Tanggapan Berita (10/5-2013)
– Ketua Komisi B DPRD Mimika, Papua, Wilhelmus Pigai menyatakan kekhawatirannya
terhadap perkembangan kasus HIV/AIDS di wilayah itu dan mendesak pemerintah daerah
untuk memberi perhatian lebih serius. Ini ada dalam berita “Kasus
HIV/AIDS di Mimika mengkhawatrikan” (www.waspada.co.id, 7/5-2013).
Selama program penanggulangan
HIV/AIDS yang dijalankan oleh Pemkab Mimika, Prov Papua, tidak konkret, maka
selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi.
Persoalan besar yang terjadi di
Kab Mimika, dan daerah lain di Indonesia adalah insiden infeksi HIV baru yang
terus terjadi pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja
seks komersial (PSK), terutama PSK langsung di lokasi pelacuran.
Insiden infeksi HIV baru terjadi
karena laki-laki dewasa tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual
dengan PSK.
Celakanya, Pemprov Papua
mengganti kondom dengan sunat (sirkumsisi). Padahal, sunat tidak mencegah
penularan HIV pada saat hubungan seksual tapi hanya menurunkan risiko.
Akibatnya, sebagian laki-laki
dewasa Papua yang disunat merasa sudah memakai ‘kondom’ sehingga mereka tidak
lagi memakai kondom ketika melacur. Akibatnya, hal itu mencelakai diri mereka karena berisiko tinggi tertular
HIV.
Data di KPA Mimika menunjukkan sampai September 2012 jumlah kumulatif kasus
HIV/AIDS mencapai 3.184. Dari jumlah ini hanya 56 persen yang sudah meminum
obat antiretroviral (ARV).
Kondisinya kian parah karena Perda AIDS Kab Mimika pun sama sekali tidak
memberikan cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Kab Mimika - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kab-mimika-papua.html).
Bahkan, Perda AIDS Prov Papua pun sama sekali tidak memberikan cara-cara
yang konkret dan sistematis untuk menanggulangi AIDS di Papua (Lihat: Perda
AIDS Prov Papua: Tidak Ada Lokalisasi Pelacuran (di Papua) - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/dalam-perda-aids-prov-papua-tidak-ada.html).
KPA Kab Mimika melakukan langkah yang tidak komprehensif yaitu mendenda PSK
yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO,
dll.) sebesar Rp 4,5 – Rp 5 juta. Persoalannya adalah PSK tsb.meminjam uang
kepada germo sehingga germo tetap mempekerjakan PSK untuk menutupi utang
(Lihat: Di Timika, Papua, Pekerja Seks Tertular Penyakit Didenda Rp 3,5 Juta - http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/30/di-timika-papua-pekerja-seks-tertular-penyakit-didenda-rp-35-juta-459498.html).
Lagi pula KPA Mimika mengabaikan fakta yaitu laki-laki, penduduk asli lokal
atau pendatang, yang menularkan IMS kepada PSK dan yang tertular IMS dari PSK. Di
masyarakat laki-laki tsb. menjadi mata rantai penyebaran IMS.
Celakanya, kalau laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK juga mengidap
HIV/AIDS, maka ada kemungkinan terjadi juga penularan HIV sekaligus karena cara
penularan IMS dan HIV sama. Maka, laki-laki yang tertular IMS dari PSK juga ada
kemungkinan tertular HIV sekaligus jika PSK tsb. juga mengidap HIV/AIDS.
Yang menjadi persoalan besar bukan dana, tapi program. Soalnya, tidak ada
program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki
dewasa yang melacur dengan PSK. Dengan dana Rp 1,5 miliar per tahun sudah lebih
dari cukup untuk menanggulangi HIV/AIDS karena biaya tes HIV dan obat
antiretroviral didanai oleh donor asing.
Disebutkan bawah KPA Mimika menyediakan 83 outlet kondom di Timika dan
sekitarnya sebagai salah satu upaya untuk menekan penularan HIV/AIDS. Namun,
hanya 60 persen dari kondom yang telah didistribusikan digunakan secara
konsisten oleh PSK di Timika.
Ada hal yang menjadi pertanyaan besar dalam pernyataan tsb., yaitu:
Pertama, apakah kondom yang didistribusikan melalu outlet itu kondom (untuk)
perempuan?
Kedua, apakah PSK yang diwajibkan memakai kondom?
Dari dua pertanyaan itu tampak jelas KPA Mimika tidak mempunyai program
yang konkret terkait dengan pemakaian kondom untuk mencegah penularan HIV
melalui hubungan seksual dengan PSK karena kewajiban memakai kondom bukan
kepada laki-laki yang melacur.
Selain itu patut pula dipertanyakan bagaimana cara pemantauan bahwa
laki-laki pasti memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Kalau hanya berdasarkan jumlah kondom yang diambil dari outlet tentulah tidak
akurat. Bsa saja PSK mengambil kondom dari outlet, tapi laki-laki tidak
memakainya ketika hubungan seksual dengan PSK.
Disebutkan bahwa Wilhelmus menyambut positif keterlibatan berbagai kalangan
dalam penanganan HIV/AIDS di Mimika, seperti yang dilakukan oleh Yayasan Caritas
Timika Papua (YCTP).
Kalau yang dilakukan oleh YCTP hanya sebatas sosialisasi tentu saja itu
’bak menggantang asap’ karena yang dibutuhkan adalah program yang konkret,
yaitu:
(1) Ada regulasi berupa intervensi yang memaksa laki-laki memakai kondom
ketika melacur dengan PSK.
(2) Ada regulasi berupa intervensi untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan
hamil.
Sedangkan pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya sudah merupakan
program yang dijalankan, sehingga yang diperlukan adalah program yang sistematis
untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.
Selama tidak ada program yang konkret berupa program yang memaksa laki-laki memakai kondom ketika melacur, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Bukti insiden infeksi HIV baru terus terjadi pada laki-laki dewasa melalui
pelacaran adalah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga dan bayi.
Maka, Pemkab Mimika tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.