuk tes HIV sebagat tes konfirmasi.

Maka, pernyataan ini: ”Sehingga ke enam orang tersebut harus menjalani pemeriksaan lanjutan untuk memastikan positif atau tidak mengidap HIV dan AIDS.” merupakan perbuatan melawan hukum karena tes  HIV adalah sukarela.

Disebutkan oleh Kepala Puskesmas Selabatu, Kecamatan Cikole, Suhendro Rusli, upaya pemeriksaan terhadap waria dan gay ini untuk mencegah penularan HIV dan AIDS.

Pernyataan Suhendro itu tidak akurat karena yang jadi persoalan adalah laki-laki heteroseks yang menularkan HIV/AIDS kepada waria dan laki-laki heteroseks yang tertular HIV/AIDS dari waria.

Risiko laki-laki heteroseks terular HIV melalui seks anal dengan waria terjadi karena kebanyakan laki-laki heteroseks justru jadi ’perempuan’ (disebut dianal dalam bahasa waria ditempong) ketika melakukan hubungan seksual dengan waria (waria menganal dalam bahasa waria menempong).

Menurut Pengelola Program Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Sukabumi, Zaenal Rahman, kasus penularan HIV/AIDS dalam tiga tahun terakhir kebanyakan dari hubungan seks tidak sehat. Sehingga diperlukan tindakan pencegahan untuk menekan kasus tersebut.

Pernyataan Zaenal ini pun tidak akurat karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan ’hubungan seks tidak sehat’. Setiap hubungan seksual, apa pun sifat dan bentuknya, adalah kegiatan yang sehat secara biologis.

Yang terjadi adalah hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yang berisiko, yaitu:

(1) Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti.

(2) Perempuan dewasa melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti.

(3) Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, serta waria.

Dalam berita tidak ada penjelasan tentang cara pencegahan untuk menekan kasus.

Yang harus dilakukan oleh Pemkot Sukabumi melalui Dinkes Kota Sukabumi dan KPA Kota Sukabumi untuk menekan laju penyebaran HIV/AIDS adalah program yang konkret berupa intervensi, yakni:

Langkah pertama adalah regulasi berupa kewajiban pemakaian kondom bagi laki-laki yang melakukan seks anal dengan waria (tentu saja ini tidak mungkin karena praktek waria tidak dilokalisir).

Langkah kedua yaitu menjalankan regulasi yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil (ini sangat mungkin dilakukan, tapi pemerintah belum menjalankannya secara sistematis).

Langkah ketiga yakni menjalankan program pencegahan HIV/AIDS dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (ini juga sangat mungkin dijalankan tapi dengan syarat langkah kedua harus berjalan sistematis).

Tanpa program yang konkret, penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota Sukabumi yang kalak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.