* “Kambing hitam” adalah
penyangkalan terhadap perilaku seks, terutama laki-laki, berisiko tertular
HIV/AIDS
Tanggapan Berita (26/5-2013)
–Selain itu, sejak dioperasikan jembatan Suramadu yang menghubungkan daratan
Madura dengan Surabaya juga diyakini menjadi penyebab cepat tersebarnya virus
HIV/AIDS. “Secara tidak langsung jembatan Suramadu memberikan akses cepat
penyebaran virus itu.” Ini
pernyataan Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan, Dinkes Sumenep, Dwi
Regnani, dalam berita “Penderita di Sumenep makin meningkat. Jembatan
Suramadu dianggap percepat akses penyebaran HIV/AIDS” di lensaindonesia.com
(25/5-2013).
Terkait dengan pernyataan Dwi di atas ada beberapa pertanyaan, yaitu:
(1) Berapa kasus HIV/AIDS yang terdeteksi sebelum Jembatan Suramadu
dioperasikan?
(2) Berapa kasus HIV/AIDS yang terdeteksi sestelah Jembatan Suramadu
dioperasikan?
(3) Bagaimana sistem penjangkauan terhadap penduduk berperilaku berisiko
untuk tes HIV sebelum Jembatan Suramadu dioperasikan?
(4) Berapa fasilitas tes HIV yang tersedia sebelum Jembatan Suramadu
dioperasikan?
(5) Bagaimana sistem penjangkauan terhadap penduduk berperilaku berisiko
untuk tes HIV setelah Jembatan Suramadu dioperasikan?
(6) Berapa fasilitas tes HIV yang tersedia setelah Jembatan Suramadu
dioperasikan?
Kalau saja wartawan yang menulis berita bertanya kepada Dwi dengan enam
pertanyaan di atas, maka berita pun akan lebih komprehensif karena merupakan
realitas sosial bukan hanya pada tataran opini seperti yang ditulis wartawan
tsb. dalam berita ini.
Jika ada penduduk yang terdeteksi HIV pada masa AIDS setelah Jembatan
Suramadu dioperasikan, itu membuktikan bahwa ybs. tertular HIV sebelum jembatan
itu diopersikan. Soalnya, seseorang terdeteksi HIV, melalui tes HIV, pada masa
AIDS berarti ybs. sudah tertular HIV antara 5-15 tahun sebelumnya.
Disebutkan bahwa jumlah warga kabupaten Sumenep yang terinveksi virus
HIV/AIDS terus meningkat. Menjelang pertengahan tahun 2013 ini,
penderita virus mematikan itu sudah mencapai 46 orang.
Secara faktual yang meningkat
adalah jumlah kasus yang dilaporkan. Ini terjadi karena pelaporan kasus
HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama
ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka yang dilaporkan tidak
akan pernah turun atau berkurang biar pun semua penderitanya meninggal.
Yang menjadi persoalan besar
adalah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui
perialku berisiko yaitu melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan
di luar nikah, dengan: (1) perempuan yang berganti-ganti di Sumenep atau di
luar Sumenep, dan (2) perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti
pekerja seks komersial (PSK), di Sumenep atau di luar Sumenep.
Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi
pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi membuktikan suami mereka melakukan salah
salah satu atau kedua perilaku di atas.
Celakanya, yang menjadi sasaran
asalah kaum muda, seperti disebutkan dalam berita yaitu sebab itu, untuk
menekan jumlah penderita HIV/AIDS, pihaknya mengaku akan terus meningkatkan
sosialisasi tentang penyebab tertularnya virus HIV/AIDS tersebut. “Terutama kepada
kaum muda, sosialisasi itu akan gencar dilakukan,” jelas Dwi
Lagi-lagi kaum muda jadi sasaran
tembak untuk menutupi kebejatan sebagian laki-laki dewasa yang pernah atau
sering melakukan perilaku berisiko di Sumenep atau di luar Sumenep.
Jika Pemkab Sumenep tidak
menjalankan program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK, maka selama itu pula
penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Sumenep. Kondisi ini kelak akan
berakhir pada ‘ledakan AIDS’.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.